Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah harus memiliki karakter yang kuat, yaitu: Integritas, kejujuran, bertanggung jawab, dan kompetensi yang unggul secara konsisten. Kebutuhan bangsa memiliki pemimpin dari “berbagai tingkat dan posisi” yang tidak hanya cerdas atau cerdas, tetapi juga pemimpin yang berkarakter kuat dan memiliki integritas yang tinggi terhadap amanah yang dipimpinnya. Kembali memetik seruan buya Syafi’i Maarif, itu perlu moral begitu maha penting untuk menolong kondisi sekarang ini. Moralitas pemimpin banyak yang disaksikan dan dipertanyakan sikap daperilakunya. Fenomena nyata yang diketahui pemimpin korup merajalela hingga diwilayah provinsi dan kabupaten / kota.Alih-alih anggaran keuangan negara sebagai instrumen untuk mensejahterakan rakyat, diubah menjadi santapan nikmat bagi para pemangsa-pemangsa untuk menumpuk kekayaan pribadi. Pegawai Negri Sipil yang seyogyanya memiliki filosofi untuk mengabdi terhadap kemajuan bangsa, mengatasi kontradiktif dan kesulitan kerja, hanya berjuang untuk memiliki kepemimpinan, dan menggunakan kepemimpinannya menggunakan jalan korupsi.
Inilah realistas sosial hari ini, keputusan tidak digunakan sebagai amanah yang sakral, sebaliknya disalah gunakan untuk kepentingan pribadi “abuse a power”. Disisilain rakyat ikut dan sengsara, hanya bisa menunggu kapan saja bangsa ini bisa makmur sejahtera bagi seluruh rakyat. Tidak hanya sejahtera bagi segelintir orangnya, kader IMM sejatinya bisa memilih dari hal kecil yang dilingkungannya, bahkan dari membuat karakter diri yang kuat. IMM seakan silih berganti, yang ditandai dengan fenomena pergantian instruktur kepemimpinan, selalu diiringi pergantian akar-akar dan gerakan. Melihat, hadir pluralitas, berpikir dan bergerak menjadi hal niscaya terjadi dalam tubuh IMM disamping tidak satu rumpun keilmuan yang sama, serta dasar paham kultural yang lahir dari keluarga muhammadiyah. Tapi kondisi lain yaitu “sangat minimnya” kepedulian dan kepemimpinan dari setiap tingkat kepemimpinan, untuk membumikan IMM sebagi objek perkaderan serta mencoba menstransformasikan kajian yang telah ada sebelumnya. Hal yang dibahas dengan kurang produktifitas kader dalam hasil karya khusus tentang IMM yang terbilang masih minim. Hal ini terlihat dari dua sisi yaitu: pertama, kehilangan optimalisasi kader atau instruktur kepemimpinan untuk menelaah ulang sejarah IMM dan kesulitan menjadikan IMM sebagai salah satu objek yang penting dengan IMM Internal, juga dalam ranah akademis. Kedua, IMM tidak terlalu menarik sebagai objek kajian oleh orang di luar IMM, yang lebih besar karena tidak terkait dengan IMM pada ranah-ranah tertentu.
IMM adalah program bentuk dan kebijakan perubahan-perubahan dalam setiap periode kepemimpinan. IMM sebagai organisasi yang pragmatis (jumlah total program), bukan sebagai organisasi perkaderan yang mengedepankan target dari suatu program atau kebijakan. Padahal, hakikat organisasi perkampungan mampu menjalankan program atau kebijakan yang telah disusun sebelumnya, lewat arahan yang bekerja panjang, sesuai target yang harus dicapai. Bentuk target tersebut, harus melalui diskusi tafsir terhadap visi, misi, gerakan serta implikasinya pada program dan kebijakan yang diperlukan untuk digunakan dalam agenda perjuangan.
Dari sinilah, IMM dipertanyakan eksistensi dan perannya dalam setiap problematika internal dan masyarakat yang kompleks kian tersebut. Misalnya, dari aspek berpikir sejauh mana kader IMM mampu memperdebatkan solutif baik terhadap IMM internal, Muhammadiyah dan masyarakat. Selain itu, kultur sosiologis yang menantang di dalam tubuh Muhammadiyah cukup beragam, yang tidak hanya bisa diklik pada satu orang kader saja.
Meminjam pemahaman Ali Syariati untuk melakukan pembahasan, mengkritik dan menilai terhadap mahzab Memikirkan berjalan dengan pilihan ideal-ideal dan pandangan mahzab. Maka berpikir dalam bentuk proses, cara dan tindakan berfikir senantiasa akan selalu berkembang. Selaras dengan perkembangan zaman, masyarakat, metode, dan problematika yang berkembang di tubuh IMM. Bertindak sebagai IMM sebagai tindakan, kegiatan usaha juga senantiasa berkembang pula. Arti, dialog dan gerakan dengan tidakan statistik, dapat dialektis.
Hal yang paling mendasar dari gerakan organisasi adalah konsistensi dan militansi kader, dalam melakukan diaspora. Apakah gerakan tersebut mampu berjuang, sesuai dengan visi dan misi gerakan tersebut dan diperjuangkan kelahirannya. Oleh karena itu, tantangan kader sebagai dasar dari gerakan organisasi menjadi objek vital, yang senan menentukan Arah kehidupan organisasi gerakan tersebut. Dalam konteks ini, bahas IMM sebagai salah satu gerakan islam menjadi sangat menarik untuk diperbesar, dalam bentuk diskursus ragam berpikir dan gerakannya, melalui bentuk kajian atau konversi yang tertuang berbagai karya (buku / penelitian). Beberapa hasil penelitian yang kami sebutkan ini, halaman luas. Sudah ada beberapa tanggapan dari khayalak yang sudah pernah dibaca.
Tiap pribadi memiliki perbedaan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Hal ini, terjadi karena perbedaan antara pengalaman pribadi, pengalaman, pengetahuan, zaman, sosial, dan pemikiran yang melingkupi pribadi tersebut. Maka, kadang-kadang pertanyaan yang dilakukan dilakukan dua sisi yang saling bercermin satu sama lain. Sadar berpikir menentukan tindakan yang dilakukan secara sadar atau pun tidak sadar.
Problematika Perkaderan
Bagi sebuah organisasi, perkaderan IMM memiliki metode yang terintegrasi yang mampu merekrut kader dan menciptakan generasi penerus yang unggul. Dapat dilihat dari perkembangan organisasi IMM Cabang Cirendeu yang sudah cukup diperbaiki dalam berbagai tataran. Namun, yang sekarang menjadi tantangan adalah optimalisasi Korps Instruktur untuk perkaderan sehingga membuat instruktur hanya fokus pada komisariatnya masing-masing. Secara intelektual, IMM memiliki kader-kader yang tergolong mapan. Namun, dapat mengubah itu menjadi sebuah wacana karena memperbanyak ini dari sekian banyak kader yang memiliki kecerdasan ini masih mampu mencipta karya-karya yang mencuat dikalangan publik dan masih berekor terhadap tokoh-tokoh intelektual dari organ lain.
Sementara hal ini merupakan aib besar bagi kader dengan kemampuan menciptakan ideologi dan kader yang merupakan komponen penting dalam gerakan yang dikatakan oleh Eko Prasetyo, “Perkaderan untuk salah satu tugas yang mengubah gerakannya sebagai gerakan. Kader ibarat perang yang dirancang untuk lawan juga bertarung didepan dengan bekal alat tempur yang terdiri dari pengetahuan juga perjuangan akan arti perjuangan atas kesejahteraan dan juga landasan pemahaman dasar ilahi ”
Kaitannya dengan perkaderan sering kali kader menjadi salah satu problematik gerakan organisasi. Karena memang tidak semua mahasiswa tertarik untuk menyelam di dalam lautan keorganisasian, sehingga kadang kala ini menjadi salah satu faktor yang sulitnya perkaderan. Bagaimana cara kita menggunakan model perkaderan sesuai target yang dituju. Kepada mahasiswa yang tertarik dalam gerakan, cukuplah kami menyediakan nutrisi tambahan untuk menguatkan intelektualnya sehingga tumbuh kreativitas untuk perubahan. Sementara bagi siswa yang sedikitpun tidak berminat dalam gerakan, kita perlu menyediakan nutrisi yang menyadarkan akan pentingnya berorganisasi, sehingga dengan meningkatkan seperti ini mampu menggerakkan serta meningkatkan pergerakan jiwa.
Selain itu, saya rasa tidak ada hal yang sulit dilakukan. Sering kita mendengar jargon man jadda wajada. Kata-kata itu yang menjadi semangat perjuangan kita dalam perkaderan. Semangat berjuang untuk menegakkan keadilan, menyuarakan kebenaran demi inti dari pergerakan. Oleh karena itu, untuk mengemban tugas itu, mobilisasi Instruktur sangat penting dilakukan. IMM memiliki dasar dengan panduan menjadi instruktur yang diharapkan untuk umat dan bangsa.
Bagaimana dengan kinerja Instruktur saat ini? Dengan melihat kader yang tidak mampu bercinta atas apakah memang sudah mejadi kader yang meminta? Panduan itu sering kita sebut dengan trilogi dasar IMM, yaitu religiusitas, intelektualitas, humanitas. Kata kunci ini menjadi rujukan setiap kader IMM untuk menjadi kader yang ideal, kader yang mampu menantang zaman.
Akan tetapi, akhir-akhir ini, sering kali kita melihat para instruktur seakan lupa akan membutuhkannya untuk merangkum kembali kader setelah selesai, bukan berarti perkaderan menyelesaikan tugas menjadi tugas instrktur selesai kuangnya perlu instruktur untuk memfungsikan kembali baru, yang baru saja muncul. Yang telah ditentukan pada trilogi dasar yang telah lama menjadi panduan setiap kader, sehingga memunculkan para kader dan instruktur tidak paham apa itu kader dan apa tugas kader dan instruktur yang benar.
Pahlawan yang berjuang mati-matian dalam memperjuangkan hak-hak sesama atas ketidak adilan yang sekian lama menjalar tanpa ada kata terima kasih. Akan tetapi, dengan semangat perjuangan, dengan kesadaran kemanusian dan ketuhanan para kader yang diharapkan dapat mengubah tatanan yang dimulai dengan tumbangnya rezim otoriter Soeharto. Itulah kader yang diri mereka merupakan kelompok pemuda yang berjuang demi kemerdekaan dan kemaslahatan umat seperti Sukarno, Hatta, Syahrir, Natsir dan Tan Malaka.
Strategi baru
Banyaknya kader IMM pada saat ini yang kurang optimal peran kesadaran dan fungsinya sebagai kader dan instruktur yang masing-masing masing-masing memerlukan masing-masing pribadi yang berbeda tentang pribadi yang satu dengan pribadi yang lain. Terkait dengan perbedaan yang terjadi pada pribadi, pengalaman, pengetahuan, zaman, sosial, dan pemikiran yang melingkupi pribadi tersebut. Maka, kadang-kadang pertanyaan yang dilakukan dilakukan dua sisi yang saling bercermin satu sama lain.
Menjadikan berpikir menentukan tindakan yang dilakukan secara sadar atau pun tidak sadar. Perubahan paradigma belajar berimplikasi cukup besar pada peran yang dimainkan instruktur dan peserta dalam perkaderan Muhammadiyah, yaitu perubahan paradigma perkaderan dari Instructor Centered Learning (ICL) ke Participant Centered Learning (PCL). Perubahan ini dapat dengan jelas terlihat saat kedua paradigma ini dibandingkan. Paradigma lama menempatkan instruktur sebagai pusat pembelajaran, sumber utama sekaligus penentu utama hasil belajar peserta.
Dalam paradigma lama inilah yang disebut mengundang instruktur pengajaran dan pembelajaran peserta, yang kemudian memunculkan istilah belajar mengajar dengan ciri-ciri membuat komunikasi satu arah. Paradigma konstruktivistik memandang peserta sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mengatur sesuatu. Kemampuan awal akan menjadi dasar dalam membangun pengetahuan yang baru.
Oleh karena itu, ini merupakan solusi awal yang masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan resolusi instruktur, yang dikembangkan dan digunakan sebagai dasar pembelajaran dan pembinaan. Paradigma baru menggambarkan keadaan yang sangat berbeda dari paradigma lama. Dalam paradigma baru, peran instruktur yang utama adalah sebagai fasilitator dimana peserta menjadi pusat pembelajaran (PCL).
PCL ini mengajarkan pembelajaran yang bertanggung jawab terhadap pembelajarannya. Dengan demikian, instruktur tidak lagi menjadi peserta belajar dan belajar belajarpun tidak lagi melihat peserta sebagai anak kecil yang perlu disuapi, menerima orang dewasa yang membutuhkan belajar sebagai kebutuhan. Proses pembelajaran pun berubah menjadi peserta dan instruktur yang terlibat bersama-sama dalam proses dengan hasil belajar yang melibatkan kompetensi.
Hasil yang diperoleh dari proses ini terdiri dari peserta yang mengikuti pelatihan, peserta yang memiliki kompetensi soft skill dan hard skill serta perubahan yang dilakukan terkait dengan pengetahuan, sikap dan perilaku. instruktur tidak lagi menjadi hasil belajar peserta dan belajar belajarpun tidak lagi melihat peserta sebagai anak kecil yang perlu disuapi, perlu orang dewasa yang membuat belajar sebagai kebutuhan. Proses pembelajaran pun berubah menjadi peserta dan instruktur yang terlibat bersama-sama dalam proses dengan hasil belajar yang melibatkan kompetensi.
Hasil yang diperoleh dari proses ini terdiri dari peserta yang mengikuti pelatihan, peserta yang memiliki kompetensi soft skill dan hard skill serta perubahan yang dilakukan terkait dengan pengetahuan, sikap dan perilaku. instruktur tidak lagi menjadi hasil belajar peserta dan belajar belajar pun tidak lagi melihat peserta sebagai anak kecil yang perlu disuapi, perlu orang dewasa yang membuat belajar sebagai kebutuhan. Proses pembelajaran pun berubah menjadi peserta dan instruktur yang terlibat bersama-sama dalam proses dengan hasil belajar yang melibatkan kompetensi.
Hasil yang diperoleh dari proses ini terdiri dari peserta yang mengikuti pelatihan, peserta yang memiliki kompetensi soft skill dan hard skill serta perubahan yang dilakukan terkait dengan pengetahuan, sikap dan perilaku. Proses pembelajaran pun berubah menjadi peserta dan instruktur yang terlibat bersama-sama dalam proses dengan hasil belajar yang melibatkan kompetensi.
Hasil yang diperoleh dari proses ini terdiri dari peserta yang mengikuti pelatihan, peserta yang memiliki kompetensi soft skill dan hard skill serta perubahan yang dilakukan terkait dengan pengetahuan, sikap dan perilaku. Proses pembelajaran pun berubah menjadi peserta dan instruktur yang terlibat bersama-sama dalam proses dengan hasil belajar yang melibatkan kompetensi. Hasil yang diperoleh dari proses ini terdiri dari peserta yang mengikuti pelatihan, peserta yang memiliki kompetensi soft skill dan hard skill serta perubahan yang dilakukan terkait dengan pengetahuan, sikap dan perilaku.