Oleh: Muh. Akmal Ahsan*
MADRASAHDIGITAL.CO – Ini adalah dialog yang diskursif, apalagi baru saja Indonesia Lawyers Club menggelar diskusi bertajuk “Agama Musuh Besar Pancasila?”. Begitu pikir saya sebelum datang di dalam kelas kuliah mata pelajaran pengembangan kurikulum yang pada kesempatan tersebut subbahasan Mahasiswa ialah “Pancasila dan UUD Sebagai Landasan Filosofis Pengembangan Kurikulum”. Pada sesi tanggapan, saya mengacungkan tangan dan menggelar argumen awal “jika Islam dianggap sebagai ideologi maka ia secara kontradiktif akan bertabrakan dengan pancasila. Seseorang tidak bisa memakai dua kacamata sekaligus pada kepala, kecuali orang gila”, demikian saya katakan sambil menyelipkan nada bercanda.
Belum selesai argumentasi saya ucapkan, pak Dosen memotong pembicaraan, “itu diluar konteks pembicaraan, kita tidak sedang membahas itu (Pancasila dan Islam), kita membahas kurikulum”. Tapi saya meminta izin melanjutkan argumentasi, “kedua, kebijakan merdeka belajar dan asas fleksibilitas Nadiem Makariem berpotensi menjadikan kurikulum dan pancasila kontradiktif. Pancasila adalah ideologi yang memiliki kepentingan untuk menginternalisasikan nilainya sementara asas fleksibilitas berpotensi melahirkan tafsir ideologi yang terlalu banyak”. Segera Pak Dosen kembali memotong pembicaraan, lalu pembelajaran di kelas dilanjutkan dan abai pada argumentasi saya.
Sebenarnya ke arah mana argumentasi saya inginkan ialah: pertama, ada fundamen filosofis dalam pancasila yang kembali mesti didialogkan, kita tidak bisa melupakan sekejab perdebatan filosofis antara agama dan pancasila di masa lalu, sebaliknya ingatan itu mesti terus dirawat dan pada masa ini didialogkan kembali. Apa hubungannya dengan mata pelajaran Pengembangan Kurikulum?, saya sebenarnya ingin mengetahui sejauh mana dasar filosofis dari pancasila dapat diterapkan dalam pendidikan Islam yang notabene sering menyangka Islam sebagai ideologi. Islamisme akut yang berdampak tafsir radikal tentu dalam hal ini berpotensi merongrong pancasila sebagai dasar negara yang telah disepakati.
Kedua, Pancasila sebagai falsafah negara mau tidak mau dipahami harus dengan pendekatan filosofis (radikal, komprehensif, sistematis, universal). Sampai disini, yang saya inginkan adalah pengetahuan mengenai dasar epistemologis, ontologis dan aspek aksiologis dari Pancasila yang pada akhirnya mampu dikontekstualisasikan dalam wujud kurikulum pendidikan nasional. “kita tidak sedang berbicara hal yang sifatnya abstrak namun konsep kuriulum”, demikian pak Dosen bergelar doktor itu membantah dan menyelesaikan diskurus sementara dalam hati saya mengatakan “kita sedang berbicara falsafah yang tidak falsafah”.
Demikian diskusi soal Pancasila dan UUD sebagai landasan filosofis pengembangan kurikulum itu selesai di dalam kelas. Saya tidak menemukan jawaban, karenanya saya berjanji kepada diri saya untuk menyelesaikan jawaban pertanyaan saya sendiri di warung kopi.
Pancasila di Kelas
Kampus hakikatnya adalah ladang yang paling subur untuk menumbuhkan argumentasi berkaitan soal dengan Pancasila, khususunya pada peristiwa-peristiwa kontroversil yang akhir-akhir ini terjadi. Maka kelas di kampus harus memfasilitasi dialog pancasila. Mengkritisi dan membuka sebanyak mungkin argumentasi. Syaratnya ialah memahami teks, mengamati konteks dan selalu ada upaya interpretatif untuk dilakukan kontekstualisasi.
Dalam kisah yang saya utarakan di atas, pancasila secara fundamental benar-benar harus dipahami secara filosofis, tidak secara sekonyong-konyong dituangkan dalam bentuk konsep teknikalitas. Hanya dengan demikian, ia secara benar dapat ditempatkan sebagai falsafah negara. Sebagai pertimbangan pemikiran, kita bisa melihat tendensi beberapa pihak kepada kurikulum yang dianut pesantren, kita sering menerima cercaan media kepada pesantren yang disangka radikal dan ekstrem, kita melihat pemukulan, bullying, klitih, pelecehan seksual dan kasus-kasus lainnya. Pertanyaannya, kemanakah pancasila?, saya pikir kehilangannya dimulai dari absennya kita untuk memahaminya secara fundamental-filosofis, dan terjebak dalam dataran konsep dan teknikalitas pembelajaran.
Saya sudahi catatan ini dengan harapan bahwa pertentangan dan kontradiksi dalam pancasila sebagai sebuah realitas historis yang kini mengemuka di publik harus terus dibicarakan dan tiada berhenti pada tafsir mutlak BPIP. Kita memahami betul, pancasila adalah ideologi terbuka yang melapangkan dirinya untuk dikritik. Dalam hal ini, kampus dan ruang kelas didalamnya harus mendalami, menghargai sejarah sambil terus berupaya melihat titik persimpangan hal-hal yang kontradiktif di dalamnya, termasuk dalam perumusan dan pengembangan kurikulum nasional. Dalam demokrasi seperti Indonesia ini, pertentangan kelompok dengan tafsirnya masing-masing memang menakutkan, namun sama sekali ia bukan alasan untuk menutup mulut publik.
Terakhir saya menitipkan salam saya kepada Prof Yudian, Rektor saya yang kini memimpin BPIP. Ditunggu tiktoknya Pak!
*Kepala Madrasah Digital Yogyakarta