MADRASAHDIGITAL.CO – Sejarah pertumbuhan dan perkembangan agama Islam pernah mengalami masa keemasan dan kemunduran serta bangkit kembali atau pembaharuan. Abad 19 hingga abad 20 merupakan suatu momentum di mana umat Islam memasuki suatu gerbang baru, yaitu gerbang pembaharuan yang kerap disebut sebagai fase modernisme. Pada masa ini, umat Islam dihadapkan pada kenyataan bahwa Barat jauh lebih unggul dari mereka, mulai dari sektor ekonomi, teknologi, bahkan sampai di ranah politik dan pemerintahan.
Merespon kondisi umat Islam yang menyedihkan, kemudian bangkitlah kaum muslimin di negeri-negeri Islam yang lahir dengan ide-ide cemerlang yang ditandai dengan bangkitnya perhatian terhadap Islam sebagai ideologi yang memiliki kekuatan dan dorongan pembebas. Salah satu tokoh yang sangat peduli terhadap kondisi umat Islam saat itu adalah Jamaluddin al-Afghani. Ia merupakan sosok penting dalam pembaharuan Islam abad ke-19 yang memiliki keunikan, kekhasan dan misterinya sendiri.
Jamaluddin al-Afghani lahir di Asadabad suatu desa Konar wilayah Kabul di Afghanistan pada tahun 1838 M. Al-Afghani kecil mulai belajar bahasa Arab dan menghafal al-Quran di rumahnya dengan di bimbing langsung oleh ayahnya Sayyid Safdar. Kemudian di umur 10 tahun ia dimasukkan oleh ayahnya ke sebuah madrasah di Qazwin tempat ayahnya belajar dulu. Beranjak dewasa al-Afghani memulai perjalanan keilmuan nya dari india hingga ke Mekkah. Dalam prosesnya ia banyak belajar ilmu-ilmu modern seperti filsafat dan matematika diluar keilmuan keislaman lainnya.
Pemikiran pembaruan yang dilakukannya didasarkan pada keyakinan bahwa agama sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan. Tidak ada pertentangan antara ajaran Islam dan kondisi yang disebabkan perubahan zaman. Walaupun ada pertentangan kedua, haruslah dilakukan penyesuaian dengan mengadakan interpretasi baru terhadap ajaran Islam yang tercantum dalam al-Qur’an dan hadis. Untuk mencapai hal ini dilakukan ijtihad dan menurutnya pintu ijtihad masih tetap terbuka.
Pelestarian Ijtihad, Menurut al-Afghani adalah perenungan kembali secara mendalam nilai-nilai Islam terhadap al-Qur’an, menghilangkan fanatisme madzhab, menghilangkan taqlid golongan, menyesuaikan prinsip al-Qur’an denngan kondisi kehidupan umat, melenyapkan khurafat dan bid’ah-bid’ah serta menjadikan Islam sebagai satu kekuatan positif untuk mengarahkan kehidupan.
Pendidikan, Al-Afghani mengkonsentrasikan pemikiran revivalis dan modernis-nya dalam bidang pendidikan. Bahwa, untuk memperoleh kemajuan, umat Islam harus bertindak moderat, yaitu mengambil bagian-bagian penting dari ilmu pengetahuan Barat, tanpa menganggap bahwa hal tersebut merupakan bid’ah.
Setelah mengambil yang terbaik dari dunia Barat, tidak berarti serta merta memuja secara materialistis. Dalam berakidah, al-Afghani menyerukan kembali kepada salafiyah, yakni aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam.
Pemurnia Ajaran Islam (Puritanis), memurnikan ajaran Islam dari segala unsur tahayul, bid’ah dan khurafat. Gerakan ini berusaha mengembalikan Islam kepada sumber aslinya membersihkan tauhid dari syirik, membersihkan ibadah dari bid’ah. Mengajarkan hidup sederhana sebagai pengganti kemewahan hidup yang melanda kaum muslimin saat itu.
Ukhwah Islamiyah, dalam rangka upaya pemurnian aqidah dan ajaran Islam, serta pengembalian keutuhan umat islam, al-Afghani mengajak untuk membentuk suatu ikatan politik yang mempersatukan umat Islam , Jam’iyah Islamiyah, atau pan-Islamisme. Pada bagian ini, al-Afghani melakukan rekonseptualisasi iman terhadap qadha dan qadar untuk membangunkan kaum muslimin dari stagnasi berpikir
Dalam melakukan pembaharuan di bidang politik Islam, al-Afghani berangkat dari konsep takdir. Tujuannya adalah membangkitkan kesadaran kaum muslimin yang terlanjur apatis karena keliru memahami takdir demi membangun persatuan, mengakhiri segala perpecahan teologi untuk menghentikan kolonialisme Barat dan fokus mengembangkan sains dan ilmu pengetahuan. Menurutnya, tidak cukup memahami takdir sebagai sebuah konsep teologi, perlu upaya menerjemahkan konsep tersebut dengan menyatukan umat Islam untuk menghadapi hegemoni Barat.
Secara luas, pan-Islamisme adalah suatu paham yang bertujuan untuk mempersatukan seluruh umat Muslim di dunia dan secara spesifik adalah upaya menegakkan kesatuan seluruh bangsa yang hidup dalam naungan Islam agar dapat melepaskan diri dari kendali orang-orang asing dengan perekat ukhuwah Islamiyah.