MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh Raka Rahmana Putra (Ketua PK IMM FAI UMY Bidang RPK)
Permasalahan seputar pendidikan dari dahulu telah menjadi isu yang tak pernah mencapai titik temu dan menghasilkan solusi ideal bagi masyarakat Indonesia. Terdapat sejumlah hasil penelitian yang memaparkan bagaimana kondisi pendidikan di Indonesia.
Hasilnya antara lain adalah kesenjangan hak atas pendidikan, kualitas pendidikan yang tidak merata, serta distribusi pengetahuan yang mandek. Hal ini dipicu oleh beberapa faktor, diantaranya permasalahan dana pemerintah, kurikulum yang berubah-ubah, sarana prasarana yang tidak merata dan lain sebagainya.
Beberapa permasalahan ini dapat kita lihat dari timpangnnya pendidikan antara wilayah timur dan barat Indonesia. Misalnya di Papua, angka putus sekolah menduduki tingkat tertinggi di Indonesia dengan angka 2,38 % untuk tingkat SD, dan 3,22% untuk tingkat SMP. Hal ini dipicu oleh kualitas infrastruktur dan kualitas SDM sekolah yang rendah.
Pendidikan yang Timpang
Randal Collins (2019) dalam bukunya The Credential Society: An Historical Sociology of Education Stratification menyebutkan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sebagai stratifikasi sosial awal bagi masyarakat. Namun persoalan yang mestinya diperhatikan ialah apakah sekolah sebagai salah satu ruang dalam menempuh pengembangan potensi diri telah dirasakan oleh seluruh masyarakat? Permasalahannya saat ini, sekolah menjadi pusat dari strata sosial yang nyata timpangnya.
Ketimpangan dalam pendidikan Indonesia itu gagal ditemukan solusinya. Mas menteri Nadiem Makarim memusatkan kebijakannya pada penyediaan fasilitas bagi peserta didik terlebih dahulu. Beliau beranggapan bahwa pendidikan harus “kawin” dengan industri dalam artian yang mengikat dalam satu komitmen kenegaraan yang tak terlepaskan. Anggapan tersebut telah diwujudkan olehnya melalui kebijakan kurikulum merdeka belajar yang menurut timnya telah mencapai keberhasilan dalam beberapa tahun ini.
Kebijakan ini dipusatkan pada peserta didik di tahap manapun, dari SD, hingga Perguruan Tinggi. Namun apakah hal ini dikatakan ideal dalam memajukan kualitas pendidikan? Dari dahulu kebijakan pendidikan Indonesia memfasilitasi peserta didik, seakan-akan yang menjadi titik tumpu permasalahan ialah anak-anak yang menempuh pendidikan.
Padahal semua manusia memiliki potensinya masing-masing, tidak ada manusia yang dilahirkan tidak istimewa, hanya saja lingkunganlah yang membentuknya untuk buta terhadap potensi dirinya sendiri. Belum lagi gagasan ini dipertanyakan pemerataannya, apakah gagasan ini telah benar-benar sampai ke daerah-daerah yang kualitas pendidikannya masih relatif rendah.
Ambivalensi Guru Indonesia
Selama ini bukan peserta didik yang menjadi muara permasalahan pada pendidikan di Indonesia. Akan tetapi, pada kualitas pendidiknya. Penyebab kualitas pendidikan di Indonesia rendah ialah karena kesejahteraan pendidik yang tak terjamin. Hubungan dari kesejahteraan guru dan kualitas pendidikan dapat kita lihat dari beberapa hal berikut;
Pertama, paradoks “profesi” Guru. Profesi pada dasarnya ialah status yang memerlukan keahlian dalam aktifitasnya dan dengan keahlian itu seorang dibayar demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Yang terjadi saat ini dengan insting mempertahankan hidup, guru banyak mengambil pekerjaan di luar dari tugasnya sebagai seorang guru karena menjadi seorang guru tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hal tersebut habis-habisan menguras tenaga, hingga kemudian harus mengalihkan fokusnya dari kegiatan pembelajaran. Guru tak lagi sempat meningkatkan kualitas dirinya atau mengevaluasi pembelajaran yang telah ia
selenggarakan. Pada akhirnya keseluruhan kegiatan pembelajaran tidak efektif dan efesien.
Kedua, kesejahteraan dan Status Sosial Guru. Pendidikan adalah kunci dari kemajuan peradaban suatu negara, dan guru memegang peranan vital sebagai praktisi dalam upaya tersebut namun kesejahteraannya terus menjadi permasalahan di negeri kita. Pada akhirnya guru tidak mendapatkan status sosial yang layak sehingga tak jarang menjadi profesi yang disepelekan. Akhirnya aktivitas pembelajaran tidak dianggap sebagai tugas yang sakral dan mulia.
Permasalahan di atas dapat dilihat dari bagaimana sebenarnya kesejahteraan guru di Indonesia. Kita lihat bagaimana kenyataan yang menimpa guru Indonesia dari dulu sampai sekarang. Guru sebagai sebuah profesi nampak tidak menemukan kesejahteraannya. Misalnya saja di kota besar gaji guru honorer hanya berkisar Rp 1 juta – Rp 2 juta per bulan, diluar jawa hanya sekitar Rp 300 ribu – Rp 1 juta per bulan. Jumlah ini tentu saja tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari para guru honorer.
Apakah PPG Menjadi Jawaban?
Tidak lama ini Kemendikbudristek dalam menjawab permasalahan tersebut membuat program PPG yang diperuntukkan kepada para guru honorer (PPG dalam jabatan), maupun seorang yang telah menempuh pendidikan S1 untuk menjadi seorang guru (PPG prajabatan). Namun angin segar itu tidak benar-benar menggembirakan bagi seorang yang telah lulus S1 lalu ingin menjadi seorang guru. Para lulusan S1 ini harus membayar Rp 7,5 juta hingga 9,5 juta per semester.
Meskipun demikian Perlu diapresiasi PPG bagi guru honorer yang telah tercatat sudah mengajar diberikan subsidi untuk mengikuti program ini, sehingga mereka tak perlu mengeluarkan biaya sendiri dalam menempuh program sertifikasi guru ini.
Namun hal yang belum digagas dalam kebijakan-kebijakan ini ialah bagaimana pemerataan tenaga kependidikan di daerah-daerah yang kualitas pendidikannya masih tertinggal. Jika hanya berhenti pada kebijakan yang telah disebut sebelumnya, guru yang telah tersertifikasi hanya akan menumpuk di kota-kota besar, ketimpangan pendidikan akan semakin nyata, permasalahan pendidikan kembali kepada permasalahan yang itu-itu saja meskipun kebijakan baru
diselenggarakan.
Beberapa Tawaran
Dalam menjawab permasalahan pendidikan tersebut setidaknya ada beberapa tawaran yang semestinya diterapkan dalam dunia pendidikan kita.
Pertama, prinsip merdeka belajar. Dalam Program Profesi Guru semestinya menerapkan bagaimana guru mendidik dengan prinsip merdeka belajar yang sesungguhnya. Dalam pembelajaran di kelas tidak boleh lagi adanya diskriminasi antar siswa, semua siswa haru dipandang sebagai manusia yang spesial dan guru sebagai pembimbing siswa dalam menemukan keistimewaan dalam diri siswa.
Kedua, pengawasan sertifikasi guru. Pengawasan ini berfungsi dalam penjagaan kualitas guru yang tersertifikasi. Hal ini dilakukan dalam upaya peningkatan kualitas guru yang terus menerus dilakukan mengingat zaman yang terus berubah, maka guru harus terus menyelaraskan kinerja demi tantangan dan kebutuhan zaman.
Ketiga, pemetaan guru-guru. Hendaknya hal ini dilakukan agar para guru tidak berkumpul dan akhirnya menumpuk di daerah-daerah yang kualitas pendidikannya telah relatif baik. Guru semestinya disebar ke daerah yang membutuhkan demi perbaikan kualitas pendidikannya. Hal ini dilakukan demi menyelesaikan permasalahan ketimpangan kualitas pendidik.
Keempat, subsidi program PPG Prajabatan. Hal ini perlu dilakukan melihat biaya pendidikan untuk S1 saja sudah sangat tinggi. Biaya pendidikan semestinya juga disalurkan untuk biaya PPG ini apalagi bagi mereka yang telah terlebih dahulu menjalani pendidikan perguruan tinggi di bidang pendidikan. Kita bisa bayangkan seseorang yang telah menghabiskan puluhan juta mengenyam bangku pendidikan tinggi masih harus membayar belasan juta lagi untuk mengikuti program PPG ini.
Penutup
Hal yang tertinggal dalam menjawab tantangan pendidikan pada dasarnya ialah bagaimana kesejahteraan guru benar-benar direalisasikan. Selama ini sebenarnya kualitas guru jauh dari kata baik. Hal ini tentu tidak hanya murni dari kesalahan guru akan tetapi bagaimana sebenarnya kondisi guru di negara kita. Kurikulum terus menerus diganti apabila kualitas guru tidak mumpuni hanya menjadi pekerjaan yang sia-sia.
Daftar Pustaka
cnbcindonesia.com. (2022, Agustus 2).
https://www.cnbcindonesia.com/mymoney/cek-daftar-gaji-guru-sd-dan-pns-
terbaru-2022: https://www.cnbcindonesia.com
Collins, R. (2019). The Credential Society: An Historical Sociology of Education
Stratification. New York: Columbia Universit Press.