Oleh: Ahmad Soleh*
Belakangan ini, kita dihebohkan dengan pemberitaan mengenai Menag Lukman Hakim Saifuddin yang mencurigai tumbuhnya paham ekstrem di MAN 1 Sukabumi. Hal itu karena beredarnya foto pengibaran bendera berlafaz tauhid oleh sejumlah siswa ekskul Keluarga Remaja Islam Majelis Al-Ikhlas atau Karisma MAN 1 Kab Sukabumi, Jawa Barat. Viralnya foto siswa ekskul dengan bendera berlafaz tauhid dalam acara pengenalan ekskul sekolah itu mendapatkan respons beragam.
Repons beragam itu lantaran bendera berlafaz tauhid ini sangat lekat dengan ikon atau simbol HTI alias Hizbut Tahrir Indonesia, organisasi terlarang yang sudah dibubarkan pemerintah. HTI dibubarkan lantaran menolak ideologi Pancasila dan demokrasi, serta kekeuh dengan paham khilafah yang selalu dikampanyekannya. Meski sudah dicabut izin sebagai organisasi legal, tak semerta-merta membuat kegiatan eks anggota HTI berhenti, terlebih dengan paham dan keyakinan yang sudah terpatri dalam benaknya.
Sampai hari ini, kita masih bisa menemukan buletin HTI yang terbit setiap Jumat di masjid-masjid, tentu dengan nama dan tampilan yang berbeda dengan sebelumnya. Meskipun, garis besar idenya sama, yakni khilafah itu benar dan sistem negara selain khilafah, seperti demokrasi adalah sistem yang thagut. Ini menjadi bukti bahwa ide, gagasan, dan keyakinan mereka akan sebuah sistem khilafah terus bergulir. Dan tampaknya ini menjadi ‘ketakutan’ tersendiri bagi pemerintah. Paham yang dibawa HTI dinilai sangat berbahaya karena hendak mengganti dasar negara, dari negara Pancasila menjadi negara agama; negara Islam.
Sebagai negara dengan penduduk Muslim yang besar, kita perlu memahami ini sebagai dinamika dan dialektika dalam kehidupan berbangsa. Namun, kita juga perlu memahami bahwa Indonesia merupakan negara Pancasila. Pancasila melalui sila pertamanya, melindungi umat beragama. Bahkan, kelima sila dalam Pancasila sendiri sesuai dengan ajaran agama. Maka, tidak tepat jika kita mempertentangkan Pancasila dengan ajaran agama.
Negara Pancasila
Sebenarnya, mempertentangkan Pancasila dengan ajaran agama adalah hal yang tidak perlu dilakukan. Di Indonesia ada ormas mainstream, NU dan Muhammadiyah, yang memiliki peran besar bagi kemajuan umat Islam, bangsa, dan negara. Bahkan, kedua ormas ini hadir jauh sebelum Indonesia merdeka. Muhammadiyah tahun 1912 dan NU tahun 1926. Jadi, berbicara soal keislaman dan keindonesiaan tak perlu jauh-jauh, kita bisa melihat pendapat kedua ormas keagamaan Islam terbesar tersebut.
Muhammadiyah misalnya, mencetuskan istilah Darul Ahdi Wasy Syahadah untuk menyebut negara Pancasila. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, Darul Ahdi artinya negara tempat kita melakukan konsensus nasional. Negara kita berdiri karena seluruh kemajemukan bangsa, golongan, daerah, kekuatan politik, sepakat untuk mendirikan Indonesia. Sedangkan Darul Syahadah artinya negara tempat kita mengisi. Jadi, menurut Haedar, setelah kita punya Indonesia yang merdeka, seluruh elemen bangsa harus mengisi bangsa ini menjadi negara yang maju, makmur, adil, dan bermartabat.
Islam Wasathiyah
Islam wasathiyah hadir dengan keyakinan bahwa sesungguhnya umat Islam adalah umatan wasathan, umat yang ada di tengah. Islam wasathiyah merupakan implementasi dari ajaran Islam rahmatan lil alamin. Islam wasathiyah disebut juga Islam jalan tengah. Bertujuan untuk menciptakan umat terbaik (khairu ummah), darussalam yang badlatun thayyibatun wa rabbun ghafuur.
Islam wasathiyah ini tentu sangat jauh dari konsep dakwah pemaksaan, ekstrem, dan kekerasan, seperti Hizbut Tahrir, ISIS, dll. Selain itu, juga sangat jauh dari istilah liberal. Itulah mengapa disebut moderat atau wasathiyah. Maka dari itu, Prof Dadang Kahmad menjelaskan bahwa Islam wasathiyah adalah cara berislam yang paling sesuai dengan karakter bangsa dan masyarakat Indonesia dan sudah dipraktikkan oleh leluhur kita sejak Islam datang ke bumi pertiwi ini dan insya Allah akan terus dianut dan dipraktikkan oleh semua umat Islam Indonesia sepanjang masa (Republika, 27/5/2019).
Pemahaman dan praktik keagamaan Islam wasathiyah (Ma’ruf Amin: 2018) memiliki ciri-ciri, yaitu tawassuth (mengambil jalan tengah), yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (reduktif, mengurangi ajaran); tawazun (seimbang), dalam semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam menyatakan prinsip, dan dapat membedakan inhiraf (penyimpangan) dan ikhtilaf (perbedaan); i’tidal (lurus dan tegas), menempatkan sesuatu pada tempatnya, melaksanakan hak dan kewajiban secara proporsional; tasamuh (toleransi), mengakui dan menghormati perbedaan; dan musawah (egaliter), tidak diskriminatif akibat perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul.
Selain itu, ciri lainnya adalah syura (musyawarah), persoalan diselesaikan dengan musyawarah mufakat dengan mengedepankan kemaslahatan; islah (reformasi), mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik; aulawiyah (mendahulukan yang prioritas); tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), sesuai dengan perkembangan zaman; serta tahadhdhur (berkeadaban), menjunjung tinggi akhlakul karimah, karakter, identitas, dan integritas sebagai khairu ummah dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban.
Mengembangkan Islam wasathiyah menjadi agenda penting untuk menguatkan peran umat Islam dalam memajukan bangsa dan negara. Mengembangkan Islam wasathiyah juga berarti mengembangkan pemikiran modern di kalangan umat Islam, sehingga umat Islam bisa berperan dan mampu menghadapi tantangan zaman tanpa tercerabut dari akarnya. Wallahualam.
*Pegiat Madrasah Digital