MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh: Ramadhanur Putra (Mahasiswa PAI UMY dan Ketua PK IMM FAI UMY)
“Capek Mas, kita kerja kelompok terus, presentasi terus.”
Keluh seorang siswa kelas sepuluh IPA disaat saya tanyakan kepadanya bagaimana ‘rasa’ kurikulum baru, yaitu kurikulum Merdeka Belajar. Siang itu, saya sedang berjalan di halaman sekolah, dari posko PPL (baca; praktik pengalaman lapangan) menuju Masjid sekolah. Ya, saya adalah mahasiswa semester akhir yang sedang menuntaskan PPL di salah satu SMA di DIY.
Dalam perjalanan, saya melihat lima orang siswa sedang mengamati sebuah pohon di sekolahnya. Sekolah itu memang terkenal karena tumbuhan hijaunya dan sudah mendapatkan gelar Sekolah Adiwiyata. Setelah saya telusuri, ternyata mereka sedang diberikan tugas biologi oleh gurunya. Mereka mengamati pohon itu, lalu terlihat membicarakan sesuatu, dan kembali ke kelas setelah saya tanyakan satu dua hal.
Mempersoalkan Kemerdekaan di Sekolah
Sebenarnya, saya sedikit kaget dengan jawaban yang dilontarkan oleh siswa tadi. Bagaimana bisa kurikulum yang mengadopsi frasa ‘merdeka’ itu bisa membuat siswa mengeluh dengan nada yang agak tinggi. Apakah karena memang kemerdekaan itu harus direbut dengan bersusah payah? Akan tetapi, mereka ini semua tidak sedang berperang, apalagi bergerilya dalam hutan. Mereka ini adalah siswa/i yang sedang menempuh pendidikan formal di sekolah.
Pikiran saya berlari ke buku Sekolah itu Candu yang dituliskan oleh Roem Topatimasang (2013). Dalam buku itu, ia menuturkan bahwa kata sekolah itu berasal dari bahasa Yunani, skhole, scola, scolae atau skhola yang berarti waktu luang atau waktu senggang. Dahulu di Yunani sana, orang-orang menikmati waktu senggang mereka dengan pergi ke orang pandai. Mereka pergi untuk mencari pengetahuan baru.
Jadi, apabila sekolah adalah salah saru cara untuk menikmati waktu senggang. Bagaimana mungkin sekolah memberikan tugas dan kerja kelompok yang ribet serta melelahkan bagi siswa/i-nya. Belum lagi, jika kita melihat bahwa praktik tugas dan kerja kelompok itu hanya sebatas rutinitas dan tuntunan modul ajar, tidak sampai kepada tahap refleksi atas kondisi kehidupan nyata.
Sempat terpikir, kenapa guru-guru tidak menugaskan siswa/i untuk terjun langsung ke lapangan? Bukankah sekolah ini adalah Sekolah Adiwiyata dan Jogja sedang dilanda masalah serius, terkait sampah? Kenapa tidak tugas seperti itu saja yang diberikan agara siswa merdeka karena merasakan kondisi real kehidupan. Ah, apakah karena pagar sekolah terlalu tinggi hingga mereka terpisah dari persoalan sekitar? Dan, Pertanyaan-pertanyaan liar muncul dalam kepala ini.
Pertama, bagaimana guru memahami Merdeka Belajar.
Apakah kemerdekaan siswa/i di dalam sekolah itu ditandai sebatas mereka berani untuk presentasi di depan umum? Atau mereka punya kepercayaan diri sehingga diberikan tugas kelompok terus-menerus sampai tidak ada waktu belajar mandiri? Atau sebenarnya, pemahaman kemerdekaan seperti apa yang kita pahami. Ini tentunya menjadi evaluasi dalam kebijakan Kurikulum Merdeka Belajar ini.
Pernah suatu hari, ketika itu saya melakukan observasi juga di sebuah sekolah (smp) di daerah DIY. Kebetulan, kita melakukan observasi terkait administrasi pembelajaran. Berdasarkan penuturan dan tanya jawab bersama guru. Mereka mengakui bahwa kebanyakan dari mereka belum memahami ap aitu kurikulum merdeka. Adapun sedikit yang memahami kurikulum merdeka, tapi itu hanya sebatas pemahaman operasional assessment semata. Tidak kepada pemahaman substansial tentang kemerdekaan siswa.
Ternyata, dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Reza Aditia (2023) meskipun Student Centered Learning cukup efektif untuk mahasiswa, tapi metode ini tidak selalu efektif untuk siswa/i di sekolah, terutama di tingkat SD dan SMP. Belum lagi, apabila metode SCL itu tidak dipahami secara mendasar oleh para guru di tingkat sekolah. Akhirnya, bagaimana cara guru membantu mewujudkan kemerdekaan belajar pada siswa/i jika pemahaman guru tentang kemerdekaan belajar masih kurang. Apalagi jika kemerdekaan itu dipersempit dengan pemahaman metode Student Centered Learning ini.
Kedua, Fasilitas sekolah penunjang Merdeka Belajar.
Saya sedikit heran, sebenarnya bagaimana caranya kita mengeja kemerdekaan dalam pendidikan hari ini. Tapi, sekolah ini sedikit lebih beruntung dibandingkan dengan sekolah lainnya yang ada di Jogja. Mereka masih punya banyak tanaman yang dapat diobservasi untuk melaksanakan proyek pembelajaran. Bagaimana nasib sekolah yang tidak punya itu? Bagaimana dengan sekolah yang memiliki keterbatasan fasilitas dan akses lainnya? Bisakah mereka melahirkan para siswa/i yang merdeka?
Belum lagi jika kita berbicara tentang kondisi ekonomi keluarga siswa/i yang tidak merata. Bagaimana kita mengadakan pembelajaran merdeka yang proporsional berdasarkan kemampuan finansial siswa/i. Sebenarnya ini adalah kaji lama dalam dunia pendidikan. Sangkut paut ekonomi dan pendidikan. Menghadirkan pendidikan yang mampu melakukan mobilitas sosial. Bukan pendidikan yang makin menekan jurang ketimpangan.
Ketiga. Implementasi belum merata.
Beberapa hari sebelumnya, saya juga masuk ke dalam kelas, kelas yang menjadi tanggung jawab saya selama PPL dibawah naungan guru pamong tentunya. Kali itu adalah pertemuan pertama saya dengan kelas tersebut, yaitu sebelas IPS. Berbeda dengan kelas sepuluh, kelas sebelas dan dua belas masih memakai kurikulum 2013. Pada kesempatan itu, saya menghabiskan waktu satu jam mata pelajaran (45 menit) untuk sesi perkenalan.
Semula, saya awali kelas dengan memperkenalkan identitas, tujuan, dan harapan selama nanti membarengi mereka dalam belajar. Setelah itu, saya berikan kesempatan bagi mereka untuk memperkenalkan diri pula. Tidak puas dengan mengenali namanya saja, saya juga meminta mereka untuk menyebutkan hobby dan cita-citanya. Bukan tidak sengaja, hal itu memang saya persiapkan untuk mengenal mereka lebih dalam.
Kelas sebelas ini, masih menggunakan kurikulum 2013. Hal ini wajar dijumpai di sekolah-sekolah kita hari ini. Sekolah-sekolah memang belum secara merata dan total dalam mengimplementasikan kurikulum perlu. Hal ini wajar, karena memang perlu waktu yang cukup lama untuk mendorong perubahan. Dan dalam proses transisi ini, saya belum melihat perbedaan metode/gaya belajar siswa Kurikulum 2013 dan Merdeka Belajar. Maka, upaya implementasi Merdeka Belajar haruslah dilaksanakan dengan serius dan seksama.
Keempat, memahami pedagogi yang tepat.
Mereka menarik, ketika saya tanya apa hobi dan cita-cita. Mayoritas menjawab hobinya main hape, scroll tik tok, nonton film, satu orang suka sepak bola, beberapa orang suka main game online, dua orang suka baca komik, dan satu lagi suka jalan-jalan. Tentang cita-cita? Merekapun bingung untuk menjawabnya. Mereka hampir tidak bisa menyebutkan pilot, guru, polisi, dokter, dan bentuk cita-cita lainnya yang dulu pernah kita impikan.
Lantas, apakah mereka sekerdil itu? Oo tidak, mereka ini kelas berprestasi. Mereka pernah menjuarai kompetisi membuat vlog disekolahnya. Bagaimanapun juga, perlu kita sadari, mereka terbentuk karena sosio-kultur yang mereka temui setiap hari. Agaknya, banyak peer untuk mahasiswa PPL, atau kita yang ingin jadi guru, bahkan kita yang akan menjadi orang tua juga di masa depan. Memikirkan bagaimana caranya memberdayakan segala potensi yang dimiliki anak (siswa/i) agar dapat menjadi insan yang merdeka!
Setelah mendengar hobby dan cita-cita mereka tadi, otak saya agak berputar kencang. Bagaimana caranya saya akan menuntaskan PPL ini dengan psikologi siswa yang seperti diatas tadi. Metode belajar sepeti apa yang cocok untuk saya pakai dalam mengajar di kelas. Oleh karena itu, pada sesi akhir, saya mengadakan riset kecil-kecilan dengan menanyakan metode belajar seperti apa yang mereka sukai. Mayoritas mereka suka belajar dengan PPT, kedua dengan video/film, dan terakhir dengan bercerita.
Purna-Kata: Menyeimbangkan Tradisi dan Inovasi
Dalam proses transisi kurikulum ini, kita perlu menyeimbangkan antara tradisi dan inovasi dalam pendidikan. Perubahan paradigma belajar yang harus dibarengi dengan budaya (karakter) sebagai etos dari pendidikan dan juga kapasitas nalar (kreatif-inovatif) sebagai nafas transformasi pendidikan (Latif, 2020).
Merdeka Belajar jangan diartikan sesempit proses pembelajaran dengan Student Centered Learning saja. Sesekali, otoritas dan otonomi guru dalam pembelajaran juga harus diupayakan. Itulah mengapa, tempat kita sekolah disebut alma mater, yang berarti ibu pengasuh. Selain itu, upaya mewujudkan kemerdekaan belajar harus diimbangi juga dengan kemerdekaan lainnya. Jangan sampai, kemerdekaan yang kita inginkan melahirkan bentuk penindasan baru dalam pos-pos sentral kehidupan yang lain.
Mendorong perubahan dalam paradigma pendidikan adalah tugas kita bersama. Tugas dalam membaca psikologi siswa, membaca perkembangan zaman, dan membaca celah-celah kecil dalam proses perubahan itu untuk mewujudkan pemerataan. Maka, kita perlu menyeimbangkan antara tradisi dan inovasi dalam mewujudkan perubahan dalam pendidikan.