MADRASAHDIGITAL.CO – Tanpa disadari, jumlah kasus kekerasan seksual terus meningkat dari tahun ke tahun. Layaknya fenomena gunung es, kekerasan seksual yang muncul ke permukaan masih sebagian kecil dibandingkan kasus yang tidak terlihat/terlapor. Ironisnya, meningkatnya angka kekerasan seksual tidak sebanding dengan kebijakan pemerintah dalam melindungi warga negaranya. Pasalnya, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang seharusnya dapat memberi jaminan rasa aman bagi warga negaranya, justru dihapus dari prolegnas. Pemerintah seakan tak tahu cara membedakan mana yang harus diprioritaskan dan mana yang tidak. Tidak ada payung hukum yang mengikat para pelaku kekerasan seksual, tidak ada hak-hak korban dalam konstitusional. Hal ini menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam menerapkan konstitusi untuk melindungi warga negaranya.
Berdasarkan data Komnas Perempuan, sepanjang 2019, ada 431,471 kasus kekerasan terhadap perempuan, 3.000 lebih juga terjadi di ranah publik. Sepanjang 2019, dari 400 ribu lebih korban kasus pelecehan seksual, hanya 507 korban yang terlindungi. Dalam rentang Januari-Juni 2020, ada 329 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan 1.849 kasus kekerasan seksual terhadap anak, baik perempuan maupun laki-laki (Data SIMFONI PPA).
Salah satu kasus nyata yang baru-baru ini terjadi, seorang remaja korban kekerasan seksual yang dititipkan di rumah aman milik Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur yang merupakan lembaga pemerintah. Namun, saat dititipkan, korban mengalami peristiwa yang sama dan ironisnya pelaku adalah kepala UPT P2TP2A itu sendiri.
Pada awal 2017, RUU PKS sudah diwacanakan akan dituntaskan dan sudah masuk daftar program legislasi nasional (prolegnas). Prioritas ini yang artinya wajib disahkan pada 2020. Namun, realisasinya justru DPR mengeluarkan RUU ini dari prolegnas karena dianggap “sulit” dan merasa tidak mampu melakukan pembahasan dengan waktu yang diberikan. Namun, di waktu yang sama, DPR malah banyak mengesahkan RUU yang justru cenderung tidak pro-rakyat, seperti RUU KPK, Omnibus Law Cipta Kerja, dsb.
Adapun dalih lain yang disampaikan pihak Badan Legislasi (Baleg) DPR adalah sejumlah pasal pemidanaan dalam RUU PKS yang berkelindan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Oleh karena itu, sebelum mengesahkan RUU PKS, mereka harus mengesahkan RKUHP terlebih dulu. Hal ini diungkapkan Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas.
Pada akhir periode kerja DPR 2014-2019, Ketua Panitia Kerja (Panja) Pembahasan RUU PKS Marwan Dasopang, politikus PKB, mengatakan hal serupa. Marwan beranggapan, RUU PKS sebagai UU lex specialis harus selaras dengan KUHP, terutama dari aspek bobot pemidanaan. Saat itu, DPR telah menyepakati tiga bab dari RUU PKS, yakni pencegahan, perlindungan, dan rehabilitasi.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan, RUU PKS adalah hukum, lex specialis, yang mengatur sembilan kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. RKUHP sendiri hanya mengatur dua jenis kekerasan, yaitu pemerkosaan dan pencabulan.
Pendapat DPR kemudian mendatangkan reaksi dari pakar hukum tata negara dari Sekolah Hukum Jentera Bivitri Susanti bahwa tidak ada satu pun pasal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatakan pengesahan satu RUU harus menunggu pengesahan RUU lain. Terlebih, dalam RUU PKS tidak ada satu pun pasal yang menyatakan merujuk pada KUHP.
Singkatnya, RKUHP sendiri belum selesai pembahasannya karena didemo pada 2019. Pertanyaan yang muncul kemudian, mau sampai kapan menunggu RKUHP disahkan? Mau berapa korban lagi yang bertambah? Jika RUU PKS lebih dulu disahkan, ada asas hukum lex specialis derogat lex generalis. Yakni, hukum yang bersifat khusus dan diutamakan keberlakuannya dibandingkan UU yang bersifat umum sehingga tidak ada masalah di lapangan nantinya.
Bukan tidak mungkin jika pengaturan pemidanaan pada RUU PKS yang dijadikan rujukan saat merumuskan RKUHP. Menurut Bivitri, bahkan itu lebih baik, sebab RUU PKS disusun dengan paradigma penghapusan kekerasan seksual, sementara RKUHP disusun dengan paradigma yang lebih umum, yakni reformasi hukum pidana. Ini berarti memberikan gambaran seharusnya RUU ini bisa di bahas dan juga bisa di sahkan.
Dalam ranah ilmu kesejahteraan sosial dijelaskan tentang dari pencegahan, rehabilitasi, dan intervensi langsung dengan tujuan mengembalikan kebiasan lama korban atau fungsi sosialnya di masyarakat. Kondisi ini tentu menuntut kehadiran peraturan yang tegas dan berpihak pada korban kekerasan seksual. Di sinilah peran Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dibutuhkan. Agar adanya sanksi atau hukumun yang tegas dan tidak ada lagi kasus-kasus seperti ini. Serta menjadi harapan bagi publik, terutama para keluarga korban yang mengharapkan adanya regulasi yang benar-benar dapat melindungi dan memulihkan korban kekerasan seksual. Di sisi lain, RUU PKS adalah bukti negara benar-benar memberikan perlindungan dan jaminan rasa aman bagi warganya.