Oleh: Pramudya Ananta*
Dewasa ini, hal-hal yang tidak relevan menjadi relevan dan memengaruhi sturuktur kehidupan manusia, salah satunya adalah koneksi lintas nasional (globalisasi) dan dampak liberalisasi. Liberalisme hari ini sedang menebarkan virus-virusnya ke dunia pendidikan, setelah sebelumnya hanya menyebarkan dan melebarkan sayapnya hanya di dunia.
Hal ini dilihat dari nilai-nilai keislaman yang setengahnya didominasi oleh nilai Pendidikan. Pendidikan adalah jantung dari nilai keislaman dalam arti konsep dan pengaruhnya berakar dari pendidikan, sendi-sendi kehidupan juga berasal dari pendidikan.
Maka, hal inilah yang menjadi alasan kaum liberalis harus meliberalisasi dunia pendidikan. Bukan hal baru yang tumbuh di lembaga pendidikan dan lembaga pendidikan agama Islam. Sejak awal munculnya, berbagai kasus pemikiran dan perilaku nyeleneh yang terjadi ternyata tidak terlepas dari westrenisasi ke negeri Islam yang dipromotori oleh Amerika, Inggris, dan negara-negara sekutunya.
Barat dan kapitalis menggencarkan agenda-agenda ke negara target maupun ke lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga pendidikan Islam. Hal ini bertujuan agar terciptanya pendidikan yang bebas dan cepat demi tercapaimya tujuan bersama. Ini terjadi karena Barat tidak ingin pendidikan Islam muncul lagi ke peradaban manusia serta menghambat tegaknya syariat Islam di dunia.
Liberalisasi Pendidikan di Indonesia
Di Indonesia, liberalisasi pendidikan juga masuk karena adanya kerja sama dengan organisasi besar yang membuat Indonesia mengeluarkan peraturan-peraturan yang merugikan kepentingan pendidikan. Karena secara khusus, Pemerintah Indonesia sebagai negara anggota pendiri WTO kemudian dengan segera melakukan ratifikasi atas seluruh kebijakan dalam WTO dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, tanggal 2 November 1994, tentang pengesahan “Agreement Establishing the World Trade Organization”.
Pada 2001, Pemerintah Indonesia kembali meratifikasi kesepakatan internasional, yakni kesepakatan bersama tentang perdagangan jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Orgnization/WTO). Dalam perjanjian itu, pendidikan dijadikan sebagai salah satu dari 12 komoditas (barang dagangan).
Dengan demikian, para investor bisa menanamkan modalnya di sektor pendidikan, terutama untuk pendidikan tinggi. Kesepakatan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya berbagai kebijakan undang-undang di sektor pendidikan yang jauh dari kebutuhan rakyat Indonesia, seperti UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada 30 Maret 2010.
Paradigma Liberalisasi Pendidikan
Adapun macam macam bentuk dari liberalisasi itu dibagi menjadi tiga, hal ini diartikan dari sudut pandang liberal dalam pembentukan liberalisasi pendidikan, yaitu liberalisme pendidikan, liberalasionisme pendidikan, dan anarkisme pendidikan.
Liberalisme pendidikan mempunyai arti perjuangan untuk mendapatkan kebebasan. Namun, pendapat lain mengasumsikan bahwa liberalisme mengedepankan konsep pemikiran, akal, dan pendapat. Liberalisme mempunyai tiga asas utama, yaitu kebebasan, individualisme, dan rasionalis (yang mendewakan akal).
Secara universal, menurut Hasan, pendidikan dibagi menjadi dua bagian, yaitu pendidikan sebagai proses pembentukan pewarisan penerusan dan inkulturasi dan sosialisasi perilaku sosial dan individu yang telah menjadi model panutan masyarakat secara baku. Di bagian kedua, menurut dia, pendidikan adalah upaya dalam fasilitas pengaktualisasian agar terciptanya situasi dan perkembangan lingkungan agar anak bisa tumbuh dan berkembang sesuai tantangan zaman yang bertujuan agar anak bisa survive.
Liberalime pendidikan memiliki tiga corak utama, yaitu liberalisme metodisme, yaitu bersifat nonideologis dan memusatkan dengan cara-cara baru dan cara-cara yang sudah diperbaiki agar tercapainya tujuan-tujuan baru untuk tercapainya pendidikan yang ada sekarang; liberalisme direktif (liberalisme terstruktur), pada dasarnya liberalisme direktif menginginkan pembaharuan dan kerja-kerja yang baru untuk menciptakan dan sekaligus dalam cara kerja sekolah sekolah yang ada sekarang; dan liberalisme nondirektif.
Kaum liberalis nondirektif sepakat dalam proses pendidikan memerlukan pandangan-pandangan dan cara-cara pelaksanaan pendidikan perlu diarahkan secara radikal. Dan, orientasi otoritarian tradisional ke arah sasaran pendidikan yang mengajar ke peserta didik untuk memecahkan kasus-kasus sendiri secara efektif.
Liberalisasi Lembaga Pendidikan Islam
Ini yang sedang dibangun untuk menciptakan kebebasan di dalam dunia pendidikan, sehingga berimbas pada tidak adanya nilai-nilai Islam yang masuk dan berkembang dalam pendidikan. Corak-corak seperti ini sangat bertentangan dengan sistem yang dibangun oleh pendidikan Islam.
Padahal, tujuan pendidikan (maqashid al-tarbiyah) dalam Islam mengacu pada tujuan umum (ams) yang mengarah kepada tujuan akhir (goals) melalui tujuan antara (objectives). Tujuan pendidikan Islam bertitik tolak dari konsep penciptaan manusia sebagai khalifah dan fitrah manusia.
Manusia dalam Al-Qur’an menempati posisi yang sangat istimewa karena ia diciptakan oleh Allah SWT sebagai khalifatan fil’ardhi (wakil Tuhan di muka bumi) dengan tugas dan fungsi untuk ibadah hanya kepada-Nya. Fungsi-fungsi tersebut yang tidak diamini dan merusak proses pendidikan keagamaan dan akan memisahkan tujuan dan fitrah manusia.
Dengan serangan-serangan seperti ini, akan terjadi kesemrawutan sistem keagamaan. Terlebih, adanya doktrin yang menjauhkan dunia dengan agama, ini menambah daftar masalah yang terjadi di dunia pendidikan.
*Kader IMM AR Fakhrudin