Oleh: Muh. Akmal Ahsan*
Sebagaimana diutarakan Siti Arofah dan Maarif Jamu’in dalam jurnal Tajdida, beberapa hal yang mendasari pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan ialah (Siti & Jamu’in, 2015) : pertama, Keprihatinan terhadap ummat Islam pribumi. Kondisi pelik yang menimpa nasib pribumi berupa diskriminasi kebijakan dan feodalisme melatarbelakangi pemikiran Ahmad Dahlan untuk menyegerakan diri dalam membentuk sistem pendidikan yang layak untuk pribumi. Pendidikan mesti ditempatkan dalam skala prioritas dalam agenda pembangunan ummat dan dalam hal ini ilmu agama ialah yang paling penting, walau demikian, ia tetap harus diimbangi dengan ilmu-ilmu umum.
Kedua, kesenjangan pendidikan. Kesenjangan ini terlihat dari disparitas kurikulum sekolah Belanda yang lebih mementingkan ilmu umum daripada ilmu agama. sebab itulah, maka mula-mula ia menawarkan diri untuk mengajar ilmu agama di dalam sekolah. Permintaan tersebut disetujui pemerintah kolonial dengan asumsi upaya dahlan akan sia-sia sebab para murid akan lebih tertarik dan memilih ilmu umum daripada ilmu agama. Prediksi ternyata tidak tepat, dengan aktivitas di sekolah itulah justru KH. Ahmad Dahlan mendapatkan inspirasi untuk membentuk sekolah yang mempelajara dua ilmu secara berdampingan : ilmu agama dan ilmu umum.
Ketiga, pertarungan melawan Kristen. Ahmad Dahlan menganggap, sesungguhnya pendirian lembaga pendidikan Pesantren ialah dalam rangka perlawanan terhadap Kristenisasi. Darinya, maka didalam sekolah-sekolah Muhammadiyah, mata pelajaran agama ialah mata pelajaran yang wajib. Inilah yang kemudian disebut sebagai “teologi transformatif”, yakni upaya untuk membebaskan paradigma keagamaan yang terjebak dalam ritual ibadah formalistik menuju interpretasi agama yang dapat terlibat dalam pemecahan masalah-masalah yang dihadapi manusia.
Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Ahmad Dahlan, tujuan pendidikan Islam diarahkan untuk membentuk manusia yang beriman, berakhlak, memahami ajaran agama Islam, memiliki pengetahuan luas dan kapasitas intelektual yang dapat diperlukan di dalam kehidupan sehari-hari (Nurhayati, 2009).
Demi mencapai tujuan tersebut maka pendidikan Islam mesti diarahkan pada integrasi ilmu dan amal, ilmu pentehauan umum maupun agama, kebebasan berpikir dan pembentukan karakter supaya peserta didik bisa berkembang secara intelektualitas dan spiritualitas (Al-Rasyid & Nizar).
Integrasi Ilmu dan Amal
Ahmad Dahlan memang sangat memperhatikan ilmu agama, demikianlah telah nampak dalam pendapatnya bahwa :
Sikap beragama yang lurus kepada Allah itu adalah kecenderungan rohani untuk berpaling meninggalkan nafsu, menjadi suci, tidak oleh dengan bendawi, dan selalu berusaha menaikkan derajat rohani. Jiwanya akan selalu menghadap Allah dan berpaling dari hal selain-Nya, bersih tapa terpengaruh oleh apapun serta senantiasa menyerahkan harta benda dan dirinya di jalan Allah (Hadjid, 2004).
Pernyataan tersebut diatas mensimbolisasikan bahwa pendidkan seharusnya mampu mengajarkan peserta didik untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan, menjadikan agama sebagai jalan menuju Tuhan sehingga dapat terhindar dari alienasi benda-benda yang diciptakan manusia sendiri. Dengan basis ketauhidan yang kuat itulah, maka diharapkan peserta didik mampu mewujudkan ajaran agama dalam praktik keseharian (beramal). Dalam upayanya untuk mengintegarsikan antara ilmu agama dan praktik keseharian, Ahmad Dahlan menasihati para muridnya:
Kamu tidak mau menjalankan tugas amal itu karena kamu tidak biasa, bukan? Beruntunglah! Marilah saya ajarkan soalnya itu. Jadi kalau sudah dapat dan mengerti kamu harus menjalankan. Dan soalnya kalau kamu tidak mau, asal tidak mau saja. Siapakah yang dapat mengatasi orang yang sengaja sudah tidak mau (F.N, 2009)
Ahmad Dahlan memahami betul bahwa pendidikan bukan hanya susuan teori yang diinternalisasikan ke dalam diri peserta didik, pendidikan harus terlibat secara nyata dalam kehidupan sosial, maka kedalaman ilmu pengetahuan mestilah mewujud dalam perilaku keseharian, pemahaman agama ini tampil dalam wujud karya nyata dengan amalan. Telah sering nampak, perilaku para ilmuan dan agamawan hidup justru dengan kesendirian, agama hanya dijadikan sebagai ‘penghibur’ bagi kesendirian sementara tak timbul sebagai gerakan nyata dalam kehidupan sosial masyarakat.
Ahmad Dahlan menginginkan, kedalaman pengetahuan mestilah seiring seirama dengan tindakan nyata. Maka ilmu dan amal adalah satu kesatuan yang tak dapat sama sekali dipisahkan, intelektualisme adalah aktivisme itu sendiri. Maka peserta didik tidak diajarkan untuk duduk menambah pengetahuan saja di dalam ruang kelas, namun ia mesti menjadi inspirasi untuk timbul dan memberikan kreasi dan inovasi bagi manusia dan alam semesta. Dalam konteks pemahaman agama, Ahmad Dahlan sering mengajarkan dan menginterpretasikan al-Wur’an surat al-Ma’un ayat 1-7 :
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama. itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak mengajukan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna (Q.S Al-Maun (107): 1-7.
Ayat tersebut diajarkan Dahlan kepada muridnya berulang-ulang kali. Tentu beliau tak ingin para muridnya sekadar menghapalkan ayat tersebut. Bukan hanya itu, Dahlan bahkan memberikan teladan ini dalam praktik, misalnya dengan mengajak para muridnya untuk mencari anak yatim dan pengemis, para anak yatim dan pengemis itu lalu diajak ke masjid, dimandikan kemudian pakaiannyapu diganti dengan pakaian bekas yang bersih. Aktivitas ini diajarkan K.H Ahmad Dahlan berulang-ulang kali. Demikianlah pelajaran filantropi kemudian diajarkan dalam pendidikan Muhamamdiyah pada masa-masa awal (Abdul, hal. 110).
Jejak pendidikan dan kegiatan sosial Dahlan berlanjut, pada tahun 1921 dengan menggunakan Muhammadiyah, Ahmad Dahlan kemudian mendirikan panti asuhan bernama Hoofbestuur di Yogyakarta. Setiap anggota Muhammadiyah diwajibkan untuk mengasuh serta mendidik anak-anak panti asuhan. Melalui aktivitas itu dan berdirnya panti asuhan, ada banyak anak yatim piatu yang diselamatkan dari kebodohan di masa pemerintahan kolonial Belanda. Dahlan memandang, mereka-mereka anak yatim piatu itu yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain adalah anak-anak yang memerlukan pengayoman, uluran tangan serta akses pendidikan dan pelajaran ilmu agama serta ilmu umum (Sutrisno, hal. 215-216).
Integrasi ilmu dan amal juga dicontohkan oleh Ahmad Dahlan dengan mendirikan organisasi khusus wanita yang kemudian dinamakan Aisyiah pada tahun 1917 di Kauman. Sebagai oganisasi otonom Muhammadiyah, tujuan berdirinya organisasi Aisyiah yaitu untuk pembinaan keluarga yang sakinah, gerakan sosial serta pendidikan. Organisasi ini kian bertambah luas dan mengadakan tablig untuk anggota-anggotanya serta menyediakan kursus batik untuk para wanita. Organisasi ini didirikan dengan alasan bahwa pendidikan pertama yang diterima oleh anak adalah pendidikan dalam rumah, maka Ibu dalam hal ini memiliki tanggung jawab untuk mendidik anak sebab berakitan dengan kemajuan masyarakat. Seiring berjalannya dedikasi Ahmad Dahlan, pada 1928 organisasi Aisyiah mendirikan panti asuhan yatim piatu untuk putri. Sebagaimana gagasan pendidikan sebelumnya, panti asuhan ini mengajarkan pendidikan ilmu agama dan ilmu umum. Melalui organisasi Aisyiah, wanita dilatih untuk mempunyai rasa kepedulian terhadap sesama muslim (Deliar, 1980, hal. 90-91).
Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum
Tujuan pendidikan dapat terealisasi bilamana proses pendidikan inetgralistik. Maka peserta didik mesti memiliki kompetensi kecerdasan intelektual, spiritual, emosional dan sosial. Maka pendidikan akan mampu menghasilkan “intelektual-ulama” yang berkualitas. Harapannya, melalui ilmu umum adalah sarana peserta didik untuk mengenali kehidupan sosial, ekonomi, politik dan mencapai kehidupapan yang bahagia di dunia serta di akhirat, hal ini dikarenakan al-Qur’an dan Hadis tidak membeda-bedakan ilmu agama dan ilmu umum. Ahmad Dahlan beranggapan pendidikan yang baik ialah pendidikan yang mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Misalnya pada awal abad 20, Dahlan melihat ummat Islam Indonesia teritinggal secara ekonomi oleh hegemoni kolonialisme Belanda. Kondisi pelik ini mendorong Dahlan untuk memberi pencerahan mengenai pentingnya pendidikan yang seirama dengan zaman (Abuddin, hal. 102-103).
Dengan kondisi sosial masyarakat waktu itu, Dahlan memandang bahwa pendidikan Islam terlalu meniriberatkan dirinya pada penanaman aspek spiritual. Hal ini mengakibatkan kemuduran Islam, sementara yang lain kian mengalami dalam kemajuan bidang ekonomi. Dengan kondisi demikian, maka Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan seyogyanya melahirkan individu yang utuh, menguasai ilmu agama dan ilmu umum, intelektual serta spiritual. Maka didirikanlah Muhammadiyah ala belanda, yakni HIS me de Qur’an di Yogyakarta pada 1926. Kurikulum yang dipakai di sekolah ini ialah bahasa Arab, tasawuf, fiqih, tajwid, bahasa Inggris, membaca, menulis sera lain sebagainya (Ridjaluddin, 2009). Dengan terobosan integralisasi ilmu agama dan ilmu umum itu, peserta didik memiliki kelebihan dalam memandang kesehatan. Salah satu peserta didik Ahmad Dahlan, H.M sudjak menginisiasi pembentukan klinik dan poliklinik yang dinamakan PKU (Penolong Kesengsaraan umum) pada 1923 di Yogyakarta. Pada tahun 1936, PKU diresmikan pemerintah Belanda menjadi rumah sakit PKU Muhammadiyah. Rumah sakit PKU Muhammadiyah bertujuan agar kehidupan masyarakat dapat mencapai derajat kesehatan yang baik serta menuju kehidupan sejahtera dan sakinah sebagaimana cita-cita Muhammadiyah (RS, 2019).
Ahmad Dahlan berharap pendidikan Islam yang berdiri diatas fundamen al-Qur’an dan Hadis akan melahirkan peserta didik yang memiliki ilmu yang luas, jasmani yang kuat dan hati yang bersih.
Referensi Bacaan
(107), Q. A.-M. (n.d.).
Abdul, M. M. (n.d.). Jejak Pembaruan dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan.
Abuddin, N. (n.d.). Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia.
Al-Rasyid, & Nizar, S. (n.d.). Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam.
Deliar, N. (1980). Gerakan Moderen Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
F.N, R. (2009). Filsafat Pendidikan Islam: Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan Beberapa Tokoh Lainnya, Pemecahan Problema Pendidikan Bangsa. Jakarta: Pusat kajian Islam FAH UHAMKA.
Hadjid. (2004). Ajaran K.H.A dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat al-Qur’an. Semarang: PWM Jawa Tengah.
Nurhayati, D. (2009). Dinamika Pendidikan di Indonesia Pascakemerdekaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Siti, A., & Jamu’in, M. (2015). Gagasan Dasar dan Pemikiran Pendidikan Islam K.H Ahmad Dahlan. Tajdid.
Sutrisno, K. (n.d.). Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah.
*Kabid RPK PC IMM AR. Fakhrudin Kota Yogyakarta