Oleh: Bayujati Prakoso[1]
Pada kali ini, waktunya telah tiba. Datang lah mereka, mahasiswa baru, yang berasal dari seluruh penjuru Nusantara. Beragam latar belakang, agama, suku, ras, tidak menjadikan penghalang bagi mereka, justru disitu khas nya kuliah di Perguruan Tinggi. Tidak ketinggalan, beragam usia mahasiswa, sifat, karakter mahasiswa baru menjadi warna-warni ketika hadir di kampus. Semangat tiada henti untuk terus menempa diri (dalam pendidikan) menjadi keharusan yang tak terpisahkan dalam kepribadian para mahasiswa.
Penulis seringkali mengatakan bahwa, kampus adalah gudangnya intelektualisme. Disitu terdapat beragam ilmu pengetahuan yang memungkinkan mahasiswa untuk mendapatkannya. Pernah ada ungkapan tentang pentingnya kampus bagi mereka (mahasiswa), yakni sebagai berikut.
“Kampus adalah ruang metodologi. Hal ini adalah khasnya. Disitu ada sistem bangunan ilmu, ilmu tentang metode, dan analisis komprehensifnya terhadap ilmu. Maka disebut ruang metodologi ialah kampus. Selain itu, terdapat pengujian pikiran, dialektika/tempat silih berganti gagasan-pemikiran/ilmu/metode sampai pengujian dengan penggunaan metode-metode terhadap ilmu, hasil observasi, ditambah pengembaraan intelektual muncul di kampus.”[2]
Dalam ungkapan diterangkan dengan jelas bahwa kampus menjadi sarana bagi mahasiswa untuk dapat menimba ilmu. Bahkan ada istilah mahasiswa harus meraup dalamnya sumur ilmu pengetahuan di kampus. Kampus menjadi tempat yang sangat strategis dan solutif untuk memaksimalkan peran dan tugas mahasiswa.
Secara konkret, mahasiswa memiliki apa yang disebut sebagai kebebasan mimbar akademis. Kebebasan ini dimaksudkan kebebasan otonom dalam mencari, mendapatkan beragam ilmu pengetahuan. Artinya, setiap mahasiswa memiliki hak untuk mencari dan menerima beragam ilmu pengetahuan di kampus.
intelektualisme bukan diukur dengan banyaknya berbicara atau lihainya merawat kata saat orasi, melainkan perlu memaksimalkan ilmu yang dimiliki untuk diamalkan. Dalam artian, mahasiswa selain pintar dalam akademis, harus pintar dalam bersosialisasi, dan peka terhadap lingkungan. Secara sederhana, apakah mampu membantu teman sebaya, sampai pada berkontribusi untuk lingkungan sekitarnya. Maka, tugas seorang mahasiswa bukan saja belajar di kampus, dan melakukan penelitian, melainkan peka terhadap lingkungan sosial, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat.
Jargon Hidup Mahasiswa
Disetiap kegiatan penerimaan mahasiswa baru, atau pengenalan/orientasi mahasiswa baru dipastikan ada jargon-jargon “Hidup Mahasiswa”, dan tidak sedikit menyanyikan lagu perjuangan mahasiswa dalam kegiatan di kampus. Hal ini berupaya mengenalkan kehidupan, dan peran mahasiswa yang sejati.
Namun, jangan sampai terjebak pada asyik dan euforianya lantunan lagu mahasiswa dan jargon “Hidup Mahasiswa” semata, melainkan membangun substansi dari “Hidup Mahasiswa” ke dalam diri mahasiswa. Jangan sekadar “Hidup Mahasiswa”, dan selepas itu senangnya kegiatan yang hore-hore (hiburan, main), budaya instan merajalela; copy-paste dalam menulis paper, minim sensitif ke kehidupan sosial masyarakat, nilai anjlok, tidak banyak yang suka, bahkan antipati alias sedikit ogah pada buku, ke perpus kampus ketika ada tugas saja, tinggi minat baca Instagram, WhatsApp, tapi rendah daya baca buku kuliah. Hal ini bukan bermaksud mengklaim kondisi mahasiswa demikian, namun bentuk kekhawatiran dan kepedulian terhadap kondisi mahasiswa. Tentu kita tidak ingin seperti itu bukan, wahai para mahasiswa.
Mari renungkan dan bangun komitmen untuk tidak sekadar mengucapkan “Hidup Mahasiswa”, melainkan menjalankan substansi frasa itu, menyematkan dalam sukma, dan dipraktikkan ke kehidupan. Ringkasnya, menjadi mahasiswa yang berilmu, berprestasi, dan mengamalkannya ke dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
Pintar Saja Tidak Cukup
Dibeberapa kesempatan penulis pernah menyampaikan selain harus pintar, mahasiswa harus menaikkan level intelegensia nya ke tingkat yang lebih tinggi lagi, yakni bijaksana. Mahasiswa haruslah bijaksana. Bijak sejak dalam pikiran dan tindakan menjadi nyata dan patut dipahami oleh segenap mahasiswa, baik lama, dan baru.
Menjunjung nilai kebijaksanaan (value of wisdom) secara sederhana ketika mahasiswa melakukan proses pendalaman, dan pembentukkan jati diri di kampus, seperti ia memiliki pertimbangan-pertimbangan/dasar argumentasi ketika berbicara, menulis, bersikap dimanapun berada, memiliki prinsip untuk apa ia kuliah, memiliki capaian keberhasilan dari tiap semester dalam kuliah, mampu memilah mana yang baik dan buruk, serta mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan ketika melakukan segala sesuatu.
Penutup
Mahasiswa adalah penerus generasi bangsa. Cermin dan masa depan bangsa salahsatunya ada dalam mahasiswa. Oleh sebab itu, maksimalkan peran dan tugasnya sebagai wujud dari kepribadian seorang cendekiawan. Dengan begitu, sudah tidak perlu repot-repot lagi negara mencari generasi bangsa yang siap meneruskan tampuk pimpinannya, sudah ada mahasiswa. Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi (Konsentrasi Media Policy) Universitas Diponegoro, Semarang, Pegiat Madrasah Digital DKI Jakarta (madrasahdigital.co)
[2] Bayujati, Prakoso, 2019, “Sukma Intelektualisme: Sebuah Refleksi, Autokritik, dan Afirmasi”, https://madrasahdigital.co/1133/opini/admin/sukma-intelektualisme-sebuah-refleksi-autokritik-dan-afirmasi/ (diakses pada 4 September 2019, 20.21 WIB).