MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Raha Bistara
Khalifah al-Ma’mun yang berkuasa pada tahun 813-833 M dalam menjaga marwah keilmuwan Islam ia berusaha mendirikan Sekolah Tinggi Kesarjanaan Kerajaan di samping Sekolah Tinggi Keagamaan untuk menjaga ilmu pengetahuan dan sains terutama filsafat. Di Eropa, baru diakui oleh orang setelah 500 tahun kemudian. Tradisi penerjemahan di Barat bukan hanya terkait naskah ilmu pengetahuan dan sains, tetapi yang paling penting bagi mereka adalah naskah-naskah yang ditulis oleh cendekiawan Muslim.
Adalah Hunain ibn Ishaq yang bekerja keras dalam menerjemahkan naskah-naskah filsafat Yunani, tentang ke-Tuhanan. Tidak lupa karya dari Aristoteles, Categories, Physics, Magna Moralia, Hermenutica, Fisika, Etika, dan beberapa parafrase dari Phorphy. Perhatian utama Hunain adalah pada bidang kedokteran, dan kita berhutang budi kepada Hunain atas segala bidang kedokteran dari Galen dan Hippocrates yang hingga ini terjemahan Arabnya masih bisa kita nikmati.
Banyak penerjemah di samping Hunain yang berjasa besar dalam membangun peradaban Islam, antara lain, Ibnu Naimah al-Himshi (w. 835), Abu Bisry Matta (w. 940), Yahya bin Adi (w. 974), Qustha bin Luqa (w. 900), Abu Lukman bin Dimsyaqi (w. 900), Abu Ali bin Zurha (w. 1008), dan al-Hasan bin Suwar (w. 1017), juga disebuat Ibnu al-Khamar sebagai murid Yahya bin Adi, yang terakhir seorang sarjana yang setaraf dengan ia ahli astrologi dan filsafat yakni Tsabit bin Qurra dari Harran.
Dua orang penerjemah abad ke-X yakni Abu Bisry Matta dan muridnya Yahya bin Adi perlu mendapatkan perhatian khusus karena sumbangan mereka terhadap penerjemahan dan penjelasan tentang Aristoteles, khususnya logika Aristoteles. Di samping sebuah daftar terjemahan yang memasukan komentar Alexander tentang Metafisika L, De Caleo, dan De Generatione et Corruptione. Kedua penerjemah ini adalah orang-orang kristen dari aliran Nestorian dan Jacobite.
Dua orang penerjemah yang tidak kalah pentingnya adalah Isa bin Zur’ah dan Ibnu al-Khammar. Mereka pengikut aliran Yahya bin Adi Jacobite, yang mengambil perhatian khusus dalam logika Aristoteles. Yang pertama dianggap berjasa dalam terjemahan karya-karya Aristoteles dari bahasa Siria seperti De Generatione Animalium, Metafisika L, Sophistika, dan karya Nicolaus, Lima Puluh Buku Karya Aristoteles dan masih banyak karya lainnya.
Karya Ibnu al-Khummar lebih mencengangkan lagi, termaksud dalam terjemahannya, yang ia terjemahkan dari bahasa Siria ke dalam bahasa Arab yakni Isagoge, Catagories, Hermeutica, dan Analytica Priora. Ini sangat mengagumkan, seorang Kristen Nestorian dan Jacobite memebrikan sumbangan terbesar dalam peradaban Islam. jasa-jasa mereka seolah hilang, terpendam oleh perkembangan zaman.
Salinan-salinan ini, tidak dapat begitu saja terbangun menjadi filsafat Islam, karena orang Islam harus mempelajarinya terlebih dahulu. Pekerjaan ini baru terlihat hasilnya 50 tahun sesudah itu. Mulai pada saat itulah, timbul suatu ilmu yang dinamakan orang, Filsafat Islam (Omar Amien Hosein, 1981:22). Pemukanya yang ternama, adalah Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi, seorang berkebangsaan Arab dari Arab Selatan yang lahir pada 850 M, di Kufah, pendidikannya ia dapatkan di Baghdad dan Basrah.
Penyebaran Buku
Titik awal dan pusat kegiatan kesusatraan yang tumbuh subur di negeri-negeri Islam adalah masjid. Masjid bukan hanya tempat beribadah, tetapi juga tempat mengumandangkan pengumuman pemerintah melakukan proses pengadilan, dan menanamkan aspek kehidupan intelektual Islam. Pendidikan yang berlangsung di masjid, guru duduk dikelilingi oleh lingkaran (khalaqah) anak-anak muda.
Perlu dicatat, tidak hanya kegiatan mengenai pendidikan saja yang dilakukan di dalam masjid, para ilmuwan yang mempunyai repotasi yang menonjol juga mengumunkan hasil penelitiannya di sana. Yang hadir buka hanya anak-anka muda biasa saja yang mau belajar, tetapi para ilmuwan besar dan agamawan yang turut serta hadir. Basis budaya ini berlaku di seluruh dunia Islam. Ilmuwan membentuk semacam ikatan persaudaraan. Walaupun mereka bergerak di bidang kajian yang berbeda, tak ada batasan yang kaku dan tajam.
Setiap ilmuwan mengetahui cabang ilmu yang lain seperti ahli filologi acap kali juga merupakan seorang mufassir al-Quran, ahli teologi, ahli filsafat, sejarah dan sebagainya. Setiap orang yang terpelajar mempunyai bagiannya tersendiri dalam pengetahuan yang universal ini. Tidak itu saja, para pejabat yang duduk-duduk di kantor pemerintahan termaksud juga para wazir, dan orang-orang kuat lainnya juga merupakan seorang ilmuwan yang tidak sekedar mendengarjan khutbag-khutbah di masjid, tetapi sesekali menghadiri majlis para ilmuwan dan cendekiawan.
Menurut Johanes Pedersen dalam bukunya The Arabic Book menjelaskan bagaimana orang-orang tekenal kerap berkumpul di masjid untuk membahas persoalan-persoalan ilmiah dan berhubungan dengan kesusastraan. Para ilmuan sendiri acap kali mengadakan pertemuan (majlis) di antara mereka untuk berdiskusi (munazharah). Kadang, pertemuan ini diadakan di masjid sebagai pengganti ceramah (J. Pedersen, 1986:37)
Dengan dilakukannya kegiatan ilmiah di dalam masjid, itu menandakan adanya penyebaran buku dan salinan-salinan naskah yang dikerjakan oleh para warraq. Kita tau bahwa di era sekarang masjid hanya sebatas menjadi tempat ibadah yang disakralkan, jarang kiranya masjid berfungsi sebagai penyebaran ilmu pengetahuan dan sains. Penyebaran ilmu pengetahuan dan sains sudah beralih ke lembaga formal seperti universitas. Tulisan berikutnya akan membahas perihal penyebaran ilmu pengetahuan dan sains di universitas-universitas Islam klasik.
(Selesai)