MADRASAHDIGITAL.CO – Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian menerbitkan data statistik tentang latar pendidikan ketenagakerjaan di sektor pertanian. Pada tahun 2020, terdapat 83% tenaga pertanian memiliki pendidikan dasar. 15% mempunyai latar pendidikan menengah, dan 2% memiliki latar pendidikan tinggi. Kemudian dari data lain didapatkan bahwa tenaga pertanian di atas usia 45 tahun sangat mendominasi dengan perolehan angka 71%, sedangkan 29% sisanya berada di bawah usia 45 tahun. Data ini menjadi acuan dasar bagaimana rendahnya minat generasi milenial untuk terjun di dunia pertanian.
Minimnya minat generasi milenial untuk terjun ke dunia pertanian sejatinya ikut mengurangi beban persaingan kerja dalam dunia pertanian. Namun yang tidak kalah penting dari itu adalah persoalan tentang hilangnya potensi-potensi muda yang berbakat, yang memilih sektor lain sebagai lahan mencari uang. Tentu produktivitas sektor pertanian akan mengalami penurunan, sedangkan di sektor lain, akan terus mengalami peningkatan.
Fenomena ini yang kerap terjadi pada wajah pertanian di Indonesia. Dimana bisa jadi mereka yang berada di sektor pertanian dan tidak berpindah ke sektor lain disebabkan kompetensi yang kurang. Hal ini berbeda dengan sektor industri dan jasa yang membutuhkan kualifikasi tertentu untuk masuk didalamnya. Kondisi inilah yang menjadi pemicu terjadinya brain drain atau hilangnya tenaga pertanian yang mempunyai pendidikan tinggi.
Merosotnya minat generasi milenial dalam menekuni bidang pertanian tidak terlepas dari 3 faktor. Pertama, faktor dari orang tua yang tidak menginginkan anaknya menjadi seorang petani. Kedua, kesan kumuh, panas, jorok, dan kotor yang masih membekas kuat di ingatan milenial. Ketiga, proporsi pendapatan petani yang relatif kurang ataupun hanya mampu mencukupi kebutuhan pokok keluarga, dianggap tidak sepadan dibanding kerja keras yang dilakukan.
Jika melihat data dari Badan Pusat Statistika (BPS), kita dapat menemukan rendahnya upah yang diterima oleh petani. Survei BPS yang dilakukan pada tahun 2017 itu menjelaskan pendapatan petani sebesar Rp. 4,97 juta per musim tanam per hekatare (Ha). Atau bisa dikalkulasikan Rp. 1,25 juta per bulan. Perhitungan ini menggunakan asumsi setahun terdapat 3 musim tanam, dan belum menggunakan perhitungan gagal panen di beberapa musimnya.
Survei yang dilakukan Indonesian Family Life Survey (IFLS) dalam rentang tahun 2000 sampai 2007 mengungkapkan jika perpindahan profesi keluarga miskin dari sektor petani menuju sektor non-pertanian berdampak positif pada kesejahteraan keluarga mereka. Penyebabnya bermacam-macam, dari rendahnya latar pendidikan dari petani itu sendiri, hingga bantuan dari pihak terkait yang masih kurang untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Kondisi buruk tersebut membuat regenerasi dari sektor pertanian semakin menipis setiap tahunnya. Dan ancaman paling mengerikan dari melemahnya sektor pertanian adalah ketersediaan bahan pangan yang juga semakin menipis.
Kuatnya Sektor Pertanian
Meskipun berbagai sudut pandang menyatakan dunia pertanian memiliki potensi yang buruk, namun nyatanya beberapa masa terselamatkan berkat kelimpahan sumber pangan. Misalnya dunia pertanian mampu menjadi penyelamat saat krisis finansial ataupun pandemi Covid-19. Dengan mencatatkan pertumbuhan sebesar 0,93%, sektor pertanian menjadi penyelamat di saat sektor lain mengalami pertumbuhan negatif.
Kemudian pertanian juga menjadi penyelamat bagi mereka yang tidak tertampung dalam sektor non-pertanian. Lihat saja pada masa krisis finansial dan Covid-19, dimana pada tahun 1998 terjadi proporsi pertambahan tenaga kerja sekitar 4,5%, sedangkan pada tahun 2020 terjadi pertambahan tenaga kerja sekitar 7,5% di sektor pertanian. Fakta ini menjadi satu dorongan yang kuat bahwa pertanian bisa menjadi sektor kuat yang mampu menghidupi bangsa Indonesia. Maka peranan semua pihak perlu dikerahkan, termasuk generasi milenial yang menjadi penerus dari keamanan sumber pangan Indonesia.
Merangkul Generasi Milenial
Potensi generasi milenial yang mampu menggerakkan pasar, serta dominasi kuantitas di tahun 2020 yang mencapai 34% membuatnya menjadi potensi unggul. Sosok yang akrab dengan komunikasi, media, dan kemajuan teknologi dapat dimanfaatkan secara sempurna di pasar global. Generasi milenial dapat menyumbangkan keahlian tersebut untuk memajukan sektor pertanian menjadi salah satu sektor andalan di pasar internasional.
Generasi milenial dapat membuat beberapa rencana terkait struktur pertanian; mulai cara penanaman hingga teknik pemasaran. Misalnya pada cara penanaman, generasi milenial dapat memanfaatkan teknologi robot untuk mempercepat proses produksi, sehingga kesan kerja keras, panas, dan kotor bisa dihilangkan akibat adaptasi dunia pertanian ke arah robotik. Kemudian pada tahap budidaya, kecanggihan teknologi memungkinkan generasi milenial untuk melakukannya dalam jarak jauh.
Pada tahap pemasaran, generasi milenial dapat memanfaatkan digital platform sebagai input hasil pertanian yang lebih murah dan efisien. Pemasaran digital dapat memperluas jangkauan pasar, serta memotong rantai pasok yang kerap kali dikuasai oleh tengkulak. Sehingga harga bahan pokok yang beredar di masyarakat akan jauh lebih murah.
Tidak bisa diragukan lagi, potensi pertanian yang diadaptasikan ke dunia digital dapat berkembang pesat. Hal ini bisa ditopang oleh fakta transaksi di dunia digital yang terus meningkat setiap tahunnya. Misalnya pada tahun 2016, transaksi di dunia digital berkisar di angka Rp. 216 triliun. Kemudian di tahun 2020 mengalami peningkatan dengan total transaksi Rp. 1700 triliun. Maka penting menggandeng generasi milenial untuk memajukan ranah pertanian menjadi sektor andalan, dan kembali memperkuat julukan negara agraris untuk bangsa Indonesia.
Redaktur: Annisya Kurniasih