Oleh Shalsabilla, Anggota Bidang RPK IMM FKIP UHAMKA
“Seni tertinggi guru adalah untuk membangun kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan.” –Albert Einstein
Sedikit belajar dari kutipan kata mutiara ilmuwan fisika yang terkenal dengan teori relativitasnya, Albert Einstein. Dengan melihat sekilas pun sudah terlintas dalam pikiran kita tentang peran seorang guru. Kira-kira peran seperti apa? Tentu saja dengan mencerdaskan anak bangsa. Kita asumsikan seorang murid itu seperti kertas putih yang polos (tabula rasa). Untuk kemudian diguratkan dengan tinta hitam sebagai pedoman dalam hidupnya. Pedoman itu berupa pengetahuan, moral, serta spiritual di dalam diri mereka. Dan dengan mereka memperoleh itu semua dari lingkungan sekolahnya, diharapkan dapat mengaplikasikannya di kehidupan mereka sehari-hari.
Namun, sangat disayangkan apabila pengajar itu sendiri tidak mengetahui apa esensi dari seorang guru sebagai pembimbing di kelas. Sehingga, banyak dari mereka yang tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik dan ini berimplikasi pada tidak terciptanya suasana kelas yang kondusif dan tidak tercapainya keberhasilan dalam proses kegiatan belajar mengajar sebagai akibat dari kurangnya sosialisasi norma pendidikan yang efektif antara guru dengan murid. Pada hakikatnya, seorang murid akan mencontoh dari orang yang dianggapnya guru dan maka dari itu seorang guru sebagai tenaga pendidik harus memberikan contoh yang baik agar muridnya juga memiliki cerminan pribadi yang baik di lingkungannya.
Pada era milenial 4.0, pendidikan di Indonesia diarahkan pada standarisasi yang lebih tinggi, baik dari segi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dan lebih menekankan pada penilaian karakter. Pendidikan Indonesia seakan-akan menganut teori filsafat progresivisme yang diprakarsai oleh negara Amerika Serikat. Aliran ini berpendapat bahwa “Pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar pada masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan” (Wikipedia). Dari sini jelas bahwa suatu lembaga pendidikan akan terus mengadakan perombakan/ pembaharuan kurikulum sesuai tuntutan zaman. Dan menuntut siswa kepada metode pendidikan hadap masalah, guna menciptakan siswa yang kritis dalam pembelajaran di kelas. Dengan begitu pendidikan di Indonesia sudah mengalami pergantian kurikulum secara masif, dengan dalil ingin memajukan kualitas pendidikan seperti di negara-negara maju. Tetapi yang menjadi masalah, tidak didukung dengan kinerja lembaga pendidikan itu sendiri. Misalnya saja pada 2017/2018, kurikulum mengalami perubahan, dari kurikulum 2013 menjadi kurikulum 2013 revisi. Dan itu terjadi secara tidak efektif. Mengapa dikatakan seperti itu? Karena masih banyak tenaga pendidik yang ternyata belum sepenuhnya tanggap menghadapi perubahan kurikulum yang ada. Mereka beralasan karena kurangnya sosialisasi dengan pemerintah.
Nasib murid seakan menjadi permainan atas gagalnya sistem pendidikan di Indonesia. Banyak murid yang mengeluhkan adanya perubahan kurikulum, yang menurutnya sangat tidak wajar. Secara tidak langsung mereka merasa terbebani dengan adanya tugas yang dianggapnya berat, perubahan kebijakan dalam ujian sekolah dan pada saat itu tenaga pengajar dinilai kurang bisa mengarahkan siswa dalam proses kegiatan belajar mengajar berlangsung. Dalam hal ini sebaiknya pemerintah lebih menaruh perhatian terhadap pelatihan tenaga pengajar sebelum pada akhirnya melakukan pembaharuan kurikulum. Dengan begitu pemerintah bisa melihat sampai sejauh mana tingkat kesiapan lembaga pendidikan terhadap perubahan kurikulum tersebut. Hal tersebut juga harus dilakukan secara merata ke setiap daerah, sehingga tidak terjadi kesenjangan dalam hal hak penerimaan pendidikan. Karena berdasarkan bunyi dari Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Dilansir dari Kompasiana, Alfiani menyatakan bahwa “Dalam permasalahan ini, pemerintah harus mengambil langkah untuk mengatasinya. Misal dengan membangun sekolah di lingkungan tertentu yang masih sangat kurang pendidikannya. Atau dengan mengirimkan guru-guru ke daerah atau lingkungan tersebut agar mereka bisa terpenuhi hak-haknya.”
Untuk mengantisipasi terjadinya ketidak selarasan dalam perubahan kurikulum, guru sebagai tenaga pengajar dirasa tidak ada salahnya jika membiasakan diri untuk belajar. Belajar di sini lebih kepada belajar menyesuaikan diri terhadap bahan ajar sesuai dengan perkembangan kurikulum. Misalnya saja, guru diharuskan menguasai IPTEK di era sekarang ini. Karena pada Kurikulum 2013 (revisi), IPTEK memegang peranan penting dalam dunia pendidikan. Sehingga dengan begitu proses kegiatan belajar mengajar dapat berjalan dengan lancar dan dengan tanpa ada hambatan. Namun, ternyata yang menjadi permasalahan disini adalah rendahnya kesadaran pendidik untuk belajar lebih mengenai IPTEK. Dalam artian kebanyakan dari mereka terutama tenaga pendidik pada zaman sebelumnya, merasa “malas” untuk mengikuti pelatihan teknologi seperti kursus komputer dan lainnya. Apalagi mereka yang tidak lagi berada pada usia produktif (usia lanjut).
Hal lain yang harus diperhatikan adalah pemahaman guru terhadap sistem penilaian setiap aspek dalam kurikulum yang ada. Khususnya pada kurikulum yang sekarang ini sedang berjalan (kurikulum 2013 revisi), kita bisa melihat beberapa aspek di dalamnya. Terdapat aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Titik permasalahannya adalah kebanyakan guru mengeluhkan persoalan ini. Sehingga, sering kali berdampak pada kesalahan dalam proses penginputan nilai siswa. Misalnya saja pada kasus jenjang SMA, akibat dari permasalahan tersebut ternyata menimbulkan dampak sangat besar terhadap sistem penerimaan mahasiswa khususnya pada jalur undangan di PTN, di mana ada saja kasus siswa yang kurang dari segi kemampuannya atau bahkan sama sekali tidak berkompeten dapat saja masuk PTN favorit melalui jalur undangan. Hal ini tentu saja merupakan penyimpangan besar dalam dunia pendidikan karena ke depannya siswa tersebut akan membawa dampak buruk bagi perkembangan PTN itu sendiri, yang pada akhirnya akan mengakibatkan turunnya kualitas suatu PTN. Ini menjadi masalah terbesar dari input calon mahasiswa yang bermasalah, sebagai akibat dari input nilai di sekolah asalnya yang kurang tepat. Dampak lain yang lebih memprihatinkan adalah adanya kekecewaan tersendiri (dilihat dari sudut pandang psikologis) bagi siswa yang berkompeten lainnya. Mereka tentu merasa tidak bisa terima begitu saja ketika harus menerima kenyataan, melihat temannya yang tidak berkompeten dapat saja lolos SNMPTN di PTN favorit yang mereka dambakan, lebih daripada ekspektasi yang ada. Dan kalau saja hal ini masih terus berlangsung dalam sistem penerimaan calon mahasiswa, sekolah asal tersebut dapat dipermasalahkan keberadaanya oleh suatu instansi/PTN terkait. Lalu, apakah pihak sekolah khususnya guru akan tetap bungkam terhadap permasalahan tersebut? Tentunya tidak, karena hal tersebut justru akan sangat berpengaruh terhadap akreditasi suatu lembaga pendidikan.
Kasus lainnya yang terjadi yaitu dimana tenaga pengajar terkesan melakukan pembiaran terhadap siswanya yang melakukan penyimpangan pada saat ujian sekolah berlangsung. Mereka tidak melakukan tindak lanjut terhadap siswanya yang melanggar. Atau mungkin melakukan “dongkrak” nilai raport siswa dengan tanpa alasan atau pertimbangan, hanya karena agar nama baik sekolah terpancar, namun tidak berpikir panjang atas dampak yang terjadi terhadap siswa kedepannya. Hal ini tentu akan membuat hilangnya kepercayaan siswa dan orangtua siswa terhadap kualitas sistem pendidikan formal di Indonesia.
Peningkatan mutu pendidikan di era 4.0
Sejatinya, seorang pendidik harus mampu berpikir kritis dalam menangani suatu persoalan di lembaga pendidikan, baik itu dalam hal keadaan kelas, administrasi, maupun penilaian. Seorang pendidik juga harus memperhatikan beberapa elemen di dalam kegiatan pembelajaran. Di antaranya:
Input (masukan)
Dalam tahap ini, tenaga pengajar harus mengadakan penyesuaian diri terhadap kurikulum yang ada dengan memperhatikan beberapa komponen di dalam kurikulum tersebut guna tercapainya suatu tujuan pembelajaran. Disini guru juga harus memperhatikan subjek belajar (peserta didik). Pada era 4.0 ini, tenaga pengajar diharapkan dapat menguasai dan melibatkan IPTEK di dalam pembelajaran.
Proses
Dalam tahap ini, guru harus mengadakan kesiapan materi bahan ajar secara matang. Untuk selanjutnya bisa melakukan pengendalian kelas dalam artian subjek belajar dan dengan menumbuhkan metode pembelajaran hadap masalah terhadap murid untuk mencerminkan sikap kritis di dalam kelas (sesuai ketentuan kurikulum 2013). Guru juga dituntut untuk dapat menguasai media pembelajaran berbasis IT di era sekarang. Dari sini evaluasi mengenai penilaian pembelajaran dapat dianalisa untuk menentukan taraf kemajuan suatu aktivitas dalam pendidikan, guna menetapkan tujuan baik untuk pendidik maupun peserta didik.
Output (Keluaran)
Tahap ini merupakan penentu atas keberhasilan yang telah diraih oleh peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung, termasuk lembaga pendidikan itu sendiri. Misalnya saja dapat dilihat dari segi penerimaan calon mahasiswa baru yang berkompeten di suatu Universitas ternama. Semakin tinggi tingkat penerimaan calon mahasiswa baru di Universitas tersebut, maka akan semakin terpandang nama baik sekolah asalnya. Stereotip orang ketika melihat lembaga pendidikan tersebut adalah yang baik mutunya. Disini peranan alumni sangat menentukan keberhasilan lembaga pendidikan, maka dari itu peran guru disini adalah membantu mengarahkan siswanya yang berkompeten tersebut untuk bisa mencapai target keberhasilan suatu lembaga pendidikan. Tentunya dengan lebih selektif agar tidak membawa dampak buruk bagi murid, sekolah asal, maupun Universitas.
Feedback (Umpan balik)
Tahap ini dinilai sangat penting karena digunakan sebagai tolok ukur berhasilnya tujuan awal atau tidak. Dalam hal ini lebih kepada pengoreksian guru terhadap siswa, misal sampai dimana tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan. Dari sini guru dapat mengetahui kemampuan yang ada pada diri peserta didik. Dan ini dapat menjadi pedoman untuk guru lebih mengetahui minat dan bakat peserta didik.