MADRASAHDIGITAL.CO – Oleh: Laskar Badar Muhammad*
Menjadi hal yang sangat lumrah ketika kawan lama bertemu lalu di antara mereka saling berkisah soal kehidupannya masing-masing. Mulai dari kisah yang cukup serius sampai ke kisah-kisah yang ringan dan santai untuk dibicarakan. Hal itulah yang belum lama ini saya dan keluarga saya lakukan saat bertamu ke salah satu kawan ayah saya yang tinggal di Jogja.
Saya begitu khusyuk mendengarkan cerita demi cerita yang saling mereka lemparkan dan kemudian saling mereka tanggapi. Ada satu hal yang menarik ketika kawan ayah saya itu menceritakan anak pertamanya yang saat ini sedang bekerja dan belajar di Norwegia. Tentu saja, siapa yang tak tersita perhatiannya ketika ada orang yang menceritakan kehidupan sosial budaya orang nun jauh di benua biru sana. Yang pastinya sama sekali berbeda dengan kehidupan sosial budaya yang ada di sini.
Ternyata orang Norwegia itu disiplinnya luar biasa. Mereka menyeberang jalan tidak perlu pakai zebra cross karena jika ingin menyeberang tinggal lambaikan saja tangan dari pinggir jalan. Maka para pengemudi di jalan sudah paham dan akan memperlambat laju kendaraan lalu mempersilahkan orang tadi menyeberang.
Di setiap kecamatan mereka punya grup WA khusus. Grup itu digunakan untuk membuat pengumuman jika ditemukan barang-barang yang tertinggal di tempat-tempat umum. Barang-barang itu bisa berupa HP, macbook, dompet dan barang berharga lainnya. Dengan grup itu pemilik barang bisa dengan mudah untuk menemukan kembali barangnya yang hilang atau tertinggal dengan kondisi barang yang utuh tanpa ada yang berkurang sedikitpun.
Belum lagi jika membahas kebersihannya, ketertibannya, kerapihan tata kotanya. Orang Norwegia rasanya jadi seperti lebih islami ketimbang umat muslim yang tinggal di negara islam. Begitulah kira-kira kesimpulan yang saya tangkap dari cerita kawan ayah saya itu. Padahal kebanyakan dari mereka tidak punya agama kalaupun punya pasti bukan agama islam.
Pendapat kawan ayah saya itu dan pendapat-pendapat yang senada dengan itu bukanlah yang pertama kalinya muncul. Respon demikian sudah hampir sering saya dengar. Tanpa saya menginjakkan kaki di negara-negara maju, saya tahu negara-negara itu memang luar biasa lewat data-data yang pernah saya baca. Mendengar respon kawan ayah saya itu jatuhnya mengkonfirmasi pengetahuan yang pernah saya baca.
Dalam pada itu, dahulu juga pernah ada seorang cendekiawan dan pembaharu muslim yang juga melontarkan respon serupa. Muhammad Abduh saat menimba ilmu di Perancis terkagum-kagum ketika melihat Perancis yang bersih, rapih, terawat. Berbanding terbalik dengan kondisi negara tempat ia berasal yaitu Mesir yang kala itu kotor, kumuh, tak terawat. Dari situlah Abduh berpendapat, “saya melihat muslim di Mesir, tapi saya tidak melihat islam di sini. Adapun di Paris, saya tidak melihat muslim, tapi saya melihat islam di sana.”
Pernah ada penelitian yang dilakukan oleh Schehezerade S. Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University, Amerika Serikat. Penelitian mereka berjudul “Seberapa Islam Negara-Negara Islam.” Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam bidang ekonomi negara-negara non muslim menempati posisi teratas. Sedangkan negara-negara berpenduduk muslim ataupun negara islam menempati posisi bawah.
Dengan data-data yang telah dipaparkan di atas apakah benar orang-orang Eropa non muslim lebih islami daripada umat muslim itu sendiri? Apakah menjadi muslim atau bukan muslim itu tidak penting, yang penting adalah cukup perilakunya yang islami? Kok bisa itu semua terjadi?
Bisa jadi itu ada benarnya bahwa muslim tak mencerminkan keislamannya. Sebaliknya, yang non muslim justru perilakunya sangat islami. Tapi logikanya jangan berhenti di situ, harus dilanjutkan sampai selesai. Tapi ada juga muslim yang benar-benar islami perilakunya. Begitu juga non muslim ada juga yang perilakunya jauh dari kata islami bahkan jauh dari kata manusiawi.
Dari situ kita jadi lebih fair dalam memandang fenomena ini karena punya patokan ideal, normal, dan minimal. Tentu saja sesuatu yang ideal jumlahnya sedikit jika dibandingkan dengan sesuatu yang normal. Yang ideal itu sudah pasti ialah orang muslim yang perilakunya islami. Begitu pula dengan yang minimal pasti jumlahnya juga lebih sedikit jika dibandingkan dengan yang normal.
Lihat saja antara orang baik, orang normal, dan orang jahat. Mana kira-kira di antara tiga jenis manusia itu yang jumlahnya paling banyak. Tentu orang yang normal. Jadi bisa dibilang fenomena yang tersebut di atas sebenarnya sebuah kenormalan. Meskipun begitu, dalam sisi-sisi tertentu musti ada penyikapan dan respon yang proporsional agar tak terjadi kesalahpahaman.
Dalam hal tertentu juga kita musti mengakui bahwa sebut saja orang-orang barat dalam beberapa hal lebih unggul dibandingkan kita. Seperti misalnya jika kita buka data negara-negara dengan SDM tertinggi di dunia. 15 besar peringkatnya didominasi oleh negara-negara barat. SDM ini jelas berpengaruh pada banyak hal, tak terkecuali diantaranya sifat, karakter, dan perilaku seseorang. SDM yang baik pasti akan menumbuhkan tingkat kesadaran yang juga di atas rata-rata bahkan bisa mencapai pada tingkat kesadaran yang bersifat kolektif.
Begitu pula dengan cara orang beragama. Nilai-nilai keberagamaan akan maksimal manakala ditopang dengan SDM yang cemerlang. Karena salah satu inti daripada ajaran agama islam adalah menumbuhkan kesadaran, kepekaan, dan kelembutan hati. Karena Allah sendiri punya sifat Lathif yang artinya maha lembut. Maka ini menjadi PR kita bersama supaya beragama haruslah didasari dengan ilmu.
Habib Ja’far di dalam bukunya “Seni Merayu Tuhan” juga ada bab yang membicarakan tentang masalah ini. Menurutnya fenomena di atas bisa terjadi dikarenakan banyak umat muslim yang masih terlalu asik dengan kesalehan ritualnya. Belum mau beranjak menuju kepada kesalehan sosial atau bahkan mungkin terjadi pendikotomian. Padahal Allah (baca : islam) selalu menghubungkan aspek ritual dengan aspek sosial. Misalnya ketika Allah menjelaskan bahwa ibadah salat itu implikasinya dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Dengan kata lain ibadah yang dikerjakan harusnya memengaruhi muamalah yang dikerjakan pula. Hablum minallah kita harusnya berefek langsung pada hablum minannas kita pula. Beragama yang baik harusnya memengaruhi cara kita menjaga kebersihan yang baik pula. Misalnya.
Maka dari itu saya menyampaikan apa yang menjadi pesan dari Habib Ja’far dalam bukunya. Mari kita mulai introspeksi dan merevolusi keberislaman kita agar tidak berorientasi ibadah ritual semata, tapi juga muamalah (sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain). Dengan begitu kita bisa terhindar dari keragu-raguan terhadap agama islam, terjauhkan dari segala bentuk syak wasangka terhadap Allah. Dan yang terpenting adalah kita justru bisa mengambil hikmah dari setiap fenomena-fenomena yang terjadi.
Wallahu a’lam bis shawab
*Penulis adalah kader persyarikatan yang juga pengasuh anak-anak yatim dan dhuafa. Menjabat sebagai anggota bidang tabligh IMM Komisariat Hajjah Nuriyah Shabran periode 2018-2019.