MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh: Al-Faiz MR Tarman (Dosen di STAI Muhammadiyah Klaten dan Blogger)
Memahami pemikiran Iqbal terkait al-Qur’an dan hadis, perlu diletakkan dalam konteks pentingnya upaya ijtihad untuk menjawab permasalahan-permasalahan aktual kemanusiaan. Tidak sampai di sana, sebagai sastrawan mutiara-mutiara al-Qur’an dan hadis turut mewarnai karya sastra Iqbal, di antaranya seperti dalam Kitab Javid Namah (Kitab Keabadian). Misalnya dalam puisi Iqbal yang penulis kutip sebagai berikut.
Perang para raja duniawi ialah untuk perampokan yang keji,
perang sang mukmin adalah Sunnah Nabi.
Apakah perang sang Mukmin? Terbang menuju Kekasih;
meninggalkan dunia, memilih jalan sang Kekasih
Dia yang menyatakan pada umat kata-kata cinta,
mengatakan tentang perang, bahwa itu adalah “laku suci dalam Islam” adanya.
Kecuali yang syahid, tak seorang pun tahu akan ucapan hikmat ini.
karena yang syahid telah membeli ucapan ini dengan darahnya sendiri.
Menurut Iqbal, sangat penting untuk memikirkan secara mendalam makna al-Qur’an dan hadis kemudian makna tersebut berdialog dengan situasi kini. Tulisan ini sejatinya berbahan dasar pembacaan penulis terhadap buku Sir Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Ketokohan Muhammad Iqbal santer menjadi pembahasan di dunia Timur dan Barat. Dikenal sebagai pemikir modern yang lengkap, Iqbal tidak saja dikenal sebagai seorang filosof Muslim modern, namun kepiawaiannya diakui pada bidang yang meliputi politik, sastra, ekonomi, serta pendidikan. Iqbal sendiri lahir pada tahun 1873 di Sialkot. Dilahirkan dalam lingkungan keluarga yang kurang mampu, hingga ia mendapatkan beasiswa untuk mengenyam pendidikan yang lebih baik.
Dalam buku tersebut, Iqbal sejatinya menghendaki pemahaman bahwa ijtihad akan selalu dibutuhkan seiring dengan berkembangnya waktu dan tempat. Iqbal menjelaskan bahwa Islam berarti menolak pandangan statis, lebih mendukung pandangan yang dinamis. Penjelasan tersebut tampaknya dibarengi dengan kritiknya ketika Islam mengalami kemunduran karena seakan ‘menutup pembaruan’ hukum Islam yang tidak merespon kebutuhan zaman, “Peradaban itu sudah mulai goyah, batangnya tidak lagi hidup subur dan dihormati, melainkan sudah busuk dari dalam dilanda badai dan peperangan, dan diikat hanya oleh adat istiadat dan undang-undang kuno,” kata Iqbal.
Iqbal sendiri mengartikan ijtihad sebagai suatu usaha dengan maksud membentuk suatu pertimbangan yang independen mengenai suatu persoalan hukum. Pada bagian ini nampak keresahan Iqbal dengan sikap sebagian intelektual yang telah mereduksi hukum Islam ke dalam suatu kondisi yang statis.
Bagi Iqbal, hukum Islam mengalami kemandekan lantaran tiga sebab utama, pertama, gerakan rasionalis pada masa permulaan Abbasiyah, ketakutan terhadap disintegrasi sosial dan mengganggu stabilitas Islam, maka langkah yang diambil adalah dengan cara mempergunakan otoritas syari’at yang mengikat sekuat mungkin. Kedua, munculnya sufisme asketis. Pada akhirnya spirit non-duniawi dalam paham sufisme ini kemudian telah mengaburkan visi manusia tentang aspek yang sangat penting dalam Islam sebagai institusi sosial. Ketiga, runtuhnya Baghdad sebagai pusat kebudayaan intelektual Muslim pada pertengahan abad ke-13. Pemikir konservatif Islam memusatkan segala usaha mereka untuk menyeragamkan kehidupan sosial masyarakat dengan melarang segala macam pembaruan dalam hukum syariat sebagaimana ulama-ulama Islam terdahulu.
Selanjutnya, yang menjadi kegelisahan Iqbal adalah keinginan (sebagian) umat Islam yang menghendaki masa keemasan silam tanpa adanya upaya perbaikan terlebih dengan reinterpretasi akan teks-teks normatif agar menjawab kebutuhan zaman, sebagai pemujaan palsu, “Pemujaan palsu pada sejarah dahulu kala dan kebangkitan kembali yang ‘dibuat-buat’ sejatinya tidak akan mengobati kemerosotan suatu bangsa.” Maka dengan demikian, bagi Iqbal, satu-satunya kekuatan efektif yang dapat melawan kemerosotan suatu bangsa adalah dengan membentuk individu yang berkepribadian. Individu-individu yang yang dapat mengenali arti hidup yang sesungguhnya. Mereka bukakan standar-standar baru yang dapat membantu kita melihat bahwa lingkungan kita bukanlah lingkungan yang statis yang tidak dapat diganggu gugat seluruhnya, melainkan perlu diperbaiki.
Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas di mana bisa dipahami bagi Iqbal pentingnya untuk melakukan ijtihad. Pada titik ini faktanya terdapat upaya fiqhul Qur’an dan hadis dari Iqbal karena secara eksplisit dalam bukunya meniscayakan pentingnya kontekstualisasi, dalam hal cara pandang dan penerapan hukum Islam. Hal ini khususnya ketika Iqbal bertanya, “Apakah sejarah dan dan struktur hukum Islam itu memberi kemungkinan adanya suatu penafsiran baru tentang prinsip tersebut (ijtihad)?” Sementara solusi yang ditawarkan Iqbal adalah dengan mempelajari keempat sumber hukum Islam, maka, “Jelas ada kemungkinan ke arah evolusi lebih lanjut.” Adapun keempat sumber hukum tersebut adalah al-Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas.
Al-Qur’an dalam pandangan Iqbal, bahwa alih-alih menyempitkan pemikiran manusia, prinsip (yang terkandung dalam al-Qur’an) yang begitu luas sebenarnya berfungsi sebagai penggugah pemikiran manusia. Bagi Iqbal, amat disayangkan sebagian umat sering menganggap selesai beberapa hal yang sudah terkenal dalam hukum Islam.
Ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an, meniscayakan bahwa hidup itu merupakan suatu proses penciptaan yang progresif. Problemnya adalah masyarakat terus bergerak, tetapi hukum tetap saja beku. Di samping itu, Iqbal seakan resah dengan persamaan laki-laki dan perempuan di Turki, dalam urusan perceraian dan warisan. Adakah suatu penafsiran baru? Iqbal mencontohkan dalam upaya penafsiran QS. Al-Baqarah: 228. Bagian anak perempuan itu ditentukan bukan oleh sifat kekurangan yang sudah melekat pada dirinya, melainkan karena kesempatan-kesempatan ekonomi, dan tempat yang didudukinya dalam masyarakat.
Sementara dalam upaya penjabaran mengenai hadis, Iqbal memberi pengertian sebagai sumber hukum Islam kedua, juga merupakan tradisi atau kebiasaan Nabi Muhammad. Selanjutnya, hal penting bagi penulis dalam upaya memahami Iqbal dalam hal ini, Iqbal mengutip pandangan Syah Waliyullah terkait pengajaran profetik, bahwa hukum yang diekspos oleh seorang Nabi memperlihatkan hal-hal penting dari kebiasaan, tata cara, dan keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki oleh sekian banyak orang yang kepada merekalah Nabi itu diutus. Akan tetapi, Nabi yang mengarahkan seluruh prinsip tersebut, tentu saja, tidak bisa seluruhnya membeberkan prinsip-prinsip berbeda untuk orang-orang yang berbeda, tidak pula membiarkan mereka untuk mengerjakan maksim-maksim mereka sendiri.
Metodenya adalah untuk melatih masyarakat tertentu, dan menjadikan mereka sebagai pihak utama yang berperan inti dalam membangun syariah universal. Untuk melakukan hal tersebut, ia mau tak mau harus menonjolkan prinsip-prinsip yang mendasari kehidupan sosial seluruh umat manusia, dan menerapkannya pada kasus-kasus konkret dalam konteks kebiasaan-kebiasaan tertentu dari orang-orang yang hidup sebelumnya.
Nilai-nilai syari’ah yang dihasilkan dari penerapan ini memiliki makna spesifiknya tersendiri pada orang-orang itu; dan kepatuhan mereka bukanlah tanpa akhir, maka nilai-nilai itu tidak bisa dipaksa terapkan pada generasi-generasi selanjutnya. Pemahaman utuh terhadap nilai kehidupan prinsip-prinsip hukum tersebut akan melengkapi ikhtiar untuk menginterpretasikan kembali prinsip-prinsip fundamentalnya. Tertutupnya pintu ijtihad, bagi Iqbal, “hanyalah fiksi belaka yang disebabkan sebagian oleh kristalisasi pemikiran hukum dalam Islam, dan sebagian oleh kemalasan intelektual yang, khususnya pada periode kemunduran spiritual, justru menjadikan pemikir-pemikir besar semacam dewa-dewa”.
Di antara keberhasilan dan kecemerlangan Muhammad Iqbal di antaranya adalah upaya melakukan sintesis pemikiran Timur dan Barat dengan al-Quran sebagai basis utama dalam membangun basis epistemologi pemikirannya, hal tersebut menjadikan pengaruhnya dalam khazanah pemikiran Islam begitu luar biasa terasa denyutnya tidak saja di dunia Timur-Islam, namun juga Timur dan Barat. Salah satu ajaran Iqbal yang sangat menghujam kuat adalah upaya membangun kesadaran dan sikap umat Islam tidak lagi selalu berapologi atau mencaci-maki setiap bersentuhan dengan khazanah Barat, namun justru hendaknya memanfaatkan apa-apa yang baik dari khazanah Barat untuk merekonstruksi Islam dalam mencapai kemajuannya. Oleh karenanya, Iqbal sangat menekankan bahwa bagi umat Islam pintu ijtihad tidaklah boleh dan tidak akan pernah tertutup. Ijtihad inilah yang disebut oleh Iqbal dengan upaya Islam sebagai ajaran yang dinamis, yang mengakui adanya gerak dan perubahan dalam hidup sosial manusia. Ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan dalam Islam.
Sebagai bahan reflektif, dewasa kini masih menjadi mainstream di kalangan umat dalam memahami teks sebagaimana adanya—tekstualis. Padahal, tidak sedikit problem yang berkembang yang memerlukan ijtihad dalam upaya meresponnya, sementara hal ini dalam berbagai bidang; kesehatan, sosial, ekonomi, belum lagi seiring dengan berkembangnya teknologi dan masifnya dunia media sosial. Pada saat yang sama imej agama sejatinya hendaknya tidak merespon problem-problem secara pasif, melainkan memberikan proyeksi kedepan memberi petunjuk terhadap kemanusiaan. Wallahu a’lam.
Red: Saipul Haq