Oleh: Akmal Akhsan Tahir, Ketua Bidang RPK PC IMM AR Fakhruddin DIY
Pembahasan masalah kemanusiaan memang menyeruak ke permukaan setelah abad modern dengan tegas berdiri dalam peradaban manusia. Sejak abad 20 kajian masalah kemanusiaan ini menjadi kajian yang berharga di antara proses dehumanisasi yang jua semakin mengalir, perlahan-lahan manusia dikeluarkan dari fitrahnya, mereka dipaksa menjadi benda (membendakan manusia). Menggeliatnya kajian kemanusiaan ini ditandai dengan hadirnya konsep kemanusiaan yang disangka paling memihak pada kemanusiaan: (1) liberalisme Barat, (2) marxisme, (3) eksistensialisme, (4) agama. (Achmadi, 2008: 21).
Dalam dunia Barat, humanisme bertolak pada pandangan manusia sebagai sentral kehidupan, mereka menegasikan peran Tuhan dalam peradaban manusia. Konsep tersebut ternyata menghadirkan persoalan baru, manusia menjadi sekuler dan nyaris kehilangan spiritualitas keTuhanannya. Disaat yang sama, konsep teosentris menghadirkan juga persoalan dimana kerap manusia terjebak dalam petuah doktriner Tuhan tanpa memandang dirinya sebagai makhluk yang mulia dan mampu menciptakan sejarah peradabannya sendiri.
Humanisme-teosentris sebagai wacana kontemporer hadir untuk mengawinkan dikotomi humanisme dan teosentrisme. Dalam upaya inilah maka agama dihadirkan kembali dari keterasingannya. Merasuk dalam peradaban manusia dan menjadi spirit dalam melakukan transformasi sosial, menjadi pelaku bagi pembangunan sejarahnya sendiri. Dalam pembahasan inilah, maka penulis selalu percaya bahwa agama dipersembahkan Tuhan kepada manusia dalam mengatur dirinya sendiri, agama bukan untuk Tuhan! Dan Tuhan tak perlu agama.
Ikhtiar membumikan wacana humanisme-teosentris tentu tak mudah bilamana ada dalam bayangan belaka, ia harus merasuk dalam teori dan praksis pendidikan dewasa ini. Penulis meyakini, pendidikan adalah wahana paling strategis dalam membumikan paradigma humanisme-teosentris sehingga kelak tercipta manusia yang cerdas, kreatif, peduli dan bertakwa pada Tuhan yang maha Esa. Oleh karena itu, policy-maker dan praktisi dalam dunia pendidikan perlu mereformasi konsep pendidikan, baik dari kurikulum hingga metode pembelajarannya di dalam kelas. Upaya ini dilakukan dengan tidak berfokus pada kepentingan kognisi individu manusia (peserta didik) belaka, tetapi kemampuan untuk hadir dalam lingkungannya mengadakan perubahan sesuai dengan semangat transendental.
Apa yang dapat dilakukan? Penulis menawarkan beberapa jalan menuju ikhtiar membumikan paradigma humanisme-teosentris dalam lembaga pendidikan. Pertama, para guru sebagai ujung tombak pendidikan memberi pembelajaran berbasis empirik. Para siswa diajarkan untuk melihat realitas sosial yang sebenarnya. Dewasa ini pembelajaran yang diberikan kepada para siswa kerap masih bersifat utopis, magis dan teoritis, tentu tak heran bila para siswa hadir sebagai manusia yang menguasai teori-teori, tapi gagap dalam mentransformasikan pemikiran-pemikirannya. Pembelajaran berbasis empiris adalah upaya untuk membentuk manusia yang kritis tentang keadaan sehingga mampu menemukan hakikat kemanusiannya sendiri.
Kedua, membangkitkan kembali kesadaran sejarah, khususnya sejarah agama (Islam). Ikhtiar membangkitkan kesadaran sejarah ini dapat dilakukan dengan memasukkan kisah-kisah nabi pada setiap pembelajaran dalam kelas. Kesadaran sejarah inilah yang akan membawa manusia pada pemahaman bahwa pada masa sebelumnya terlahir nabi yang dihadirkan Tuhan untuk mengatur tatanan manusia sesuai dengan cita-cita agama.
Ketiga, membangun pendidikan karakter atau yang dalam Islam kita pahami sebagai pendidikan akhlak. Tentu dalam aktualisasinya membangun pendidikan karakter ini dikomparasikan dengan cita-cita etik dan profetik. Artinya, moralitas dibangun di atas prinsip-prinsip transendental. Keempat, membangun kesadaran sosial-kritis dalam diri manusia (peserta didik), kesadaran ini dihadirkan dalam upaya mengembangkan fitrah sosial dalam diri manusia berbasis telaah kritis keadaan lingkungan.
Demikianlah beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai ikhtiar membumikan paradigma humanisme-teosentris dalam pendidikan. Penulis masih sulit untuk mengejawantahkan teori ini lebih dalam, sebab masih kekurangan referensi.
Could you tell me what style are you making use of on your web
site? It looks great.
Do you have any suggestions for composing articles? That’s where I constantly battle as
well as I just wind up gazing vacant display for long period of time.