Oleh: Dewi Nurhidayah*
Beberapa hari belakangan sempat bermunculan artikel-artikel yang bertuliskan mengenai emansipasi wanita dalam IMM. Bagaimana peran perempuan dalam organisasi otonom Muhammadiyah ini. Melihat kondisi ini, pun telah kita ketahui bersama bahwa dalam Muhammadiyah dan IMM sudah sangat jelas menghargai perempuan, bukan hanya sekadar menghargai, jabatan atau pun peranan juga dipercayakan pada mereka, seperti salah satunya, Aisyiah yang berdiri tepat 5 tahun setelah Muhammadiyah terbentuk, dalam IMM sendiri pun ada bidang IMMawati yang mana dari ketua bidang, sekretaris bidang, sampai anggotanya di-handle oleh IMMawati.
Menyetujui artikel yang dituliskan oleh IMMawati Nadia Putri (FISIP UMJ) yang berjudul IMMawati Bukan Panggilan, Tapi Sebuah Amanah. Melihat judulnya saja hal ini sudah pasti dibenarkan. Akan tetapi, bagaimana dengan realita atau fenomena-fenomena yang kerap kita temukan di keseharian aktivis IMM? Apakah IMMawati dan Immawan sudah berada di jalurnya masing-masing? Bagaimana jika ada batasan yang terlewati oleh IMMawan dan IMMawati ini? Atau yang masih sering diperbincangkan adalah perihal berpacaran, khususnya bagi instruktur.
Apabila kita mengupas lebih dalam apa arti dari romantis, kita dapat memaknai bagaimana romantisme yang benar dalam berorganisasi. Romantisme berasal dari kata romanz (Prancis) yang artinya asmara. Menurut Hoffman (dalam Maunder, 2010), istilah romantisme bisa diterapkan atau menjadi ekspresi dari suatu seni dan karya. Namun, tidak etis jika kita yang mengaku mencintai Nabi Muhammad justru tidak menelusuri makna romantis dari beliau.
Dalam buku yang ditulis oleh Hatta Syamsuddin berjudul Malam Janganlah Cepat Berlalu; Mentari Perlahanlah Sejenak menjelaskan, terdapat poin-poin inspirasi romantisnya Nabi SAW. Di antaranya ialah romantis itu dimulai sejak sebelum menikah dan tidak memiliki waktu berakhir, romantis itu tidak perlu mahal, romantis itu dalam rangka beribadah kepada Allah SWT, romantis itu memang berhubungan dengan penampilan fisik.
Sayangnya, romantis yang ada di dalam pemikiran kader IMM sepertinya berbeda dengan poin-poin romantis ala Rasulullah. Menurut hemat penulis, kader tidak terlalu tampak perbedaannya yang signifikan dengan remaja atau orang-orang berjiwa muda lainnya yang penuh akan gairah cinta. Mengapa demikian? Mari kita renungkan sejenak. Berapa banyak kawan-kawan se-Ikatan kita yang masih berkata kasar? Berapa banyak kawan-kawan se-Ikatan kita yang masih gemar mendekati maksiat? Berapa banyak dari kita yang berpacaran? Apakah ini layak dikatakan kader yang telah dewasa?
Masih membahas mengenai romantisme, sebenarnya pada usia berapa kader ini mulai mengalami pergolakan cinta dan dalam kondisi yang seperti apa? Berdasarkan rentang usia rata-rata, kader termasuk ke dalam masa adolescence (18 hingga 40 tahun) yang mana pada masa ini terdapat beberapa tugas perkembangan menurut Havighurst (Turner dan Helms, 1995) yang kemungkinan besar melekat pada diri setiap kader. Pertama, memilih teman bergaul. Ini dimaksudkan teman yang sebenarnya, suami atau istri karena pada masa ini manusia sudah mulai berpikir dan memilih pasangan yang cocok dengan dirinya, yang dapat mengerti pikiran dan perasaannya yang kemudian untuk dilanjutkan dalam suatu ikatan pernikahan.
Kedua, belajar hidup dengan suami atau istri, masing-masing secara personal sudah mulai menyesuaikan pendapat, keinginan dan minat pasangannya, mulai hidup berkeluarga. Ketiga, hidup dalam keluarga atau berkeluarga, yang mana masing-masing pribadi sudah mengabaikan keinginan atau hak-hak yang sifatnya egosentris dan mengedepankan kebutuhan atau kepentingan utama bagi keluarga. Keempat, memperoleh kelompok sosial yang seirama atau satu visi dan memiliki nilai-nilai yang sama atau sepemahaman, keadaan dimana individu mencari orang-orang atau kelompok yang mempunyai satu pemikiran dengannya atau serupa dengan dirinya.
Apabila kita melihat tugas-tugas perkembangan tersebut secara maknawi tidak ada yang salah. Namun, bagaimana jika hal-hal tersebut dilakukan sebelum adanya ikatan suci yang menghalalkan antara laki-laki dan perempuan? Memang benar, bahwa secara psikologis usia rata-rata kader (18 hingga 20 tahunan) pasti akan mengalami tugas-tugas perkembangan tersebut dan ada kecenderungan untuk memenuhinya.
Lalu, bagaimana Islam memandang usia dewasa awal ini? Psikologi Islam menyebut masa dewasa awal sebagai fase taklif (15 hingga 40 tahun), maksudnya adalah manusia dewasa yang telah dikenai kewajiban sebagai ‘abdullah (hamba Allah) dan sebagai khalifah di bumi serta dalam proses menjadi pribadi yang berkualitas. Pada fase ini diharapkan seseorang akan menjadi lebih taat kepada Allah SWT.
Selanjutnya, Al Ghazali menyebut fase ini sebagai fase ‘aqilfase. Maksudnya adalah intelektual seseorang sudah mencapai puncak. Ia mampu membedakan yang baik dan yang buruk, benar dan salah. Selain itu, seseorang dapat menjalani tugas relasinya dengan sesame, yaitu salah satunya yang penting adalah menikah.
Adapun beberapa tugas perkembangan manusia pada fase taklif adalah pertama, memiliki pengetahuan tentang bagaimana menjalin hubungan dengan Allah. Kedua, memiliki kemampuan untuk melakukan ibadah ghairu mahdhah. Ketiga, memiliki kesadaran tentang tanggung jawab terhadap semua makhluk. Keempat, memiliki wawasan atau pengetahuan yang memadai tentang makhluk hidup. Kelima, memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam bidang tertentu.
Keenam, memiliki kemampuan memahami diri sendiri. Ketujuh, memelihara dan mengembangkan kekuatan dan kesehatan fisik. Kedelapan, memiliki kemampuan mengontrol dan mengembangkan diri sendiri. Kesembilan, memiliki kemampuan menjalin relasi dengan makhluk lain (manusia, binatang, tumbuhan). Kesepuluh, membebaskan diri dari pengaruh gaib. (Hasan dan Purwakania, 2008).
Kader IMM yang kerap kali menyatakan dirinya sebagai cendekiawan berpribadi, takwa kepada Tuhan, dan pewaris tampuk kepemimpinan umat, serta pendukung cita-cita luhur. Pertanyaannya adalah cita-cita yang mana yang akan didukung apabila sikap dan perilaku kader anak panah Muhammadiyah ini tidak mencerminkan kedewasaan secara Islam dan cenderung memenuhi tugas perkembangan kedewasaan perspektif barat. Perlu diingat kembali bahwa, kader merupakan aset, dikutip dari Republika.co.id, seperti yang dikatakan oleh Rektor UMY Dr Ir Gunawan Budiyanto saat Perayaan Milad IMM ke-54 tahun 2018 lalu, beliau yang juga adalah kader IMM mengatakan bahwa, kader IMM merupakan aset bagi Muhammadiyah.
Kedewasaan kader IMM nantinya akan menentukan akan kemana dan bagaimana wajah IMM di generasi selanjutnya. Maka dari itu, perlu bersama-sama, khususnya dari bidang-bidang yang berperan dalam menangani kader untuk meniupkan angin penyegaran dan restorasi akan kedewasaan kader saat ini. Sebagai organisasi pun sudah selayaknya untuk terus memperbaharui segala sistem menyesuaikan dengan zaman tanpa menyalahi pedoman baku (mutlak) ikatan. Jadi, sudah dewasakah kader IMM saat ini?
Daftar Pustaka
Hasan, Aliah B. Purwakania. 2008. Psikologi Perkembangan Islami: Menyikapi Rentang Kehidupan Manusia dari Prakelahiran hingga Pascakematian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Turner, J.S., & Helms, D.B. 1995. Life Span Development (edisi ke-3). London: Holt Rinehart Winston.
“Kader IMM Merupakan Aset Muhammadiyah” https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/p5mhly423
*Sekretaris Koordinator Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jakarta Selatan 2019-2020