MADRASAHDIGITAL.CO – Massa yang masif adalah kebutuhan pokok para aktivis dalam segala bentuk aksi, sehingga apa yang dikumandangkan orator lewat megafon mampu terdengar. Maka dari itu, tugas utama seorang aktivis ialah menjadi sosok yang hari ini disebut sebagai influencer. Namun, tampaknya para aktivis khususnya mahasiswa pergerakan belum mampu mengalahkan massa komunitas KPopers dan subscriber Atta Halilintar.
Maaf-maaf, bukannya saya menyangsikan atau mengejek, apalagi menghina para aktivis dan berbagai aksi heroiknya. Namun, menurut saya, kondisi hari ini sudah berubah dan berbeda sangat jauh dengan masa lampau, baik dari sisi politik, ekonomi, sosial, dan yang paling penting adalah teknologi komunikasi.
Maka dari itu, diperlukan pola yang baru dan aktivis harus bisa move on dari kisah-kisah romantis para aktivis tempoe doeloe. Sebab, saya rasa aktivis kampus masih terlena dengan romantisme wacana revolusi ala Tan Malaka, tulisan sarkasme ala Soe Hok Gie, dan orasi menggebu Bung Karno, yang akhirnya membuat pergerakan mahasiswa bukan hal yang menyenangkan.
Melek Media Digital
Komunikasi yang menjadi hal penting sebagai penghubung antara para aktivis dan masyarakat untuk menyiarkan pikiran serta tuntutannya. Oleh karena itu, penguasaan media komunikasi menjadi hal yang penting bagi kita untuk bergelut dalam dunia aktivisme, baik media cetak maupun digital. Inilah yang menjadi inti dari tulisan saya kali ini.
Pada dasarnya, media massa merupakan sarana komunikasi menjadi alat penghubung antara para aktivis dan massa. Media massa pada masa perjuangan kemerdekaan hanya sebatas media cetak seperti koran ataupun poster dan radio. Maka dari itu, para pejuang kemerdekaan perlu untuk memiliki keterampilan baca-tulis. Begitu juga di masa Soe Hok Gie pada pergolakan politik tahun 1965 untuk meruntuhkan kediktatoran Orde Lama, bahkan sampai masa reformasi. Mungkin bisa dibilang sudah ada sedikit kemajuan, yaitu televisi.
Media Alternatif
Hari ini kemajuan teknologi media komunikasi berkembang pesat baik dalam hal jurnalistik dan audio visual. Platform media social dengan segala fiturnya menjadi kebutuhan sehari-hari masyarakat untuk memperoleh informasi atau sebatas mencari hiburan. Media massa yang awalnya hanya meliputi tulisan dan radio kini semakin berkembang, gampangnya media massa sudah berkembang dan hari ini kita sebut sebagai media sosial atau medsos.
Informasi yang menjadi kebutuhan masyarakat, perlu disajikan dengan semudah-mudahnya dan akses yang sebebas-bebasnya. Di sisi lain, tidak melupakan unsur hiburan. Inilah mengapa hari ini kita cenderung lebih suka menonton di YouTube ketimbang di TV, scrolling feed di IG daripada membaca redaksi di media digital, dan bahkan saat ini lebih suka TikTok daripada YouTube.
Mengapa TikTok?
Kita sudah tak asing mendengar aplikasi yang satu ini. Platform medsos yang satu ini menyajikan berbagai fitur editing untuk para penggunanya untuk mengekspresikan diri melalui video yang disertai soundtrack sehingga video yang di-post lebih menarik degan durasi rata-rata antara 15-60 detik membuat para pengguna sebagai konten creator untuk membuat video sesingkat dan semenarik mungkin.
Sejak awal launching, TikTok mengalami berbagai masalah terutama dari content creator yang terkadang kontroversial. Bahkan, sempat mendapat sebutan sebagai “Aplikasi Goblok”. Namun hari ini kita melihat bagaimana perubahan dari aplikasi tersebut. Sering kali kita temui konten tiktok di Instagram bahkan sampai dijadikan suatu program di saluran televisi.
Algoritma atau traffic yang berbeda dari platform media sosial yang lain semisal YouTube dan Twitter. YouTube yang mempunyai trending seperti halnya trending topic di Twitter ditinjau dari seberapa sering video itu dilihat serta berapa banyak tweet dengan tagar yang sama dalam satu interval waktu dan akhirnya berujung pada quantity over quality yang mana konten tidak lagi dilihat dari kualitas tetapi kuantitas.
Maka, sudah wajar jika trending YouTube dan trending topic di Twitter menimbun dan menenggelamkan konten-konten yang berkualitas. Twitter dijadikan platform ampuh buzzer dan YouTube menjadi alternatif media para artis yang sudah memiliki banyak fans. Mungkin untuk lebih jelasnya bisa kita lihat Youtube’s Got Talent dari skinnyindonesian24.
Berbeda dengan TikTok yang juga memiliki kolom trending dan for you page yang biasa disingkat FYP. Trending di TikTok seperti halnya di Twitter, yang melalui penggunaan tagar yang sama tetapi yang berbeda ialah tagar yang digunakan dalam TikTok untuk menandai fitur, soundtrack, dan tema konten. Contohnya lagu play date yang sudah tak asing di telinga kita, lalu zoomy face yang menjadi fitur yang asyik untuk digunakan seperti tracking motion yang dipakai para video editor, dan selain daripada itu tagar #samasamabelajar, #samasamadirumah, #samasamaindonesia yang kalau saya bisa sebut menjadi ‘tagar tematik’ untuk menunjukkan tema konten terkait hal tersebut.
Yang menjadi perhatian ialah FYP yang sangat berbeda dari feed IG dan Twitter. Jika biasanya yang tampil di feed IG adalah foto atau video dari akun-akun yang sudah kita follow, for your page menyesuaikan jenis konten seperti apa yang sering diakses oleh para pengguna. Jadi, meskipun tidak di-follow, konten kita bisa dilihat oleh orang lain dengan cara mengikuti tagar yang sesuai dengan konten yang dibuat dan menyematkan tagar yang sedang trending atau menggunakan soundtrack yang lagi ngetren.
Konten dan Pengaruh
Maka dari itu, traffic bukan lagi menjadi masalah dalam ber-TikTok karena siapa pun bisa melihat konten, meski tanpa perlu menjadi followers dan yang jadi perhatian ialah kreativitas content creator dalam menyajikan kontennya.
Jadi, meskipun akun seorang aktivis kekurangan followers, jika konten yang disajikan baik, menghibur, dan berisikan informasi menarik akan mendapat perhatian. Di sisi lain, konten tersebut tetap menghibur dan tidak kehilangan substansinya untuk mengiringi isu dan membantu masyarakat untuk sadar baik dari isu lingkungan, pendidikan, politik, dan lain-lain yang sering kita lihat biasa di poster para aktivis ketika di jalanan yang kadang meninggalkan sampah entah dari botol minuman atau puntung rokok.
Oleh karena itu, saya ‘imbau’ kepada para aktivis khususnya para aktivis kampus untuk mulai main TikTok sampai FYP. Meskipun followers atau subscriber tidak sebanyak Atta Halilintar, orasi yang di-TikTok-kan saya rasa mampu terdengar oleh masyarakat. Jadi, tidak perlu terkenal dulu dan diundang podcast Om Deddy. Sampai saat ini, aksi online mahasiswa dan aktivis hanya melalui Twitter atau Instagram dan itu selalu kalah, entah tenggelam oleh postingan KPopers kadang juga oleh buzzer.
Editor: Ahmad Soleh