MADRASAHDIGITAL.CO,- Oleh: Suwanto
(Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Peneliti Hukum dan Politik Islam)
Manusia adalah makhluk hidup yang membutuhkan interaksi dengan manusia lain. Dalam berinteraksi manusia dengan lingkungan-sosial tentu akan ada gesekan atau kritik. Kritik merupakan hal yang wajar untuk saling mengingatkan. Tentu saja dengan catatan kritik yang membangun atau konstruktif. Kemudian, kritik tersebut juga diutarakan dengan santun, bukan kritik yang berbalut dengan kebencian apalagi fitnah.
Abdillah F. Hasan dalam buku, 99 Resep Hidup Rasulullah, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah orang yang anti kritik. Misalnya saja, saat terjadi perang Badar. Pasukan Muslimin berhenti di sebuah sumur yang bernama Badar dan Rasulullah memerintahkan untuk menguasai sumber air tersebut sebelum dikuasai musuh. Lalu salah seorang sahabat, Khahab ibn Mundzir memberi masukan untuk pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh. Kemudian membuat markas di sana dan menutup sumur-sumur yang ada di belakangnya.
Khahab menyarankan membuat lubang-lubang dekat perkemahan dan isi dengan air sampai penuh. Sehingga kita akan berperang dan mempunyai persediaan air yang cukup. Sedangkan musuh tidak mempunyai persediaan air minum. Mendengar usulan tersebut Rasulullah tersenyum dan menyetujuinya. Akhirnya umat Islam memenangkan Perang Badar tersebut (www.republika.co.id, 29 Desember 2021).
Peristiwa tersebut menegaskan bahwa Rasulullah adalah bukanlah pribadi yang anti-kritik. Beliau tidak lantas marah, tetapi sebaliknya beliau membalasnya dengan senyum dan mengakesi kritikannya yang bagus. Selain itu, kalau kita dalami sejarah Islam, khulafa’ur rasyidin merupakan para pemimpin yang minta dikritik.
Khalifah Abu Bakar ra sedari pidato pertamanya usai dibai’at meminta nasihat (kritik) rakyatnya sebelum menasehati. Khalifah Umar bin Khattab ra juga pernah menerima kritikan seorang wanita yang disampaikan di depan umum ketika beliau menetapkan batasan mahar bagi perempuan.
Khalifah Utsman bin Affan ra pun pernah menggagalkan hukuman rajam bagi seorang wanita yang melahirkan dengan usia kehamilan enam bulan dan menolak tuduhan zina. Hal itu beliau lakukan pasca mendapat nasihat dari Ali bin Abi Thalib ra yang berdalil dengan al-Qur’an Surat al-Ahqaf ayat 15 dan al-Baqarah ayat 233.
Deretan peristiwa tersebut memberi pemahaman pada kita bahwa kritik dan nasihat diperbolehkan dalam Islam. Jika sekelas Rasulullah dan para khulafa’ur rasyidin yang notabene adalah sebaik-baiknya rezim kepemimpinan. Maka, rasa-rasanya pemimpin seperti presiden (kepala negara) ataupun pemerintah level di bawahnya tentunya sangat membutuhkan kritik demi terwujudnya good governance dan perbaikan pembangunan.
Dalam kaitannya dengan good governace ini Prof. M. Mas’ud Said, MM., Pd.D merumuskan Fikih Tata Kelola Pemerintahan ke dalam empat elemen dan dasar fikhiyah. Fikih tata kelola pemerintahan ini disusun berdasarkan teks-teks dasar quraniyah dan dasar hadis kultur kenabian. Kemudian meletakkan dasar dasar bagi pelaksanaan empat pilar tata kelola pemerintahan.
Dalam kaidah yang telah dipakai selama ini, terdapat nilai nilai umum berbasis nilai qur’ani yaitu Al-Musyawah, Al-‘Adalah, As-Syura, dan Al-Maslachah. Adapun keempat elemen dan dasar fikhiyah yang berbasis nilai-nilai qur’ani tersebut meliputi rezim politik yang demokratis, pembangunan ekonomi, sistem hukum yang berkeadilan, dan pemerintahan.
Para aktivis Islam dan para pemimpin telah mengklaim bahwa sangat banyak nilai-nilai Islam yang compatible dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Bahkan, sejarah kehidupan pemerintahan Rasulullah selalu dipakai rujukan untuk meyakinkan bahwa sangat erat hubungan antara nilai- nilai tata kelola pemerintahan yang baik dengan fikih Islam.
Untuk mewujudkan keempat elemen tersebut tentunya seorang pemimpin membutuhkan kontribusi dan dukungan rakyatnya. Dan sebagai seorang pemimpin yang notabene merupakan manusia yang tak luput dari salah dan lupa, adanya kritik dari rakyat adalah suatu keniscayaan.
Redaktur: Nia A