Muh. Akmal Ahsan*
Masuk pada tahun 2009 sebagai siswa di SMP-IT Al Fityan School Gowa, kemudian melanjutkan studi SMA pada 2012 hingga tahun 2015. Saya termasuk sebagai generasi awal siswa yang turut merasakan enam tahun perkembangan Sekolah Islam Terpadu Al-Fityan School Gowa. Dengannya maka saya tak pernah sama sekali akan melupakan guru-guru yang terlibat dalam proses pendidikian; ialah ustad Johan Muhammad, Ustad Tholib Bonto, Ustad Ghibran El-Hafidy, ustad Sulaiman, Ustadzah Rahmayani Basri, Ustad Taqwa, Ustad Apriadi dan para guru lainnya yang tentu tidak sempat untuk ditulisakan pada catatan ini. saya sesungguhnya mencintai mereka, sama dengan mencintai tubuh sekolah Islam yang menjadi insititusi pendidikan swasta paling besar di Kabupaten Gowa ini. Pada posisi itulah, sesungguhnya tulisan ini memuat kenangan sekaligus subtansi kritik dan apresiasi sebagai perwujudan rasa cinta dan harapan-harapan ideal akan kemungkinan Al-Fityan School Gowa dapat menjadi ‘pabrik’ intelektual yang memiliki karakter Islami yang modernis.
Saya tidak akan mengelak bahwa kegemaran membaca buku yang hingga saat ini saya tekuni sesungguhnya berasal dari kebijakan dan kewajiban dari sekolah yang pada waktu itu mewajibkan setiap siswa meresensi buku minimal 2 buah dalam satu bulan. Ini adalah kebijakan yang berkemajuan, setidaknya merasuk menjadikan para siswa melek terhadap bacaan-bacaan. Namun tidak sempurna, beberapa buku progresif telah dilarang untuk dibaca siswa oleh oknum guru tertentu. Pada posisi inilah upaya pembangunan semangat literasi akan mengalami jalan buntu. Agenda pembangunan semangat literasi mesti dibangun diatas semangat pembebesan untuk mengkaji ragam pemikiran, khususnya dalam mengembangkan wacana dan wawasan keIslaman. Saya tidak paham apakah pembatasan bacaan buku masih ada, jika demikian, bangunan semangat literasi perlahan hanya berhenti sebagai pengekakangan pikiran Siswa dan pembangunan budaya literasi yang parsial. Ke depan, SMAIT Al-Fityan School Gowa mesti membangun paradigma literasi yang utuh, lebih penting lagi untuk memperkaya perpusatkaan dengan bacaan-bacaan yang bersifat interdisipliner, khususnya dalam upaya pembibitan pemikiran Islam yang progresif.
Kegemaran membaca tidak saja kepada buku, Alfityan dengan semangat mengajarkan para siswa untuk terus memberikan perhatian kepada membaca dan menghapal al-Quran. Dengan penuh rasa bangga saya harus katakan bahwa dahulu saya adalah siswa terbaik dalam soal menghapal al-Qur’an kala SMP. Namun hari ini sesungguhnya yang dibutuhkan tidak saja mengapalkan al-Qur’an secara tekstual, ummat membutuhkan para cendekiawan yang mampu menginterpretasikan ayat dengan situasi zaman, demikian harusnya kebijakan menghapal mesti diimbangi dengan penafsiran al-Qur’an secara komprehensif.
Al-Fityan School sebagai institusi pendidikan Islam mestinya mampu membuka keran pemikiran lebih luas, demikian dengan pembebasan akan gerakan-gerakan mandiri yang dilahirkan para siswa. Namun problem lain menunjukkan hal yang berbeda, pada 2015 silam saya bersama kawan-kawan siswa lainnya membangun organisasi Himpunan Pelajar Kritis (HIPKRIS) nyaris seiring dengan adanya Ikram-G, waktu itu upaya untuk menganaktirikan Hipkris sangat terasa, tak ayal pamflet promosi kegiatan Hipkris dicabut oleh oknum guru di dalam sekolah. Ini sesungguhnya adalah bagian lain dari pengekangan kebebasan berpikir para Siswa. Seiring dengan harapan saya bahwa Hipkris-Gowa dikembangkan kembali, saya jua berharap bantuan pada institusi agar mendukung penuh kehadiran nalar kritis siswa.
Program sekolah yang juga merupakan program yang baik lagi progresif adalah kebijakan Pengabdian Pada Masyarakat (P2M) yang hingga kini masih secara konsisten dilaksanakan oleh sekolah. Tak dapat disangkal bahwa program demikian akan dapat membangun semangat responsif atas situasi sosial masyarakat. Namun yang lebih penting sesungguhnya adalah pewarisan kemampuan ananilis sosial daripada gerakan-gerakan praksis di lapangan. Para siswa diajarkan tidak saja bertindak praktis, namun memulai dengan menganalisa keadaan masyarakat dan berupaya untuk menentukan solusi.
Seolah sepadan dengan adagium “jauh panggang dari api”, hingga kini mesti diakui bahwa pasca memasuki dunia kampus sebagai kelanjutan dari pendidikan sebelumnya, para alumni Alfityan belum dapat dikatan memiliki karakter yang kuat, khususnya anasir alumni sekolah Islam yang melekat dipundak, ini adalah evaluasi besar sekaligus pertanda betapa sesungguhnya dibutuhkan agenda pendiasporaan yang tersistematis di kampus-kampus, kita berharap bahwa para alumni dapat menghiasi kampus-kampus nasional dengan paradigma pemikiran yang utuh, hasil bentukan dari sistem pendidikan yang dilaksanakan di dalam sekolah.
Liberalisasi Pendidikan dan Tugas Alumni
Dalam percakapan via-WA beberapa waktu lalu, saya mengkritik pernyataan Kepala Sekolah SMAIT Al-Fityan School Gowa. Beliau menyatakan “…dan pastilah benar al-Fityan dulu beda dengan alfityan sekarang karena kita dituntut untuk selalu berubah dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Al-Fityan dinamis, karena kalau stagnan malah hal ini yang akan membuat fityan akan ditinggalkan”. Ini adalah pernyataan yang fatal dan sesungguhnya berkebalikan dengan visi kehadiran Sekolah Islam Terpadu yang menuntut sistem pendidikan nasional yang tidak memberi porsi lebih kepada pelajaran Islam. Sekolah hadir bukan untuk menyesuaikan diri dengan zaman, namun secara integratif mampu mengkritik zaman dan membangun agenda transformasi. Bila diulik, sesungguhnya pernyataan tersebut adalah pernyataan paradigma pendidikan liberal-kapital, bila demikian konsep dan impelementasinya, para siswa akan disesuaikan secara paksa dengan keadaan pasar dan sekolah akan membatasi diri hanya sebagai pusat industri.
Dewasa ini, lembaga pendidikan Islam memang selalu digoda untuk secara penuh terjun dalam pasar persaingan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Peran “pemodal” dibalik megah mewahnya banyak sekolah Islam bukan hanya mendorong sekolah untuk mendidik individu, namun agenda utama ialah terus menanam dan mengembangkan modal sang pemodal. Dialektika pasar di dunia internasional dan nasional seolah olah menantang lembaga pendidikan Islam segera merubah orientasi, jika tidak, maka segera ia punah. Liberalisasi pendidikan telah merasuki lembaga pendidikan Islam.
Tetapi bertahan bukan kekalahan, memang rumit untuk bertahan ditengah gempuran pasar ekonomi. Saya sepakat dengan apa yang dikatakan Ki Darmaningtiyas sebagaimana dituliskan dalam buku Teguh (2019), ia menerangkan bahwa perlawanan terhadap liberalisasi pendidikan selalu membutuhkan integritas yang kuat untuk menolak ragam saweran sana-sini dan siap dicampakkan dalam kesunyian. Pada posisi inilah Al-Fityan seharusny mampu kokoh bertahan ditengah pasar yang semeriak. Godaan untuk mencari legalitas ISO mesti ditahan dan disejajarkan dengan pengembangan kualitas manusia di dalamnya, dari guru hingga siswa hingga civitas akademika lainnya. hal demikian pula yang menjadikan Alumni berkepentingan untuk terus memberikan sumbangsih kritik dan pemikiran demi kemajuan sekolah.
Kita bersyukur bahwa dibawah kepemimpinan Muh. Alif Zhafran beberapa agenda alumni telah dilaksanakan. Ke depan tugas alumni ialah secara konsisten membangun soliditas dan solidaritas, saling mengisi dan saling membantu satu dengan yang lain. Bukan hanya itu, mereka-mereka tidak boleh lupa dengan rumah hijau tempat dahulu berdinamika, dengannya maka alumni mesti produktif dalam memberikan kritik, refleksi dan solusi kepada institusi sekolah. Di kampus-kampus dan institusi manapun, para alumni tidak boleh kehilangan jati diri keIslamannya, sebaliknya mereka harus memegang teguh prinsip keIslaman dan secara terus menerus mereinteretasikannya dengan zaman. Dengannya, maka harapan untuk para siswa menjadi murid yang bermanfaat tidak saja berhenti pada spanduk kebanggan di halaman depan sekolah.
Akhirnya saya berharap bahwa institusi pendidikan SMA Al-Fityan School Gowa tiba dalam dialektika keummatan tidak saja dengan jubah ISO yang pada posisi tertentu menipu, lebih daripada itu kita berharap sekolah ini timbul dengan bargaining sosial yang kuat, melahirkan cendekiawan Islam yang progresif, bermanfaat bagi ummat dan turut terlibat dalam agenda transformasi sosial.
*Alumni SMA-IT Al-Fityan School Gowa