MADRASAHDIGITAL.CO- OLEH: Cenruang Alung
“Muhammad telah mati! Ia telah dibunuh!”
Teriakan beberapa anak kecil sebab melihat seorang yang tidak mereka kenali, membelah dada salah seorang teman bermain mereka. Sosok yang tidak mereka kenali tersebut memegang segumpal darah dari dada Muhammad, seraya berkata “ini adalah bagian setan yang ada pada dirimu,” kemudian mencucinya di sebuah baskom emas dengan basuhan air Zamzam. Kemudian ia menata kembali seperti sedia kala (Al-Mubarakfuri: 2008).
Ya, peristiwa monumental tersebut adalah peristiwa dimana malaikat Jibril diutus Allah untuk membelah dan membersihkan hati (jiwa) Muhammad. Sebuah peristiwa yang melekat dalam benak umat Islam, sebuah kisah yang sejak kecil berulang kali telah kita dengar.
Tak hanya itu, dalam sejarah perjalanan kita mengenal Nabi Muhammad, kita telah banyak disuguhi kisah-kisah yang bersifat metafisik. Membelah bulan, terbang ke langit dalam sehari semalam, selalu diikuti awan mendung kemanapun ia berjalan dan beberapa kisah luar biasa lainnya. Hal-hal tersebut terdengar di luar nalar (logika mistika) namun berhasil mengundang kagum, bahwa ia benar-benar manusia spesial.
Logika mistika tidak pernah gagal dalam merasuki pikiran, ia tertanam dalam. Kiranya, hal tersebut ialah penting sebagai upaya dalam merangsang imajinasi dan membangkitkan sebuah kepercayaan mutlak. Tak jarang pula, logika-logika mistik yang telah tertanam dalam pun dapat menjadi penyebab butanya kita dalam membaca realitas sosial-saintifik.
Tulisan ini sama sekali tidak berupaya untuk menegasikan mukjizat kenabian, namun menekankan ketika nama Muhammad menggema pada ruang pikiran, Muhammad seperti apa yang sebenarnya kita bayangkan? Apakah tentang manusia yang dianugerahi kemampuan supranatural atau tentang manusia biasa yang menjadi mulia sebab akhlak budi yang luhur.
Hanya memandang Muhammad melalui kacamata mukjizat metafisik adalah tindakan yang selamanya akan semakin menjauhkan kita dari Muhammad itu sendiri. Apa yang digagas oleh Kuntowijoyo dengan istilah profetik (kenabian) tidak akan pernah bisa diimplementasikan jika kita enggan memahami dan mempelajari Muhammad melalui kacamata pandang laku kehidupan sosialnya.
Dari segudang hal baik yang terdapat dalam diri Nabi Muhammad, beberapa hal ini dirasa penting untuk diteladani, sebagai kisah inspiratif yang akan membuat kita berdecak kagum, tak kalah kagumnya ketika dahulu kita dikisahkan tentang perjalanan isra’ mi’raj atau membelah bulan.
Memimpin dengan Memberi Contoh
Jauh sebelum masa nubuwah, Muhammad kecil telah memiliki modal kepemimpinan yang kuat. Kepribadiannya menjadi daya tarik istimewa di tengah kehidupan bermasyarakat. Sikap intelektualitas telah ditunjukannya sejak kecil, tidak bertindak reaktif, memberi waktu untuk mengamati dan menganalisa akan suatu perkara telah menjadi kebiasaannya.
Muhammad senantiasa berpikir dan mengamati keadaan negerinya, tidak hanya sebatas itu, ia kerap untuk datang dan melihat langsung kehidupan pada tiap-tiap golongan (kelas) manusia pada masa itu. Berinteraksi, dan mengambil hal baik dari siapa saja yang ditemuinya, tidak heran masyarakat bersimpati besar padanya.
Masyarakat Makkah memberi gelar al-Amin kepada Muhammad bukan tanpa alasan. Gelar yang diperolehnya bahkan sebelum masa kenabian ini menjadi bukti akan keluhuran akhlak Muhammad.
Disebutkan Shahih Bukhari dalam Sirah Nabawiyyah (2008), bahwa Nabi Muhammad menonjol di tengah kaumnya karena perkataannya yang lemah lembut, sifatnya yang mulia, terhormat pergaulannya dengan para tetangga, paling jujur perkataannya, terjaga jiwanya, paling banyak memenuhi janji dan beliau membawa bebannya sendiri, memberi orang miskin, menjamu tamu dan menolong siapa pun yang hendak menegakkan kebenaran.
Sang Pembebas Sejati
Kelahirannya membawa kebahagiaan banyak orang, kepribadiannya menjadi air yang menyejukkan. Hal tersebut memiliki cerita berbeda ketika Muhammad membawa risalah Islam. Dakwah Muhammad menghantam keras tatanan oligarki warga Makkah, mereka takut ajaran leluhur yang bersifat politeisme akan runtuh. Beberapa takut ketika mengikuti Muhammad, posisi dan status sosial mereka akan runtuh seketika.
Begitu besarnya ego manusia, beberapa orang yang dahulunya begitu mengagumi Muhammad, kini berbalik memusuhinya, tak lain ialah sebab risalah yang dibawa oleh Muhammad. Jika dirunut secara kronologis, keimanan pertama yang ditanamkan al-Qur’an setelah monoteisme dan keadilan sosial-ekonomi adalah keimanan pada hari pertanggung-jawaban (Rahman: 2017).
Perjuangan Muhammad adalah perjuangan kemanusiaan. Setelah tauhid, ia memperjuangkan keadilan sosial-ekonomi, berjuang melepas belenggu manusia satu dengan yang lainnya. Ajaran akan hari pertanggung-jawaban memiliki konsekuensi logis bahwa setiap orang tidak berhak untuk bertindak semena-mena atas yang lainnya. Ajaran tersebut adalah ajaran moralitas, berjuang guna memerdekakan manusia, sebuah perjuangan yang bahkan hingga detik ini tetap digaungkan.
Ialah Muhammad, pelajaran dari kehidupannya tidak akan habis untuk digali. Hingga detik ini, selalu ada pihak yang berupaya mendiskreditkannya, namun selama itu pula arus ajaran dan keagungan moralnya tetap mengalir, semakin deras.
Setidaknya, dengan mempelajari Nabi Muhammad melalui sudut pandang kehidupan sosialnya, kita berpeluang untuk mendekati sosok manusia mulia ini. Bukan dalam rangka merayakan kelahirannya, namun dalam rangka mensyukuri bahwa manusia mulia itu pernah lahir di bumi ini, selayaknya manusia biasa yang lain. Mensyukuri bahwa ia menghabiskan hidupnya di bumi ini, raganya telah lama mati, namun nilai-nilai kehidupannya akan terus abadi.
Allahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad.
REFERENSI
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurahman. 2008. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Rahman, Fazlur. 2017. Islam Sejarah Pemikiran dan Perdaban. Ed. Ahmad Baequni. Bandung: Mizan.
Red: Amin Azis