MADRASAHDIGITAL.CO- OLEH: Rizki Abiyoga (Peserta Sekolah Antikorupsi)
Fenomena korupsi barangkali memiliki catatan panjang dalam sejarah bangsa Indonesia. Rezim Soeharto runtuh akibat maraknya praktik KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme), inflasi ekonomi dan minimnya kebebasan berekspresi.
Setelah Presiden menyatakan mundur sebagai presiden Republik Indonesia dan berganti menjadi era reformasi dengan harapan seluruh permasalahan yang ditinggalkan oleh rezim sebelumnya dapat diselesaikan.
Pemberantasan korupsi dan strategi untuk memberantas korupsi menjadi hal yang seringkali diperbincangkan berbagai kalangan, hal ini merupakan bentuk perlawanan terhadap tindakan korupsi yang dituangkan dengan membentuk lembaga-lembaga adhoc dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Korupsi di Indonesia bagaikan perbuatan yang lazim dilakukan para pejabat negeri ini. Elit-elit politik negara seringkali memainkan peran dengan berbagai golongan untuk memperlancar segala macam kepentingan yang dikehendakinya.
Realitas Korupsi Indonesia
Mengutip dari data ICW (Indoesia Corupption Watch) berdasarkan tren vonis yang dihimpun memaparkan kerugian negara akibat dari korupsi pada tahun 2021 melonjak dari tahun sebelumnya, sebesar Rp. 62,9 Triliun, sedangkan pada tahun 2020 kerugian negara dilansir mencapai Rp. 56,7 Triliun.
Perkara dan terdakwa korupsi juga mengalami kenaikan pada tahun 2021 dibanding 2018, 2019, serta 2020. Dalam suatu berita yang dirilis Kurnia Ramadhan mengatakan bahwa “ICW mencatat terjadinya peningkatan jumlah perkara dan terdakwa korupsi tahun 2021, pada tahun 2021 terdapat 1.282 jumlah perkara korupsi dengan total terdakwa 1404 orang” (Merdeka.com, 2022).
Kasus korupsi pada kenyataanya masih menyentuh wilayah politik dan persebarannya tidak hanya di elit negara, namun menyetuh tataran perangkat desa. Korupsi diwilayah politik bahkan meningkat pada tahun 2021. Dalam laporan tren vonis 2021 ICW, mengakumulasi jumlah terdakwa berdasarkan pekerjaan yakni 363 Perangkat Desa, 346 ASN, 275 Swasta, 35 Legislatif, dan 17 Kepala Daerah.
Klaster politik Perangkat Desa, ASN dan Swasta masih konsisten menjadi langganan peringkat atas berdasarkan latar belakang pekerjaan terdakwa sejak tahun 2018. Dalam ranah penindakkanya, melamah terhadap latar belakang politik seperti anggota legislative.
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
Realitas data korupsi Indonesia pada 2021 pada akhirnya berdampak pada IPK (Indexs Presepsi Korupsi), dampak ini mengakibatkan anjloknya skor dari 40 menjadi 38. Menariknya, salah satu indikator yang menyebabkan turunnya IPK adalah World Justice Project – Rule of Law Index (23).
Jika ditilik lebih jauh, stagnasi tersebut sebab turunnya indikator penegakan hukum Indonesia pada tahun 2021, dari 49 menjadi 54 (antikorupsi.org, 2022).
Oleh karenanya, retorika anti korupsi tidak cukup untuk menuntaskan praktek korupsi ini. Dimensi politik hukum perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah hanya akan sia-sia apabila tidak dibersamai dengan keteguhan guna manifestasi dari peraturan perundangan-undangan.
Dari paparan diatas menjelaskan hari ini politik hukum yang dirancang hanya untuk pemenuhan hasrat maistream pasca rezim soeharto runtuh. Sisi politik hukum ialah kebijakan pemberlakuan, acapkali digunakan secara dominan di Negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini justru membuka gerbang masuk praktek korupsi melalui kelemahan perundang-undangan.
Apabila kondisi ini kita cermati lebih jauh terdapat pada undang-undang bidang ekonomi, Namun terdapat sisi positif dimana politik hukum ditujukan untuk memajukan kehidupan politik warga negara. Perihal sisi negatif ialah berada di negara berkembang yang menganut otoriter, aturan hukum digunakan sebagai legitimasi public dengan memunculkan istilah rule of law dalam artian negatif bukan rule of law yang sebenar-benarnya.
Wajah Korupsi Dilihat dari Ekonomi-Politik
Regulasi atau aturan hukum yang terkait dengan fenomena ekonomi, hampir seluruh peraturan di dalamnya memiliki irisan terhadap politik hukum dan pada kenyataanya memberikan ruang besar untuk terjadinya praktek korupsi. Ketergantungan negara berkembang kepada negara adidaya memiliki dampak buruk. Negara berkembang seperti Indonesia, terjerat kedalam kubangan korupsi dan hutang luar negeri yang dibuat oleh negara Adidaya (Amerika) melalui IMF serta Bank Dunia.
Akumulasi Kapital Penyebab Korupsi
Beberapa kasus korupsi di Indonesia sering kali terjaid akibat dari korupsi politik. Secara sederhana dapat dipahami bahwa sistem politik di negara ini menghalalkan pembiayaan politik mandiri yang tinggi. Kasus-kasus korupsi politik terjadi akibat dari akumulasi kapital bertajuk “pembiayaan politik”. Demokrasi liberal di Indonesia masih tersandung oleh perilaku klientelisme (Robinson, 1986).
Dalam hal ini politisi bergantung kepada institusi informal atau individu saudagar untuk menyediakan pembiayaan guna meloloskan keinginan politiknya atau memenagkan prosesi pemilu/pilkada.
Oleh karenanya institusi informal (pengusaha) atau saudagar tidak ingin rugi, dimana proses pengembalian adalah dengan cara transaksional berupa bagi-bagi proyek sampai kepada kemudahan proses akses perizinan dan kontrak. Akibat dari itu semua, para politisi melakukan praktik korupsi demi pengembalian dan pengusaha berhasil mengakumulasi keuntungan kapitalnya.
Praktik korupsi pada saat ini tidak bisa hanya dipandang sebagai tindakan melawan hukum, namun masuk kedalam bagian akumulasi kapital.
Dalam perspektif marx, korupsi dilihat sebagai perwujudan jelek dari “demokrasi yang belum usai”. Pandangan penulis, dikatakan belum usai karena demokrasi tidak diiringi oleh pembumian atau pembudayaan demokrasi sebagai entitas proses kultural. Akibatnya, demokrasi liberal membuat kebebasan tanpa batas, melahirkan praktik korupsi (Sullivan, 2022).
Demokrasi pada akhirnya melahirkan praktik klientelistik, oligarki antar kelas kapitalis, dan negara. Dimana negara menjadi alat dari kelas berkuasa untuk berkuasa dan mengakumulasi kapitalnya dengan jalan politik.
Apabila menggunakan logika marx, akumulasi kapital adalah keuntungan kunci dari kapitalisme. Logika kapitalisme mensyaratkan adanya sirkulasi, agar kapital dapat diakumulasikan, uang harus diubah dulu menjadi komoditas. Dalam perihal politik, komoditas diartikan sebagi politik.
Cara yang digunakan agar komoditas (politik) bisa diubah menjadi kapital diperlukan biaya. Biaya kemudian diakumulasikan untuk menjadi komoditas, transformasi dari komoditas menjadi kapital itulah pada ranah politik, yang kemudian menyebabkan korupsi.
Oleh sebab itu, politisi diharuskan mencari pembiayaan dengan melakukan aktivitas dengan mengambil kekayaan negara melalui kekuasaan politiknya.
Dalam logika marx, tentunya permasalahan mendasarnya bukan pelanggaran hukum, namun akumulasi kapital dengan proses demokrasi liberal (cost politik tinggi).
Akumulasi kapital ini yang memungkinkan korupsi terjadi, praktik penguasaan segala sector termasuk ranah public demi mengumpulkan kapital dilakukan diluar batasan hukum atas kepentingan ekonomi politik.
Red: Amin Azis