Oleh: Bayujati Prakoso*
Pada dasarnya semua manusia tidak bisa hidup sendiri. Maka dari itu, mereka (baca; manusia) itu disebut sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial yang tersemat dan diciptakan dengan nilai spiritual. Kerap kali manusia terjangkiti proses kesedihan, kegundahan, menipisnya prinsip moralitas-etis. Selain itu, di tengah situasi yang semakin kompleks ini, tidak sedikit sikap pragmatisme, materialisme itu ada dan menggejala dalam masyarakat kita. Itu semua adalah hal yang biasa terjadi di kalangan manusia modern ini.
Alternatif dalam menjawab persoalan kalimat diatas dalam ditelisik dalam pemikiran buya HAMKA. Menelisik Buya HAMKA adalah sosok intelektual muslim, ulama, sekaligus sastrawan. Beliau yang memiliki pemikiran yang sampai saat ini berpengaruh dan memiliki efek yang positif dikalangan cendekiawan muslim, maupun orang banyak. Pemikiran yang membumi dan bervisi masa depan, pernyataan ini tidaklah berlebihan jika generasi saat ini melihat betapa banyak karya dan buah pikiran HAMKA yang turut mewarnai perkembangan kemajuan dunia, khususnya Islam.
Melalui pemikiran, pandangan Buya HAMKA menjadi sangat cocok dan relevan jika diterapkan di era kini. Kemudian, sebagai arus yang semakin kompleks, gugatan untuk kembali pada nilai-nilai kepribadian religus (transenden) yang kuat di zaman sekarang ada keharusan di tengah zaman yang kian pragmatis, hedonis, bahkan materialistis, Selain itu, juga perilaku tercela semakin banyak muncul di tengah masyarakat, seperti masih banyaknya kekerasan dalam keluarga, sekolah, banyak pembunuhan dengan beragam motif, degradasi moral, maraknya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), dan lain sebagainya.
Melihat gejala seperti itu tasawuf modern HAMKA[1] (yang terwujud dalam integrasi doktrin sharîʻah dan ajaran tasawuf) layak dijadikan rujukan dalam kehidupan yang dilematis dan kompleks tersebut. Hal ini karena, menurut hemat penulis, pemikiran tasawuf HAMKA mampu memberikan pemahaman untuk mengatasi krisis spiritual manusia modern dan dampak yang ditimbulkannya. Tasawuf, oleh HAMKA, diposisikan sebagai instrumen penting dalam pembinaan moral manusia modern.
Begitu, dalam tasawuf modern yang ditawarkan oleh HAMKA, seorang sufi harus menempatkan Tuan dalam skala “tauhid”. Tauhid dini artinya : Tuhan yang Esa itu ada pada posisi transenden (berada di luar dan di atas terpisah dari makhluk) tetapi sekaligus terasa dekat dalam hati (qalb). Pengertian ini merupakan gabungan antara konsep keakidahan (ilmu kalam) dan konsep “ihsan” menurut Rasulullah SAW. Dengan demikian Tuhan tidak ditempatkan “terlalu jauh” tetapi juga tidak “terlalu dekat”. Akidah ini disebut juga dengan akidah sufisme (meminjam istilah Prof. Dr. Simuh).
Dalam aspek spiritual, masyarakat modern senantiasa terbuai dalam situasi kegelamoran, mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadikan mereka meninggalkan pemahaman agama di mana mereka hidup dalam sikap sekular yang menghapus visi keilahian. Hilangnya visi keilahian tersebut mengakibatkan manusia jauh dari Sang pencipta-Nya, meninggalkan ajaran-ajaran yang dimuat dalam dogma agama.
Akibatnya, dalam kehidupan manusia modern sering dijumpai banyak orang yang stress, gelisah, dan tidak percaya diri. Sebagai akibat lanjutan adalah bahwa dalam realitas kehidupan sering ditemukan anggota masyarakat dalam menempuh kehidupannya mengalami distorsi-distorsi nilai kemanusiaan dan dehumanisasi yang disebabkan oleh kapasitas intelektual, mental dan jiwa mereka yang tidak siap untuk mengarungi samudra peradaban modern. Seperti adanya problem kebangsaan negeri ini; ekstrimisme-terorisme, degradasi moral/akhlak, pelecehan seksual, minim pemerataan pendidikan, kesenjangan sosial, dan lain sebagainya.
Masyarakat modern yang saat ini berada dalam keadaan terkungkung oleh skenario sosial pada akhirnya ada yang lebih memilih menempuh jalan esoteris dalam Islam, yakni bertasawuf. Bertasawuf juga berarti membersihkan hati, menanggalkan pengaruh instink, memadamkan sifat-sifat kelemahan sebagai manusia, menjauhi segala seruan hawa nafsu, dan mendekati sifat-sifat suci kerohanian. Tasawuf, menurut HAMKA, menjadi penguat pribadi bagi orang yang lemah serta menjadi tempat berpijak bagi orang yang kehilangan tempat berpijak.[2]
Bertasawuf, dengan demikian, dapat menimbulkan keyakinan dan ketenangan jiwa bagi pelakunya dalam menghadapi dan menjalani kehidupan, sebab tasawuf lebih menekankan nilai-nilai rohani dan intuisi. Jika manusia modern menginginkan jalan spiritual dalam rangka menemukan kembali nilai-nilai ketuhanan, maka tasawuf merupakan jawaban bagi keinginan itu. Dalam konteks ini pula HAMKA menekankan urgensi tasawuf bagi kehidupan masyarakat modern.
Tawaran HAMKA tentang tasawuf yang bersifat aktif, dinamis dan progresif ini sangatlah tepat dan relevan sebagai solusi krisis spritual manusia modern sekarang ini. Menurut HAMKA, dimensi spiritualitas dari paham dan penghayatan keberagamaan pada dasarnya merupakan sebuah perjalanan ke dalam diri manusia sendiri. Bisa jadi masyarakat modern di era global yang memiliki fasilitas transportasi canggih merasa telah melanglang buana, bahkan telah melakukan perjalanan ke planet lain, namun amat mungkin masih miskin dalam pengembaraannya dalam upaya mengenal dimensi batinnya, bahwa ia adalah makhluk spiritual. Pencapaian sains dan teknologi memang membuat manusia lupa bahwa dirinya adalah makhluk spiritual, sehingga ia menjadi terasing dari dirinya sendiri dan dari Tuhannya. Inilah yang disebut situasi kehampaan spiritual. Itu terjadi akibat gaya hidup serba kebendaan di zaman modern (era global) yang menyebabkan manusia sulit menemukan dirinya dan makna hidupnya yang terdalam.
Seyogianya sebagai makhluk religius, wajib menerapkan nilai tauhid, berparadigma moralitas-akhlak, adalah wajib bagi umat beragama, berbangsa, dan bernegara. Namun, pada tataran aplikatif, masih dapat dikatakan minim aksi. Hal ini semakin terkikis nilai spiritualitas dalam jiwa, dan menjadi semakin jauh dari Tuhan. Padahal, sekali lagi, manusia adalah makhluk ber-Tuhan (tauhid). Sebagaimana dalam Surat Ar-Rum Ayat 30[3],
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Dari ayat tersebut dijelaskan mengenai fitrah manusia. Manusia memiliki fitrah untuk selalu beribadah kepada Allah SWT. Fitrah Allah bersifat tetap dan wajib menjalaninya[4]. Wallahu a’lam bishawab.
Daftar Referensi
Buku:
HAMKA. 1985. Tafsir Al-Azhar Juz X. Jakarta. Pustaka Panjimas.
_______. 2003. Tasawuf Modern. Cet. IV. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas.
_______. 1984. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Cet. XI, PT. Jakarta: Pustaka Panjimas.
[1] Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka. HAMKA adalah akronim dari nama aslinya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim bin Muhammad Amrullah bin Abdullah Shalih bin Abdullah Arif. (Untuk penulisan selanjutnya ditulis Hamka). Lebih jauh lihat HAMKA, Tafsir Al-Azhar, hlm. 1
[2] HAMKA, Tasauf: Perkembangan dan Pemurnianya. Hlm. 9. Berkaitan dengan ilustrasi di atas, dia secara eksplisit menyebut pengaruh tasawuf dalam kehidupan manusia yang memerlukan siraman rohani, bahkan terhadap dirinya sendiri pada saat-saat menjalani pemeriksaan dan penahanannya oleh polisi. Lihat juga HAMKA, Tasauf Modern (Jakarta: Yayasan Nurul Iman, 1970). Hlm. 14-16.
[3] Lihat pada https://tafsirq.com/30-ar-rum/ayat-30 (Diakses pada 30 Juli 2019, pukul 13.55 WIB)
[4] Lihat pada https://www.cahayaislam.id/tahukah-kamu-tentang-tafsir-al-quran-surat-ar-rum-ayat-30/ (Diakses pada 30 Juli 2019, pukul 13.55 WIB).
*Kepala Madrasah Digital DKI Jakarta, Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Jakarta Selatan 2018-2019