Oleh: Bayujati Prakoso*
MADRASAHDIGITAL.CO – Virus Corona (COVID-19) menjangkiti dunia, termasuk Indonesia. Melihat kasus pandemi Corona yang semakin melonjak, media semestinya menjadi salah satu pilar atau alat strategis untuk menyampaikan pesan-pesan yang informatif-edukatif kepada publik. Dewasa ini, kecenderungan informasi dari media di Indonesia memicu pada tendensi konstruksi realitas media yang beragam, juga tidak sedikit menampilkan informasi bombastis-sensasional yang memicu kecemasan dan ketakutan bagi publik. Hal ini tampaknya patut untuk ditinjau lebih mendalam.
Di Indonesia, tidak sedikit media memberitakan informasi terkait virus ini. Namun, yang menjadi pertanyaan apakah media sudah memberitakan informasi pandemi Covid-19 dengan cermat, tepat, dan sesuai amanah pada UU Pers dan mengindahkan kaidah/etika jurnalistik dengan maksimal?
Sensasional, Clickbait, dan Kebutuhan Ekonomi Media
Tudingan-tudingan yang spekulatif ini berbahaya bagi publik. Pasalnya, media di Indonesia (sebagian mungkin) memiliki kecenderungan pada informasi yang sifatnya mengedepankan daya tarik sensasionalisme, ketimbang ketepatan informasi, juga informasi yang bersifat edukatif. Berita-berita ini dibuat kepentingan media dapat dikatakan mengkhawatirkan bagi publik, apalagi bagi publik yang memiliki daya analitik-nya yang rendah. Hal ini akan menyebabkan ketakutan, kecemasan.
Terbukti, melalui fenomena panic buying. Beberapa kondisi ini menjadikan orang akan membeli keperluan (belanja) apapun seperti masker, hand sanitizer, dan lain-lain dengan takaran berlebihan yang kurang wajar. Hal ini akhirnya berdampak pada kenaikan harga bahan pokok di Jawa Timur. Dilansir pada laman Detiknews.com (21/3/2020), menurut Pengamat Ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Imron Mawardi menjelaskan harga gula yang sudah sampai Rp 17.000 dan cabai Rp 60.000/kg. Momentum itu salah satunya karena pengaruh virus corona. Fenomena panic buying juga terjadi di America Serikat (AS).
Pada laman Madrasahdigital.co (20/3/2020), terdapat tulisan berjudul “Panic Buying, Wajarkah?” yang diulas oleh Dewi Nurhidayah (2020), ia menjelaskan bahwa perilaku panic buying jangan sampai diikuti. Ia menuturkan, perilaku ini mengarah pada kecemasan yang disebabkan oleh pemberitaan betapa bahayanya Covid-19, sehingga secara sadar, seseorang itu melakukan pencegahan agar terhindar dari virus ini. Pencegahan tersebut, lanjut mahasiswa Psikologi UHAMKA itu mengatakan, cara untuk menghindari virus ini dengan mengisolasi dirinya, melakukan social distance, dan keluar rumah ketika ada kepentingan yang mendesak, juga membeli (belanja) kebutuhan secara berlebihan. Lebih lanjut, menurutnya, perilaku panic buying begitu menguntungkan bagi pihak yang mencari untung besar, namun merugikan bagi pihak atau memang orang yang belanja keperluan seperti masker, hand sanitizer, untuk pemenuhan kesehatan saja.
Hal yang diungkapkan oleh Nurhidayah (2020) diatas dapat dipahami bahwa dikarenakan sudah dibeli barang kesehatan (masker, hand sanitizer) dengan jumlah yang berlebih oleh orang tersebut, sehingga orang lain yang ingin membeli untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan tidak dapat memilikinya. Selain itu, Nurhidayah (2020) mencontohkan bahwa begitu banyak pemasok masker dan hand sanitizer yang dijual dengan harga yang melambung tinggi. Hal tersebut, jelasnya, adalah tindakan ketidakpedulian akan kemanusiaan.
Baca juga: Panic Buying, Wajarkah?
Selain itu, dikuti dari laman Kompas.com (20/3/2020), terdapat data pasien yang beredar di media sosial. beredarnya foto rontgen seorang pasien asal Kupang. Kemudian, tersebarluasnya foto surat rujukan rumah sakit warga asal Padang Sidempuan di media sosial. Identitas di media sosial dari salah satu warga Padang Sidempuan yang statusnya sebagai pasien dalam pemantauan (PDP) viral di media sosial. Warga itu merasa dikucilkan oleh lingkungan sekitar. Ihwal beredarnya identitas warga itu, akhirnya setelah melalui berbagai pemeriksaan menunjukkan bahwa warga tersebut dinyatakan negatif Corona.
Selain itu, bahkan ada yang memberitakan dengan video di media, warga yang di-suspect Corona di salah satu daerah di Indonesia, menjadi bahan tontonan warga, dan disebarluaskan oleh media. Dampaknya, masyarakat sekitar akan menjadi panik dan memicu hal-hal lain yang tidak diinginkan.
Dengan kondisi tersebut, media akan memiliki pengaruh di masyarakat. Sebagaimana pandangan Hamad (2004) bahwa media merupakan agen konstruksi yang berpengaruh di masyarakat. Media mempunyai kekuatan yang besar untuk membentuk persepsi dan opini publik. Konstruksi berbagai realitas yang akan disiarkan media adalah realitas subyektif. Senada dengan pandangan Hamad (2004), media di Indonesia mengkonstruksi realitas dengan muatan informasi yang bombastis-sensasional.
Senada dengan Remotivi, Pusat Kajian Media & Komunikasi, menyatakan bahwa kalau ingin mengecek kesiapan elit (pemerintah) dalam menangani kasus Covid-19 ini jangan cuma tanya (melakukan kutipan dalam berita) kepada dr. Terawan saja, diperlukan mengutip dari berbagai perspektif; dari peneliti, dokter, ahli, akademisi yang berkompeten, dan sebagainya. Sebab, informasi akan jauh lebih baik dengan ditinjau dari berbagai perspektif dalam upaya memahami dan meminimalisir dampak dari Covid-19 ini.
Pertama, media di Indonesia kerap kali melakukan saduran-saduran berita dari media asing (luar negeri) yang pada akhirnya cenderung membuat kepanikan publik yang begitu dahsyat, diantaranya yakni isu kecerobohan Cina untuk mengembangkan senjata biologis, Corona menjadi alat biologi Cina, Corona virus dapat membunuh hingga 65 juta dalam setahun. Lalu, tudingan China mengenai Corona yang berasal dari tentara AS.
Dari berbagai tinjauan diatas, dapat ditelisik bahwa informasi media banyak muncul spekulasi-spekulasi hasil saduran yang menimbulkan kepanikan, dan kecemasan publik. Publik butuh pers yang dapat memberikan informasi yang memberikan konten informatif-edukatif.
Kedua, informasi yang cenderung bombastis-sensasional adalah salah satu hasil konstruksi media. Arifin (2003) menyebutnya sebagai realitas tangan kedua (second hand reality). Realitas tangan kedua, nampaknya muncul dalam media di Indonesia. Arifin (2003) mengungkapkan:
“Dalam sajian media sehari-hari, realitas tangan kedua terlihat jelas, seperti suatu peristiwa diberi bobot yang berbeda oleh setiap media, sesuai dengan kepribadian media dan perspektif masing-masing. Demikian juga media massa, dapat mengabaikan berita yang satu (misalnya pelantikan seorang pejabat), dan lebih menonjolkan peristiwa yang lain (misalnya demonstrasi kaum buruh terhadap pengesahan undang-undang ketenagakerjaan).”
Disisi lain, hasil konstruksi media dari kasus Covid-19 ini yakni merebaknya Corona di Indonesia akan berdampak pada menurunnya investor, pertumbuhkan laju ekonomi dari berbagai sektor, termasuk pariwisata. Dalam kondisi demikian, maka, media memiliki kecenderungan pada keberpihakan informasi mana yang sekiranya menjadi penting untuk dipublikasikan. Media memiliki agenda nya masing-masing dalam melihat realitas yang ada.
Ketiga, muncul fenomena Clickbait. Clickbait yakni ketika media menyuguhkan beragam informasi dengan judul yang memikat hati banyak orang, bombastis, membuat penasaran agar publik masuk dan meng-klik (masuk) ke media tersebut. Tujuannya, membuat pembaca (publik) mengklik informasi tersebut sehingga mendapat kenaikan jumlah klik pembaca (page view) di media tersebut. Media memang biasanya mengangkat hal-hal yang beredar di masyarakat, atau lagi booming, trending, termasuk penggunaan kalimat atau kata yang sensasional, bombastis. Seperti yang terjadi di salah satu media di Indonesia yang memberitakan pada (20/3/2020) China mengklaim bahwa virus ini berasal dari Indonesia. Namun, ketika diklik laman yang tertaut sumber beritanya tidak tersedia alias eror 404.
Diakhir, penulis ingin menyampaikan sekali lagi bahwa media memiliki bingkai (frame) atau informasi nya masing-masing dari hasil konstruksi atas realitas. Dengan kata lain, realitas termasuk beragam informasi mengenai Covid-19 ini disusun oleh media menjadi cerita yang bermakna, disisi lain, dapat mengganggu jalannya arus informasi yang sehat melalui media sebagai pemberi informasi (to inform), dan pemberi edukasi (to educate) kepada publik.
Sebab, media begitu berpotensi dalam mengubah perilaku seseorang. Mengingatkan pada media bahwa sejatinya media berangkat dengan prinsip kejujuran, relevan, independent, informasinya akurat, kredibel-valid, berimbang (cover both sides), tidak memuat konten yang menimbulkan kepanikan & ketakutan pada publik, membuat konten edukatif. Prinsip tersebut, sekali lagi dalam rangka menjalankan amanah UU Pers, dan menerapkan Kode Etik Jurnalistik. Wallahu a’lam bishawab.
*Pemerhati Media
Daftar Referensi
Arifin, A. (2003). Komunikasi Politik. Cet.1. Jakarta: Balai Pustaka.
Hamad, I. (2004). Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit.
Kompas.com. (20 Maret 2020). Kasus-kasus Tersebarnya Identitas Pasien Terkait Corona di Media Sosial, Kupang hingga Padang Sidempuan. Kompas.com. Diakses pada 21 Maret 2020 dari https://regional.kompas.com/read/2020/03/20/06150041/kasus-kasus-tersebarnya-identitas-pasien-terkait-corona-di-media-sosial?page=1
Nurhidayah, D. (20 Maret 2020). Panic Buying, Wajarkah?. Madrasahdigital.co. Diakses pada 21 Maret 2020 dari https://madrasahdigital.co/2781/opini/dewi-nurhidayah/panic-buying-wajar-kah/
Widiyana, E. (21 Maret 2020). Dampak Corona, Kenaikan Bahan Pokok di Jawa Timur Naik Signifikan. Detik.com. Diakses pada 21 Maret 2020 dari https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4948025/dampak-corona-kenaikan-bahan-pokok-di-jawa-timur-naik-signifikan