MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Ahmad Soleh, Penulis Buku Wajah Islam Kita
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (QS Ali Imran: 103).
Kondisi umat Islam yang terkotak-kotak menjadi kekhawatiran sendiri bagi kita di masa ini. Ada yang bilang bahwa ini by design agar umat Islam tidak dapat bersatu dan sibuk dengan urusan internalnya. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini disebabkan di antara kelompok-kelompok Islam itu sendiri belum bisa menerima kenyataan sejarah dan cenderung melihat hal ini dengan kacamata kuda. Padahal, jelas-jelas Islam menyerukan semangat persaudaraan di kalangan umatnya.
Lukman Harun dalam buku Menuju Persatuan Umat (Mizan, 1994), menulis sebuah artikel bertajuk “Berlomba-lomba dalam Kebaikan”. Dalam artikel itu, Lukman Harun menyebutkan bahwa persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah) adalah suatu hal yang paling ideal, paling menarik, paling indah, dan paling bermanfaat dalam Islam.
“Islam menghendaki terbinanya persaudaraan seperti ini di kalangan umat Islam. ayat-ayat dan hadis-hadis mengenai ini banyak sekali, misalnya ayat ‘innamal mu’minuna ikhwah’ dan hadis ‘tidak sempurna iman seseorang sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirina sendiri’,” kata Lukman.
Spirit persaudaraan yang dibawa oleh ajaran Islam sejatinya merupakan bentuk pengamalan dari nilai-nilai Islam yang rahamatan lil alamin. Semangat tolong-menolong (taawun), toleransi, kepedulian dan altruisme (al-Maun), rasa senasib sepenanggungan, dan spirit menciptakan harmoni sosial membuat banyak orang di luar Islam jadi tertarik untuk meneliti, dan bahkan sampai memeluk Islam pada akhirnya.
Meihat fakta demikian, maka umat Islam hari ini tampak telah jauh meninggalkan ajaran ukhuwah itu. Menjaga ukhuwah bukan berarti semuanya harus berada dalam satu payung organisasi, mazhab, atau aliran. Toh, dalam satu mazhab saja masih ada perbedaan pendapat di dalamnya. Bukankah perbedaan dan keragaman itu sunatullah, sebuah fakta kodrati yang mesti kita terima sebagai rahmat dari-Nya?
Lukman Harun mengatakan, faktor heterogenitas tidak bida dikambinghitamkan karena pada zaman Nabi, ukhuwah itu terwujud juga bukan karena umatnya homogen. “Sebab, kalau kita lihat masyarakat Madinah saat itu terdiri atas kaum Muhajirin dan Anshar, yang masing-masingnya berkabilah-kabilah,” tutur Lukman.
Dalam kaitannya dengan hal itu, Lukman Harun memandang bahwa umat Islam sekarang ini kurang toleran, gampang memvonis dan mengafirkan sesamanya, disebabkan kurang diamalkannya ajaran Islam oleh kaum Muslim. Dewasa ini, ada kelompok-kelompok Islam yang dengan mudah memvonis kelompok lain sebagai kaum munafik, sesat, bahkan kafir. Padahal, tuduhan semacam itu tidak diajarkan oleh ajaran Islam.
Kedangkalan berpikir yang disebabkan belajar agamanya setengah-setengah ini menimbulkan sikap ekstrem dan ultrakonservatif. Masalah khilafiyah saja pada akhirnya bisa menimbulkan perpecahan hebat, karena merasa benar sendirian.
“Sebenarnya kalau saja kita mau melihat sikap hidup dan teladan yang ditunjukkan oleh para imam mazhab, persengketaan ini tidak perlu terjadi. Bukankah pada imam itu mengatakan, bila pendapat mereka bertentangan dengan Al-Quran dan sunah, tinggalkanlah,” ungkap Lukman.
Mari Ber-Fastabiqul Khairat
Untuk mengurangi tensi perbedaan yang memicu perpecahan itu, Lukman Harun menyarankan agar umat bisa berfastabiqul khairat alias berlomba-lomba dalam kebaikan. “Marilah kita berlomba-lomba mewujudkan kebaikan dalam masyarakat, dan jangan saling menjegal. Berlombalah membuat rumah-rumah yatim, rumah-rumah sakit, pendeknya apa yang dibutuhkan atau menjadi kepentingan rakyat banyak, khususnya umat Islam. Insya Allah kita akan bertemu juga dalam tujuan yang sama,” katanya.
Dengan begitu, cita-cita transformasi sosial Islam bisa terwujud dan tensi gesekan antarkelompok, meskipun tak bisa hilang begitu saja, setidak-tidaknya bisa diminimalisasi. Kembali lagi pada semangat universalitas ajaran Islam, yakni kemanusiaan. Apa pun ormasnya, mazhabnya, alirannya, siapa pun guru ngajinya, bila sudah bicara kemanusiaan maka mesti satu suara membela mustadhafin. Itulah spirit Islam, spirit perubahan.
Tingkatkan Pendidikan dan Ekonomi
Namun, apa yang mula-mula harus diubah oleh umat Islam? Lukman Harun berpendapat, yang mesti dipikirkan pertama-tama adalah meningkatkan pendidikan umat Islam. Ia memandang masih banyak umat Islam di negeri mayoritas Muslim ini yang belum mengenyam pendidikan dengan baik. “Umat Islam tidak boleh tertinggal oleh golongan lain,” ujarnya.
Ia juga menekankan, selain di bidang ilmu pengetahuan, yang harus ditingkatkan adalah ekonomi umat Islam. Mengingat kondisi ekonomi sangat memengaruhi pola hidup suatu masyarakat. Terakhir, Lukman Harun juga menyentil kalangan ulama dan pemikir Islam yang terlalu melangit, buta terhadap realitas.
“Hal itu (munculnya para pemikir Islam) tentu baik; meski, sayang mereka kurang berpijak ke bumi, kurang melihat kenyataan yang ada dalam masyarakat. Kalau saja mereka mau melihat kondisi desa-desa sekarang, mereka akan sedih. Di sana kekurangan ulama dan pemimpin, sementara kita berseminar, asyik membicarakan masalah-masalah filosofis dan tinggi-tinggi,” ungkapnya.
Artinya, menghidupkan semangat persaudaraan itu angat penting untuk menghadapi berbagai problem yang kian kompleks saat ini. Jangan terjebak untuk saling memusuhi, perbedaan itu justru rahmat agar kita saling mengenal satu sama lain, saling ber-tawasaubil haq, dan ber-tawasaubish shabr. Sambil terus berkarya berinovasi menciptakan kebaikan-kebaikan. Di situlah spirit fastabiqul khairat terwujud menjadi wajah Islam yang rahmatan lil alamin, rahmat bagi segala-gala. Wallaualam.