Sejarah peralihan manusia pemburu hingga menjadi manusia bercocok tanam telah melahirkan simpul baru peradaban manusia. Dimana dengan datangnya pengetahuan baru dalam perekayasaan awal manusia sampai dapat bercocok tanam, manusia telah berhasil mendapatkan pangan dengan sendirinya secara menetap. Padahal jauh sebelum manusia menemukan sistem bertani, mereka selalu berpindah-pindah mengikuti binatang buruanya dalam melangsungkan kehidupan. Dengan usaha mereka dari menanam tanaman pangan hasil demestifikasi dan memsupply jumlah pangan yang memadai, manusia mulai berkembang biak dengan kelahiran yang pesat.
Secara biologis, kondisi perkembangan manusia menuntut untuk terus membutuhkan makanan sebagai salah satu syarat keberlangsungan hidup manusia dan mahluk lainnya. Hal inilah oleh Yuval Noah Harari (2014) dalam buku Sapiens: A Brief History of Humankind menjelaskan jika “makanan adalah dasar manusia dalam berbudaya”. Sehingga secara filosofis sejarah manusia termasuk dalam sejarah pangan juga.
Yang menjadi persoalan saat ini, penyediaan pangan dimasa mendatang terus berkejar-kejaran dengan perkembangan jumlah manusia yang terus bertambah secara pesat. Malthus dalam essaynya yang berjudul prinsip kependudukan menyebutkan bahwa pertumbuhan penduduk seperti deret ukur dan pertumbuhan pangan hanya seperti deret hitung. Sedangkan Montpellir menjelaskan untuk mencapai populasi jumlah manusia sampai angka satu milliar jiwa, dunia membutuhkan waktu 250.000 tahun. Selanjutnya untuk mncapai angka dua milliar jiwa memerlukan waktu satu abad lamanya. Dan butuh sepertiga abad untuk mencapai total tiga milliar jiwa.
Jika melihat di Indonesia, dibutuhkan waktu yang sangat panjang untuk mencapai total penduduk sebesar 100 juta jiwa (tahun 1963), dan setelah itu untuk mencapai jumlah penduduk sebesar 200 juta jiwa cukup dibutuhkan waktu 35 tahun (tahun 1998), dan diperkirakan 35 tahun lagi (tahun 2033) untuk mencapai jumlah penduduk sebesar 300 juta jiwa lebih. Perkembangan jumlah penduduk yang cukup pesat tersebut tidak dapat dilepaskan dengan ketersediaan pangan yang cukup.
Pada tahun 1984 Indonesia berhasil menuai prestasi swasembada pangan dan salah satu negara pemasok pangan di dunia. Bahkan organisasi dunia Food and Agriculture Organisation-United Nation (FAO) pada tahun 1986 memberikan penghargaan kepada Indonesia untuk memperingati keberhasilan Indonesia di bidang pertanian. Khususnya dalam mencapai swasembada pangan. Pada saat pemberian penghargaan diatas panggung, secara simbolik pemerintah Indonesia menyerahkan bantuan satu juta ton gabah dari petani Indonesia untuk penduduk Afrika yang sedang dilanda kelaparan.Kesuksesan tersebut tidak luput dengan dukungan semangat penduduk Indonesia dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mampu memajukan sektor pertanian.
Dalam jangka waktu satu tahun terakhir, menurut data BPS jumlah angkatan kerja di sektor pertanian mengalami penurunan yang sangat drastis. Jumlah angkatan kerja pada Februari 2018 sebanyak 133,94 juta orang. Penduduk yang bekerja sebanyak 127,07 juta orang dan yang bekerja di sektor Pertanian 38,70 juta jiwa (30,46%). Padahal pada tahun sebelumnya (februari tahun 2017) penduduk yang bekerja disektor pertanian sebanyak 39,68 juta jiwa (31,87%). Hampir satu juta jiwa penduduk indonesia meninggalkan pekerjaannya disektor pertanian. Sedangkan penduduk yang bekerja disektor industri dan perdagangan pada februari tahun 2018 sebanyak 41,47 juta jiwa meningkat lebih dari satu jiwa penduduk yang pada tahun sebelumnya sebesar 40,34 juta jiwa.
Disisi lain, kebutuhan akan lahan untuk berbagai sektor semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk serta maraknya pembangunan ekonomi yang berada di sekitar perkotaan dan di sekitar pusat perindustrian. Kebutuhan akan lahan diperlukan guna pembangunan seperti perumahan, pemukiman penduduk, dan infrastruktur (jalan, tol, bandara, industri, perkantoran) dengan cara ambil alih lahan-lahan sawah subur yang telah menjadi sentral produksi padi sejak ratusan. Lahan sawah akan menjadi salah satu sasaran utama konversi bagi pengembang industri non-pertanian, karena bentuk dari lahan umumnya datar, aksesibilitas tinggi dan dekat dengan sumber air.
Dampak yang akan terjadi akibat alih fungsi lahan secara makro ialah ketersediaan pangan yang berkurang yang nantinya akan mempengaruhi pada berkurangnya ketahanan pangan secara nasional. Sedangkan secara mikro, alih fungsi lahan mengakibatkan petani yang pada awalnya mengusahakan tanaman pangan dan dapat memenuhi sendiri ketersediaan pangan (beras) bagi rumah tangganya sendiri menjadi tidak memiliki beras dan harus membeli. Dampak lain dari alih fungsi lahan paling buruk ialah hilangnya mata pencahariannya sebagai petani, hilangnya kesempatan kerja pada usaha tani, serta peluang pendapatan dan kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan usaha disektor pertanian. Dengan menurunnya pendapatan maka akan berpengaruh terhadap daya beli menurun dan berdampak pada menurunnya aksesibilitas ekonomi rumah tangga petani terhadap pangan. Sehingga penduduk yang bermula bekerja di sektor pertanian akan beralih profesi ke sektor yang lainya (sektor non-pertanian).
Peralihan pekerjaan penduduk disektor pertanian ke sektor non-pertanian salah satunya juga dapat disebabkan oleh nilai kesejahraan petani yang masih rendah. Dalam teori Rational Choice Theory berlaku konsep Economic Man, yang membahas orang akan cenderung berusaha untuk memaksimalkan keuntungan semaksimal mungkin dan menghindari adanya kerugian (Chattopadhyay dan Ghosh, 1995). Rendahnya upah buruh disektor pertanian, minimnya lahan yang dimiliki, dan harga jual produk pertanian yang tidak dapat menguntungkan para petani membuat indikator kesejahteraan petani belum mampu bergerak lebih jauh.Peralihan pekerjaan ke non-pertanian akan terus menerus terjadi ketika pekerjaan sebagai petani tidak melahirkan harapan kesejateraan. Salah satu harapan petani untuk bermimpi memperoleh kesejahteraan ekonomi adalah ketika harga komoditas pertanian dapat meningkat.
Jika dikaji memakai pisau analisis ekonomi politik maraknya impor komoditas pangan juga disebabkan oleh pasar liberalisasi yang begitu kuat persaingannya. Liberalisasi didalam pasar perdagangan memiliki tujuan menghilangkan aturan-aturan yang bersifat melindungi industri domestik (Setiawan, 2000). Sesungguhnya ide dan kebijakan neo-liberalisme dipelopori Reagan dan Margareth Thatcher ketika penandatanganan sistem Bretton Woods pada tahun 1944, dimana tujuan secara substansial agar peran negara di dalam perekonomian dapat diminimalisir sedemikian rupa sehingga tidak banyak berperan, akan tetapi diserahkan kepada mekanisme pasar internasional. Sistem pasar yang berlaku tersebut dapat mengundang masuknya pelaku-pelaku pasar besar, seperti TNC-TNC agribisnis, baik sebagai pedagang, produsen, penyedia input pertanian (benih, pestisida, obat-obatan), maupun spekulan di bursa komoditas.
Bangsa ini menunjukkan betapa kedodorannya dalam menyediakan kebutuhan pangan dengan menutuskan kebijakan impor yang dilakukan menjadikan petani subsistem Indonesia dapat menghadapi masa depan yang gelap, suram, memprihatinkan, bahkan mengalami kematian. Secara makro maupun mikro, peluang tercapainya kesejahtraan petani bisa didapatkan secara mudah jika sektor pertanian benar-benar diseriusi kemajuannya. Bangsa ini lalai memecahkan permasalahan sektor pertanian dari akar rumputnya. Nilai impor 51 triliun rupiah yang digunakan untuk impor akan lebih bermanfaat jika dianggarkan untuk memperbaiki permasalahan pada sektor pertanian.
Sebagai negara agraris dan dikenal dengan jargon gemah ripah loh jinawi, Bangsa Indonesia sesungguhnya berkesempatan tercapainya surplus produksi berbagai komoditas pangan yang dapat diandalkan untuk penguatan ketersediaan kebutuhan pangan. Kekayaan alam yang dimiliki bangsa ini tidak hanya dapat mencapai cita-cita lebih dari sekedar berswasembada, namun harus merajai sektor pertanian didunia. Sumber keragaman hayati yang banyak, iklim yang memungkinkan dapat dimanfaatkan untuk menanam setiap tahun dan potensi lahan pertanian yang masih cukup luas merupakan modal dasar dalam membangun pertanian yang tangguh. Tetapi pembangunan pertanian yang bertahun – tahun menjadi prioritas utama ternyata tidak dapat membawa pada tingkat kesejahteraan petani. Kondisi kehidupan masyarakat petani yang hampir seluruhnya bertempat tinggal di desa senantiasa akan selalu diidentikan dengan masyarakat miskin.
Penulis: Ade Ahmad Wijaya (Kepala Bidang Ekonomi & Kewirausahaan PC IMM AR-Fakhruddin Kota Yogyakarta)