Oleh: Hikmatullah*[1]
Semakin tinggi sebuah pohon, semakin kencang pula angin yang bakal mengembusnya. Kurang lebih seperti itulah gambaran kondisi Muhammadiyah saat ini yang telah berhasil melewati usia seabad lebih dengan ragam pencapaian misinya.
Seabad lebih melintasi gerak zaman (sejak 18 November 1912), Muhammadiyah tidak hanya mampu bertahan dari perubahan zaman. Yang menakjubkan, organisasi ini terus berkembang dan memberi makna serta pengaruh yang kuat terhadap wajah keislaman dan keindonesiaan hingga saat ini. Tidak heran jika kemudian Prof William Liddle, sebagaimana dikutip Din Syamsudin, mengatakan, Muhammadiyah merupakan the largest Islamic organisation, organisasi Islam terbesar.
Sebagai organisasi sosial-keagamaan yang salah satu tujuannya adalah memajukan dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat Indonesia, Muhammadiyah telah banyak berperan melalui berbagai pelayanan sosialnya. Tidak tanggung-tanggung, ribuan amal usaha yang meliputi lembaga pendidikan, kesehatan, juga ribuan lembaga filantropi, dan sebagainya yang tersebar di seluruh Indonesia. Amal usaha dan lembaga filantropi itu merupakan wujud konkret dari keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah, demi terwujudnya negeri yang baldhatun thayyibatun wa robbun ghofur.
Selain itu, peran serta Muhammadiyah dalam dunia Internasional juga telah memberikan warna baru dan segar bagi wajah Islam yang lebih toleran, moderat, dan rahmatan lil’alamin dalam percaturan masyarakat global saat ini dan ke depan.
Milad 107 tahun
Pada milad yang ke-107, Muhammadiyah mengusung tema “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Tema yang cukup tepat dengan kondisi dan realita yang terjadi di Kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Di mana kondisi karut-marut pasca pelaksanaan pemilu 2019 lalu masih terasa hingga sekarang. Selain itu, sentimen kesukuan dan primordial juga masih menghantui perjalanan bangsa untuk mencapai cita-citanya. Ditambah lagi dengan isu-isu keagaman, radikalisme, dan intoleransi yang seakan tidak pernah selesai dibahas dalam kehidupan demokrasi bangsa Indonesia.
Selain itu, tema “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” ini juga menjadi bagian dari amanat konstitusi yang seharusnya dijalankan sepenuhnya oleh negarat. Menurut penulis ini merupakan langkah konkret Muhammadiyah dalam berkontribusi terhadap bangsa Indonesia. Upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa telah dilakukan oleh Muhammadiyah, bahkan sejak saat awal didirikan.
Menurut Haedar Nasir (Republika.co.id 29/9/2019), objek yang dicerdaskan bukan hanya manusianya, tetapi secara keseluruhan, yakni kehidupannya. Menyangkut budaya, sistem, dan lingkungan sehingga luas cakupannya dalam perikehidupan kebangsaan. Sementara sejarawan Prof Taufik Abdullah mengatakan, mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekadar menyangkut intelektualitas anak bangsa, tetapi lebih jauh dan mendalam menyangkut pengembangan perikehidupan kebangsaan yang luas. Dalam Islam, mencerdaskan kehidupan bangsa identik dengan menjadi bangsa yang berkebudayaan Iqra dan membentuk peradaban maju yang mencerahkan dalam rancang-bangun Al-Madinah Al-Munawwarah.
Memang banyak persepi terkait tema milad Muhammadiyah kali ini. Menurut penulis, ada dua langkah kemudian yang harus dilakukan
Menghidupkan kembali spirit Al-Ma’un
Teologi al-Ma’un ibarat senjata bagi Muhammadiyah untuk mengabdikan diri kepada bangsa Indonesia, karena teologi al-Ma’un ini merupakan gerakan sosial kemasyarakatan yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan. Setidaknya, ada beberapa pesan kecerdasan yang dapat ditangkap dari surah Al-Ma’un.
Pertama, orang yang menelantarkan kaum dhuafa (mustadh’afiin) tergolong ke dalam orang yang mendustakan agama. Kedua ibadah shalat memiliki dimensi sosial, dalam arti tidak ada faedah shalat seseorang jika tidak dikerjakan dimensi sosialnya. Ketiga mengerjakan amal saleh tidak boleh di iringi dengan sikap ria. Keempat orang yang tidak mau memberikan pertolongan kepada orang lain, bersikap egois dan egosentris termasuk ke dalam orang yang mendustakan agama (Kemuhammadiyahan: 2018).
Jika dipersingkat lagi, kecerdasan yang didapatkan dari teologi al-ma’un ini berbuah empat nilai yaitu, ukhwah (persaudaraan), hurriah (kemerdekaan), musawah (persamaan), dan ‘adaalah (keadilan). Nilai-nilai inilah kemudian yang mampu mewujudkan masyarakat utama yang Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur.
Rekonstruksi Pendidikan Nasional
Bangsa Indonesia saat ini begitu gempita dalam merespons perkembangan dunia yang makin cepat dan tantangan era revolusi industri 4.0 yang sangat kompetitif. Benar kemudian bahwa Pendidikan merupakan wahana untuk mempersiapkan manusia dalam memecahkan atau mencari solusi setiap masalah kehidupan pada masa kini maupun masa depan.
Pendidikan harus disusun atas dasar kondisi lingkungan masyarakat masa kini ataupun untuk antisipasi masa depan. Perubahan-perubahan kondisi lingkungan merupakan tantangan dan harus direspons secara tepat dan harus memberikan nilai positif.
Namun, menurut Haedar Nasir (Republika.co.id 29/9/2019), dalam dunia pendidikan, baik formal maupun informal dan nonformal yang hanya menggenjot kecerdasan “instrumental” atau kecerdasan “teknis” saja tanpa landasan pendidikan karakter dan kebudayaan yang kokoh hanya akan melahirkan apa yang disebut William Ogburn sebagai cultural lag atau kesenjangan budaya. Dalam masyarakat yang mengalami kesenjangan budaya terdapat kondisi kehidupan materi yang jauh lebih maju ketimbang budaya spiritual.
Apalah artinya generasi bangsa berkeahlian secara teknis atau instrumental dalam penguasaan teknologi informasi dan aspek kognisi semata tanpa topangan basis karakter dan budaya cerdas yang dibentuk secara tersistem dan terus menerus melalui pendidikan nasional dan rancang-bangun perikehidupan kebangsaan yang mapan berkemajuan?
Untuk itu diperlukan upaya rekonstruksi atau pemurnian kembali nilai-nilai filosofis pendidikan nasional agar tidak hilang, jiwa, pikiran, dan cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam upaya tersebut, Haedar Nasir mengatakan, diperlukan transformasi karakter bangsa berbasis nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa yang autentik sebagai “kanopi suci” kehidupan. Transformasi karakter luhur seperti itu hanya dapat dilakukan dalam dunia pendidikan dan rekonstruksi perikehidupan kebangsaan yang berorientasi pada pembangunan karakter dan perilaku manusia yang utuh.
***
Inilah menurut penulis wajah baru yang kemudian coba ditampilkan oleh Muhammadiyah dalam miladnya yang ke-107 ini. Semoga nilai-nilai suci dan luhur serta niat yang tulus dari Muhammadiyah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa mampu membawa Indonesia untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa lainnya dalam percaturan kehidupan global saat ini dan mendatang.
__________________________________________
*Aktivis Muda Muhammadiyah, penulis buku Nafas Cendekiawan Muslim (2019)