MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh: Muh. Akmal Ahsan (Ketua DPD IMM DIY)
Percakapan politik kita utamanya di media sosial menghadapi tantangan besar berupa melubernya praktik omong kosong. Saban hari, informasi terus-menerus direproduksi oleh para pelaku politik, didorong oleh kepentingan bengis, jalur percakapan politik dibajak dengan reproduksi omong kosong melalui penggunaan bahasa secara semberono.
George Orwell seperti dikutip Edward Said (1996) mengungkapkan, “Bahasa politik didesain demi mengubah kebohongan menjadi kebenaran, menjadikan pembunuhan sebagai sesuatu yang terhormat serta memberi kesan bahwa angin adalah sesuatu yang padat”.
Omong kosong menjadikan alam pikiran manusia tidak lagi berfungsi dengan baik, bahasa politik meruak sekadar seperti backsound music di cafe atau restoran. Ia sekadar berfungsi membius, membuat kita merasa aman dan nyaman.
Pemaknaan mengenai omong kosong memang belum memiliki definisi utuh, tapi setidaknya definisi mengenai omong kosong itu dapat kita pahami dalam pandangan Harry Gorddon Frankfurt (2005), menurutnya, omong kosong adalah penggambaran keliru yang menipu (deceptive missrepresentation).
Kriteria omong kosong ini, menurut Franfkrut, tidak dilihat dari buah pernyataan seseorang, melainkan dari pengucapnya. Secara demikian, maka pelaku omong kosong memahami dengan sadar bahwa pernyataanya keliru, namun kekeliruan itu memang disengaja demi menipu publik.
Praktik omong kosong itu menurut Frankfurt bukanlah sesuatu yang begitu saja terjadi, ia membutuhkan keterampilan berimajinasi dan improvisasi untuk melakukan penipuan. Omong kosong menurutnya, telah menjadi simbol matinya komunikasi sekaligus hilangnya subtansi informasi. Naasnya, ia tumbuh dalam kebudayaan kita, kendati kita tolak.
Dalam kerangka politik nasional, omong kosong dalam politik nyaris menjadi konsumsi setiap hari. Omong kosong tersebut dilancarkan melalui penggunaan bahasa politik oleh pihak tertentu yang tujuannya untuk mendominasi pihak lain.
Serupa ungkapan Pierre Bordieu (1991), bahasa digunakan sebagai instrumen simbolik, sebagai alat mendominasi, inilah yang disebut Bourdieu sebagai “kuasa simbolik”, ia dipergunakan untuk membuat orang-orang melihat dan percaya, memperkuat/mengubah cara pandang seseorang terhadap dunia. Kuasa simbolik, ringkasnya adalah kekuasaan yang dialihkan, disalahpahami, dialihrupakan dan dilegitimasi dari bentuk kuasa yang lain.
Menurut James Ball (2017), ekosistem omong kosong itu terjadi dengan kombinasi antara kekuatan kampanye/propaganda dan media sosial/teknologi yang secara serempak telah melahirkan dan terus memproduksi informasi yang menipu/menyesatkan.
Salah satu bentuk omong kosong yang sudah lazim terjadi dalam kebudayaan politik kita adalah soal manipulasi yang secara sengaja dilakukan banyak calon anggota legislatif, diantara banyak Caleg, mayoritas diantaranya ketika berkampanye, alih-alih berkampanye sesuai dengan tugas pokok legislatif, mayoritas janji yang disampaikan para Caleg justru menyangkut wilayah kerja eksekutif, seperti “menurunkan harga BBM”, “menaikan upah kerja”, “meningkatkan fasilitas layanan pendidikan dan kesehatan” dan sejenisnya. Kampanye demikian jelas merupakan praktik manipulasi, pembodohan dan tentu omong kosong. Mereka menggunankan bahasa demi membangun personifikasi dan personal branding, kendati bahasanya jelas merupakan bahasa yang keliru dan omong kosong.
Omong Kosong dan Tantangan Demokrasi Indonesia
Demokrasi Indonesia dalam dinamika mutakhir faktanya dirusak omong kosong yang sudah menular dan menjalar, bahkan sudah menjadi kebudayaan kolektif. Ia diproduksi oleh kelompok penguasa atau kelompok oposisi yang bersumbu pendek, disebar melalui medium teknologi digital oleh para buzzer yang sengaja diternak, lalu dikonsumsi oleh rakyat yang secara hakiki belum mendapatkan pendidikan politik yang rasional.
Kita lantas hidup dalam kehidupan demokrasi yang serba pelik, menjadi bangsa yang pandir, hidup dalam kebodohan dan pembodohan, bangsa yang tidak pernah benar-benar merasakan demokrasi dalam arti yang sebenarnya.
Tiada jalan lain, bangsa ini harus segera siuman dan sembuh dari penyakit omong kosong yang sudah menjadi penyakit. Pihak yang mula-mula perlu berbenah tentu para pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Elit nasional harus tampil sebagai pendidik (publik educator) sekaligus sebagai tauladan publik dalam mengarungi demokrasi yang penuh semak belukar. Di saat yang sama, para intelektual publik perlu terus bekerja keras membangun kesadaran politik yang rasional, selaras dengan itu, para agamawan patut hadir di ruang publik untuk membangun batas-batas moral yang dapat menjadi fondasi yang kokoh bagi usaha membangun peradaban. Semua pihak perlu bersekutu, bekerja sama untuk mendirikan bangsa demokratis yang ditunjang oleh kejujuran, rasionalitas dan moral.
Mengarungi Jalan Pemilu 2024
Jalan menuju Pemilu 2024 telah terbuka lebar, warga bangsa harus menapaki jalan menuju Pemilu dengan alam pikiran yang sehat, mencerdaskan dan mencerahkan. Lebih dari itu, Pemilu harus benar-benar berorientasi pada pencapaian tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yakni melindungi seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Demi mencapai tujuan Pemilu itu, semua anak bangsa harus berupaya menjunjung tinggi rasionalitas dan akal budi, menghindari ujaran omong kosong, kebohongan dan praktik manipulasi yang rawan merusak jalannya Pemilu yang berkadaban. Para kandidat, relawan, intelektual/pakar, agamawan, ekonom seturut masyarakat umum harus berkomplot melawan praktik omong kosong. Bekal kejujuran, rasionalitas dan moral itulah yang akan memastikan bahwa jalan Pemilu 2024 benar-benar akan dicapai dengan baik.