MADRASAHDIGITAL.CO,-Oleh: Hizbah Muhammad Abrar (Ketua Umum PK IMM FAI UMY)
September, sampai pada hari ini kita bisa membuat list nama tambahan untuk bulan september. September kelam, september hitam, september kelabu, dan september-september lainnya.
Beragam aksi digelar di segala penjuru daerah dengan setumpuk tuntutan untuk dituntaskan.
Hak asasi manusia yang menjadi tuntutan paling terbesar seperti; pembunuhan para aktivis, pembungkaman, penghilangan orang, bahkan dalam kurun waktu dua tahun terakhir pengesahan RUU yang jelas membuka peluang para penguasa untuk berlaku sewenang-wenang.
Begitu pula dipenghujung bulan, tepat pada hari ini, sejarah telah mencatat kebengisan tragedi G30SPKI beserta pembantaian pasca tragedi tersebut.
Pro-Kontra Peringatan G30SPKI
Menyikapi peringatan 30 September, belakangan ini selalu terjadi selisih pandangan yang masing-masing memiliki landasan.
Pro-kontra terhadap PKI dan kerabat serta simpatisannya. Di satu pihak, ada yang merasa bahwa pembantaian enam jendral dan satu perwira dalam semalam serta runtutan pembantaian lainnya pada elemen berikut tokoh masyarakat di berbagai daerah merupakan tindakan yang tidak manusiawi.
Di sisi yang lain, terdapat pihak yang merasa bahwa pasca tragedi tersebut terjadi genosida yang sampai hari ini dalangnya belum kunjung terusut.
Beberapa bukti menyatakan lima ratus ribu sampai satu juta jiwa meregang nyawa, mereka adalah orang-orang yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI.
Komnas HAM mencatat terdapat sekitar tiga puluh ribu orang telah hilang, selain itu beberapa riset menyatakan bahkan sampai dua juta orang sebagagaimana melansir dari rilis KontraS.
Mengenang dan Mentafakkuri G30SPKI dengan Kaffah
Tepat beberapa tahun lalu, ketika penulis masih mengenyam pendidikan di Pondok Modern Daarussalaam Gontor, tragedi G30SPKI selalu diperingati tragedi keji yang meninggalkan luka dalam di masa silam.
Karena pada saat itu, Kiai dan Santri bertaruh nyawa untuk secepatnya mengungsi meninggalkan pesantren dari gempuran pasukan PKI.
Kejadian ini terjadi pada September tahun 1948. Oleh karenanya, kami sebagai santri ‘diingatkan’ untuk selalu waspada dan mawas terhadap kejadian tersebut.
Penulis merasa, perasaan inilah yang juga dirasakan bagi mereka yang pro terhadap pemberangusan PKI dan anti pada semua yang memiliki keterkaitan dengan PKI.
Akan tetapi, kita perlu kembali mengurai apakah peringatan ini hanya untuk merawat benci? Atau upaya untu selalu beristiqomah menegakkan kebenaran.
Dalam hal ini, penulis sangat menolak semua pandangan yang muaranya hanya pada kebencian.
Kita perlu mengakui, pembantaian pasukan PKI yang dilakukannya merupakan kesalahan dan dosa pada kemanusiaan.
Begitu pula tragedi pasca G30SPKI, pembantaian ’65 pada mereka yang ‘dituduh’ anggota dan simpatisan PKI ialah hutang kemanusiaan yang harus segera ditunaikan di hadapan meja peradilan.
Akhir kata, Agar tidak salah kaprah, kita perlu membedakan antara komun-ist, komun-isme, dan PKI.
PKI melakukan pembantaian, itu benar. Adanya hutang kemanusiaan yang belum tunai pada pembantaian pasca ’65, itu benar.Belum adanya keterangan di meja pengadilan dari permasalahan tersebut juga benar.
Akan tetapi dilarangnya untuk mempelajari paham komunisme, itu salah. Bagaimana kita mau menjadi benar, jika mempelajari yang salah selalu menjadi masalah.
Mempelajari dan memahami komunisme tidak lantaran menjadikan kita sebagai PKI. Justru sebaliknya, ia adalah sarana agar kita tidak salah dalam mengambil sikap dan tidak keliru dalam bertindak
Berdiam diri tanpa melakukan apa-apa, itu kufur nikmat.
Redaktur: Amin Azis