MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh : Ramadhanur Putra (Kabid TKK PC IMM AR Fakhruddin)
Dalam sebuah kisah masyhur pra – kemerdekaan Indonesia, BPUPKI yang dipimpin oleh Soekarno menandatangani Piagam Jakarta dengan bunyi sila pertama, “Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya.” Penandatanganan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 itu pada akhirnya diubah secara resmi tanggal 18 Agustus 1945 dengan isi, “Ketuhanan yang Maha Esa.”
Hal ini terjadi setelah Bung Hatta mendengar ragam penolakan dari umat non – muslim atas substansi sila pertama dalam Piagam Jakarta. Meskipun, dalam struktur BPUPKI, A.A Maramis yang beragama Kristen tidak keberatan dengan sila tersebut. Penolakan dari akar rumput itu, menimbulkan perdebatan pada sore hari setelah ‘teriakan’ proklamasi kemerdekaan Indonesia mendengung di Jakarta dan tersebar ke seluruh wilayah Indonesia.
Bung Hatta, menyadari bahwa penolakan itu tidak hanya menimbulkan perdebatan. Akan tetapi berpotensi menimbulkan perpecahan bangsa yang baru merdeka. Sebab, masyarakat yang menolak itu, lebih suka merdeka sendiri jika sila pertama dalam Piagam Jakarta tetap menjadi dasar dalam kehidupan bernegara.
Begitulah sekilas kisah yang tentu saja sudah pernah kita ketahui dan pelajari bersama – sama. Baik itu dalam mata pelajaran IPS, Sejarah, PPKn, dan atau dari buku – buku lainnya. Sebagaimana fitrahnya sebuah kisah, tentu ia harus dijadikan sebagai ‘ibrah dalam melihat masa kini dan masa depan. Dan sepertinya, kisah ini dapat kita renungkan dalam melihat gejolak yang hari ini terjadi di dalam tubuh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (selanjutnya ditulis IMM).
IMM dan Geliat Ijtihad Politik
Fenomena pengantaran demisioner DPP IMM (AMY dan BA) ke kantor PSI oleh jajaran DPP IMM yang dikomandoi Ketua Umum (RBD) pada Kamis (13/6/2024) menuai banyak kritik. Hidangan kritik yang diterima oleh DPP IMM beraneka ragam, mulai dari pernyataan sikap, ajakan debat, diskusi penolakan, dan berbagai tulisan. Hingga yang menarik dan membuat saya nimbrung menanggapi fenomena ini adalah persoalan Ijtihad Politik IMM yang dimulai oleh Kabid Hikmah (AAH) lewat opininya di geotimes.
Ijtihad Politik, dalam versi yang ditulis oleh AAH, memanifestasikan kemungkinan baru bagi IMM dalam menerjemahkan Ijtihad Politik yang telah dibangun oleh Muhammadiyah. AAH sebagai elit IMM ditingkat DPP, tentu mengurai Ijtihad Politiknya berdasarkan iklim dan hawa politik nasional yang dia temui disana. Tentu saja, upaya AAH dalam mengurai Ijtihad Politik IMM perlu kita apresiasi, khususnya dalam upaya pendiasporaan kader yang memiliki kualitas dan kapasitas intelektual untuk masuk dalam gelanggang politik. Kendatipun, di sisi yang bersamaan AAH seolah mendekonstruksi kehadiran public figure/artis (MW) yang menggunakan hak politiknya dalam kehidupan bernegara.
Sedangkan di kutub yang berseberangan, para kader menginterupsi Ijtihad Politik IMM (DPP). Setidaknya, kutub yang berseberangan memiliki tiga poin penolakan. Pertama, IMM telah keluar dari khittah politik yang telah dibangun oleh Muhammadiyah. Kedua, IMM sebagai organisasi mahasiswa yang mendaku intelektual seharusnya menjaga jarak dengan politik. Ketiga, terjadinya pelanggaran etik dalam tubuh IMM dan seolah mengakali keputusan Tanwir ke – 31 di Banjarmasin.
***
Perangai DPP IMM ini telah berhasil menarik atensi publik untuk memperbincangkan agenda politik IMM secara nasional. Selama ini, agenda – agenda politik IMM yang dibahas dalam keputusan – keputusan nasional mungkin tidak menjadi konsumsi publik. Kita juga sudah sering melihat pimpinan IMM di berbagai level dan daerah menjalin hubungan politik. Entah itu lewat deklarasi dukungan, memenangkan politisi dalam kontestasi politik, dan lain sebagainya. Akan tetapi, pengalaman sebelumnya hanya lewat begitu saja dan tidak ada proses pendulangan yang serius.
Fenomena ini berhasil mendorong para kader untuk menafsirkan Ijtihad Politik IMM terbaik versi mereka. Geliat Ijtihad Politik IMM, memperbincangkan bagaimana hubungan yang harus dibangun oleh IMM sebagai organisasi mahasiswa dengan agenda – agenda politik kebangsaan. Geliat Ijtihad Politik IMM, telah larut dalam perdebatan yang apik, sengit, dan juga menggelitik.
Mendulang Ijtihad Politik IMM
Menang jadi arang, kalah jadi abu. Begitulah kira – kira ungkapan yang paling pas untuk menggambarkan fenomena yang terjadi dalam tubuh IMM jika tidak ada pendulangan terhadap diskursus Ijtihad Politik IMM ini. Hingga sampai yang saat ini, Ijtihad Politik IMM menjadi diskursus yang menarik. Tentang bagaimana hubungan yang seharusnya dibangun oleh para intelektual di tubuh IMM dengan agenda – agenda politik. Oleh karena itu, agar perdebatan ini tidak menjadi sia – sia, setidaknya para kader harus bekerja sama untuk melakukan pendulangan terhadap Ijtihad Politik IMM ini.
Setidaknya, pendulangan Ijtihad Politik IMM harus dilakukan dengan dengan menyadari tiga hal ini. Pertama, sebagai eksponen Muhammadiyah di kalangan mahasiswa, tentu IMM harus tetap berada di titik koridor organisasi yang telah mengatur etika berpolitik warga dan organisasi otonomnya. Etika politik Muhammadiyah itu, setidaknya berada dalam dua garis yang sejajar, yaitu high politic dan independensi. Kedua garis ini ibarat rel kereta api yang tidak bisa ditanggalkan satu sama lain. Keduanya harus berada di jalur dan koridor yang tepat untuk mengantarkan kereta ke stasiun yang dituju dengan lancar. Inilah yang mesti menjadi pegangan dan rumusan dalam menentukan Ijtihad Politik IMM. Tentang bagaimana bentuk high politic dan independensi IMM inilah yang perlu didiskusikan lewat kepala dingin dalam merumuskan Ijtihad Politik IMM.
Kedua, membangun paradigma politik. Sebelum masuk lebih jauh dalam Ijtihad Politik IMM, rasanya para kader IMM perlu mendudukkan paradigma politiknya. Khususnya dalam menentukan hubungan seperti apa yang akan di bangun oleh IMM sebagai organisasi mahasiswa yang lekat dengan makna intelektual itu. Apakah hubungan yang bersifat diametral dengan menjaga jarak dari politik untuk menjaga kewarasan intelektual atau jalinan hubungan yang mutualistik dalam kerangka mencapai perubahan sosial. Saya kira, para kader progresif IMM pasti memiliki banyak rujukan bacaan untuk dielaborasikan dalam menentukan paradigma politik ini sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lapangan yang akan dihadapi.
Ketiga, memaknai Ijtihad secara adil. Sebagaimana yang kita ketahui, Ijtihad tentu harus dibarengi dengan sikap keterbukaan dan keadilan sejak dalam pikiran. Berijtihad, jika dilakukan dengan watak truth claim, mendekonstruksi pandangan orang lain, dan bahkan sampai mencela adalah sebuah kesia – siaan. Si A menganggap dirinya paling benar dan si B menganggap bahwa si A sembrono, tentu hanya menimbulkan perdebatan yang penuh kebathilan. Tentunya, sebagai akademisi Islam yang didepak dengan akhlak mulia, kader IMM mampu lahir sebagai Cendekiawan Islam yang berpribadi. Bukan lahir sebagai intelektual yang banal, nir – etika, dan keras kepala.
Mendulang itu Adalah Sebuah Proses
Layaknya mendulang emas, mendulang Ijtihad Politik IMM tentu adalah sebuah proses yang panjang. Proses pendulangan tentu harus dilaksanakan dengan penuh kesabaran, tidak buru – buru mengambil keputusan (claim), teliti dalam membedakan pasir biasa dengan logam emas, dan penuh keyakinan terhadap kemungkinan – kemungkinan baru yang akan diperoleh dari hasil dulangan. Tujuannya tetap satu, yaitu mencari emas.
Agar perdebatan soal Ijtihad Politik IMM tidak larut begitu saja, proses pendulangan tentu harus dilakukan. Hal ini adalah kesempatan bagi IMM untuk menemukan emasnya sendiri dalam konteks Ijtihad Politik. Sebagai sebuah proses, tentu mendulang Ijtihad Politik IMM harus dilakukan secara terstruktur dari tingkat bawah sampai tingkat atas. Apalagi IMM adalah organisasi perkaderan yang memungkinkannya untuk menghasilkan emas dengan kualitas tinggi lewat agenda – agenda kaderisasi.
Akan tetapi, sekali lagi pendulangan Ijtihad Politik IMM hanya akan sia – sia jika tidak adanya common sense (DPP IMM dan akar rumput) untuk membuka ruang ijtihad yang adil. Ruang Ijtihad yang adil itu tentu harus berpijak pada prinsip organisasi, keterbukaan pikiran, keluwesan sikap, dan kelapangan dada untuk menerima kemungkinan baru yang dihasilkan dari proses ijtihad itu nanti. Sampai pada akhirnya, seluruh komponen dalam tubuh IMM, memastikan bahwasanya mereka benar – benar menemukan emas yang mereka cari secara bersama – sama.
Barangkali, itu pulalah yang dilakukan oleh Bung Hatta ketika mendengar penolakan atas Piagam Jakarta sebagaimana kisah pembuka di atas. Bung Hatta telah berhasil mendulang perdebatan dan penolakan menjadi Pancasila yang hari ini dapat diterima oleh segenap warga negara Indonesia secara rasional dan objektif. Hal ini, tentu tidak bisa terjadi jika tidak adanya dialog, sifat terbuka terhadap kritik, dan solidaritas bersama untuk menjaga kemerdekaan Indonesia.
Dan bukankah, Allah SWT juga telah memberi banyak kisah tentang perdebatan yang produktif di dalam al – qur’an untuk kita jadikan pelajaran dan banyak juga hadist nabi yang melarang debat, jika itu hanya berakhir dengan penuh celaan?