Oleh: Riza A. Novanto, Guru SMP Kreatif Muhammadiyah 3 Kota Tegal
Saat ini media sosial memiliki peran sentral di dalam kehidupan kita semua. Mulai dari orang tua hingga anak-anak di bawah umur tidak luput terbawa arus media sosial. Sudah saatnya pendidikan pada era milenial saat ini menerapkan pendidikan media sosial. Mengapa demikian? Sebab, pendidikan tidak hanya sebatas pembelajaran secara formal di sekolahan, di kelas, tapi juga di dunia maya dirasa sangat diperlukan mengingat aktivitas para peserta didik saat ini lebih banyak berkecimpung di media sosial. Selain itu, sebagian besar pengguna media sosial adalah meruapakan mereka yang masih duduk dibangku sekolah.
Pendidikan media sosial dibutuhkan keteladanan dan pendampingan sang guru. Bagaimana mungkin kita bisa memotivasi siswa kalau sang guru tidak pernah berkecimpung di dunia maya? Jika pendidik dan peserta didik sama-sama bisa hadir di ruang maya, mereka bisa berinteraksi secara intens, sehingga berbagai masalah yang terkait dengan pembelajaan bisa terjembatani. Siswa terpacu untuk melakukan browsing materi pembelajaran untuk menumbuhkembangkan potensi dirinya, sementara itu sang guru juga akan terpacu adrenalinnya untuk meng-upgrade diri dengan mengikuti berbagai perkembangan informasi sesuai dengan bidang keilmuan yang digelutinya. Pendidikan medsos yang ditawarkan buka berupa pelajaran di kelas, namun berupa pendampingan, serta pengawasan para guru terhadap aktivitas medsos para siswa. Bukan berarti pula guru harus selalu standby untuk mlototin medsos.
Medsos saat ini terkenal berdampak negatif bagi perkembangan siswa dan dapat mengakibatkan cyber bullying. Bahaya media sosial dan cyber bullying bisa berakibat pada gangguan psikologi anak sehingga anak cenderung malas bahkan enggan bertemu dengan teman-temannya yang telah mem-bully dirinya di medsos.
Sekolah mungkin perlu mengajarkan siswa mereka tentang potensi risiko dari posting mereka di media sosial baik di Facebook, Twitter, WA maupun pada aplikasi masa depan untuk universitas atau pendidikan tinggi lainnya, dan bahkan untuk pekerjaan di masa depan. Pendidikan saat ini harus memiliki daya tawar dalam penanganan para peserta didik yang sudah kecanduan bermedsos, sebab jika tidak maka pendidikan tidak ada artinya dan tidak membawa dampak apa-apa.
Selain itu, guru juga bisa mengawasi perkembangan perserta didiknya melalu medsos. Bisa berupa berkomentar nasihat, mengapresiasi ataupun yang lainnya. Misalkan ada siswa yang berkata kasar dalam statusnya. Sebagai guru, ketika melihat postingan siswa yang bermuatan negatif memberikan nasehat kepadanya pada saat masuk sekolah. Hal ini dilakukan agar siswa tersebut tidak mengulanginya lagi dalam mem-posting yang bermuatan negatif. Begitu pun kasus-kasus yang lain, seperti saling mem-bully, tidak menutup aurat bagi siswa yang beragama Islam dan lain sebagainya.
Belum lagi ketika siswa sudah mulai tertarik kepada lawan jenis. Hal ini butuh pengawasan ekstra sehingga tidak terjerumus kepada perzinaan. Dalam surah Al-Israa’ ayat 32: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. Apalagi anak sudah mengenal yang namanya “pacaran”. Sebagai guru harus menegur serta menasehatinya sehingga pendidikan karakter yang diharapkan bisa tercapai.
Jika mengutip pernyataan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, beliau mengatakan bahwa pendidikan karakter abad 21 itu simpel, yaitu membuat kebiasaan. Setelah kebiasaan, nanti akan memiliki karakter dan akhirnya terbentuk budaya. Maka dengan demikian penggunaan media sosial oleh para siswa jangan lepas kontrol. Jika sudah lepas kontrol maka akan menjadikan kebiasaan dan kebiasaan itu akan berdampat negatif pada dirinya. Selain tugas guru, ini juga merupakan tugas orang tua ketika berada di rumah. Sebab, siswa lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah daripada di sekolah yang hanya delapan jam dalam sehari.
Sumber: Radar Tegal