MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh Ahmad Soleh*
Kita sering melihat orang dewasa saling menyalahkan ketika menghadapi masalah. Saling lempar tanggung jawab. Atau, mencari berbagai cara untuk mencari kambing hitam atas suatu kejadian. Intinya, tidak mau disalahkan. Tidak mau mengakui kesalahan. Bahkan, bila terbukti ia yang salah pun akan berusaha agar kesalahan itu menjadi kesalahan orang lain.
Bahkan, ketika terbukti bersalah, ia tidak segera meminta maaf. Banyak hal semacam demikian mewarnai jagat medsos kita, terutama yang hadir dalam kasus-kasus pejabat dan figur publik. Mulai dari saling lempar tanggung jawab dalam kasus tragedi Kanjuruhan sampai kasus KDRT yang menimpa Lesti Kejora.
Sehingga, terkesan kalau tidak terbukti (secara hukum/norma), ya tidak akan mengakui kesalahan itu dan tak perlu melontarkan kata “maaf”. Padahal mengakui kesalahan adalah sikap ksatria dan kata “maaf” adalah salah satu kata sakti dalam sebuah proses komunikasi. Lalu, apa yang sebenarnya menjadi akar dari masalah ini? Padahal, kita tahu hal demikian itu tidaklah baik. Tetapi kenapa sulit untuk diubah?
Pola Asuh
Tidak perlu heran. Sebagian besar masyarakat kita memang sejak kecil dididik untuk berwatak seperti itu. Sewaktu kecil, misalnya, saat belajar berjalan kita pasti pernah terjatuh, lalu menangis. Hal yang wajar belaka dilakukan anak-anak saat kesakitan. Ketika jatuh, alih-alih menenangkan, orang tua kita malah mengajarkan kita untuk menyalahkan kodok atau nenggebuk lantai. Hal yang sesungguhnya tidak masuk akal.
Padahal, dalam kejadian itu, yang salah adalah diri kita (anak kecil) yang belum mampu menjaga keseimbangan. Apa yang mesti dilakukan orang tua? Ya, seharusnya orang tua tidak melimpahkan akar penyebab kejadian itu ke benda-benda di sekitarnya.
Begitu pun ketika kita kepentok meja atau lemari saat belajar merangkang atau merambat. Yang disalahkan adalah meja dan lemari. Orang tua akan dengan sigap menggebuk benda mati bernama meja dan lemari itu demi membuat kita berhenti menangis.
Sekilas hal itu sepele. Tapi sebenarnya, itulah pendidikan awal bagaimana kita tidak mampu mengenali kesalahan kita sendiri. Kita selalu dididik untuk bersikap “paling benar” dan ketika melakukan kesalahan, melemparkan kesalahan itu ke pihak yang lain (benda atau orang lain). Praktik pola asuh demikianlah yang mengakarkan watak kita ketika dewasa kelak.
Fondasi Karakter
Masa anak-anak menurut para ahli psikologi merupakan masa golden age (usia emas). Dalam usia anak-anaklah orang tua dapat membentuk fondasi karakter seseorang. Beragam perilaku orang dewasa tentu amat dipengaruhi oleh bagaimana fondasi karakter yang dimilikinya. Sejak masih kecil kita telah dipupuk untuk menjadi orang dewasa seperti sekarang ini.
Orang tua harus membekali diri dengan pengetahuan pola asuh yang baik. Bagaimana menghadapi anak ketika ia marah, sedih, atau ingin mengeksplore hal-hal baru. Orang tua sebagai madrasah pertama anak mesti menerapkan kurikulum pendidikan karakter dalam pola asuhnya.
Dalam buku Pendidikan Tanpa Sekolah, Sugeng Riyanto menjelaskan tentang bagaimana orang tua mesti menyiapkan kurikulum pendidikan bagi keluarga. Sebab, selama ini keluarga belum memaksimalkan perannya sebagai madrasah bagi anak.
Satu hal yang ia kritik dalam pola asuh orang tua ialah pelimpahan tugas mendidik. Orang tua, tak jarang menjadikan sekolah atau lembaga pendidikan sebagai tempat penitipan dan pelimpahan tanggung jawab mendidik. Banyak orang tua yang beranggapan menitipkan anaknya di sekolah adalah proses mendidik itu sendiri.
Padahal, tidak demikian. Proses pendidikan paling penting dan mendasar sejatinya ialah dilakukan orang tua. Sebab, keluargalah yang menanamkan fondasi karakter itu dalam diri anak. Semestinya, sebelum anak mengenal lingkungan “asing” semacam sekolah dan pergaulan di dalamnya, ia sudah memiliki fondasi karakter yang kuat. Sehingga tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif yang mungkin muncul dalam pergaulannya.
Jangan bermimpi anak kita akan rajin menyapu dan menjaga kebersihan di saat dewasa nanti, bila sejak kecil tidak diberikan kesempatan mengeksplore alat-alat kebersihan atau dilibatkan dalam aktivitas menyapu di rumah. Orang tua semestinya melibatkan anaknya dalam kegiatan sehari-hari. Menyapu, mencuci baju, memasak, dan keterampilan hidup (life skill) lainnya.
Namun, sebut Sugeng, proses itu bukanlah sebagai pelimpahan tanggung jawab orang tua terhadap anak. Yang semestinya menjadi tanggung jawab orang tua menjadi tanggung jawab anak. Melainkan dalam rangka mendidik, membiasakan, menanamkan fondasi karakter terhadap anak. Proses inilah yang secara sadar maupun tidak akan membentuk karakter anak.
Jadi, bila mau di masa depan negeri ini disesaki oleh orang-orang baik, jujur, berintegritas, mulailah hal itu dari keluarga. Keluarga memang scoop paling kecil dalam sebuah negara, tetapi bila tatanan keluarga lemah, jelas masa depan negara akan hancur. Sebab itulah pentingnya menguatkan peran keluarga untuk menciptakan generasi yang kuat dan hebat di masa mendatang.
*Ahmad Soleh merupakan pengrajin puisi, esais, dan CEO Penerbit Irfani.