MADRASAHDIGITAL.CO – Oleh: Atief Arezal Fatah
Tidak ada satu pun manusia yang menyukai kekerasan, dialog kita sebagai seorang manusia tidak akan pernah menyukai pembicaraan yang bersifat sadis atau bernada negative. Ada hal yang unik ketika bicara manusia, bahwa disamping mereka adalah makhluk dengan kecerdasan melebihi makhluk hidup lainnya, tetapi mereka adalah makhluk rasional sekaligus irasional. Mereka dapat bertindak berlainan dengan apa yang diyakini, dan kerapkali melakukan hal – hal yang berlawanan dengan moralitas mereka sebagai manusia demi suatu tujuan.
Jika dapat dipinjam suatu pengandaian, bahwa meyakini membunuh adalah melanggar etika dan moralitas sebagai seorang manusia, akan berlawanan ketika terjadi peperangan yang melakukan bunuh – membunuh demi alasan untuk bertahan hidup atau menghindari ancaman sebaliknya. Meyakini kebebasan adalah nilai dasar seorang manusia, akan berlainan ketika menjadi seorang politikus yang tidak menyukai sama sekali kebebasan. Meyakini seorang diktaktor adalah ancaman bagi hajat hidup banyak orang, akan berlainan ketika menjadi seorang pemimpin diktaktor yang menolak adanya perbedaan demi kesamaan cara serta hajat hidup untuk sebuah keselarasan.
Thomas Hobbes merupakan satu dari sekian ilmuwan politik yang bisa diyakini, adalah jenius yang dapat mendeskripsikan manusia dengan jelas dan lugas. Mengesampingkan hal – hal yang bersifat metafisik seperti akal budi, prinsip, ataupun emosi, lalu memurnikan hipotesa tentang manusia sebagai makhluk yang impulsif terhadap dorongan – dorongan irasional. Hanya dengan itu, kita dapat memahami cara kerja manusia selayaknya mekanisme jarum jam yang berputar dibalik rangkaian mesin, rantai, roda gigi dan beban. Ia meyakini melalui beragam riset berbasis alamiah, pendekatan teologis dan determinisme perilaku, ada 2 hal yang menyimpulkan beragam tindakan manusia: takut terhadap maut dan mempertahankan eksistensi.
Alam fikiran seorang Hobbes berkesimpulan bahwa selalu ada sebab dibalik akibat, maka akan selalu ada reaksi dibalik aksi. Kenyataan politis tersebutlah yang menyebabkan kesimpulan sederhana tersebut, dilayangkan Hobbes untuk menterjemahkan perilaku absolut seorang manusia. Tidak ada perasaan, tidak ada angan – angan, semua adalah soal mengancam atau diancam, menang atau kalah, memangsa atau dimangsa.
Dalam konteks demikian, setidaknya ungkapan seorang sastrawan Romawi Kuno, Titus Maccius Plautus (254-184 SM) Melukiskan manusia dalam ungkapan “Lupus Est Homo Homini, Non Homo, Quom Qualis Sit Non Novit”. Manusia bukanlah manusia, tetapi serigala bagi orang lain. Demikianlah seorang Plautus mengkritik keras eksistensi manusia yang gemar mengancam sesama, meregang ribuan nyawa dan memicu luka demi dorongan irasionalitas tersebut.
Budaya Kekerasan dan Kemegahan Peradaban
Orang yang berada dimasa lampau, barangkali tak dapat sekalipun menduga perkembangan umat manusia yang melintas begitu jauh. Sampai sekarang pun, mereka yang telah hidup melintasi waktu dan transisi abad ke abad, barangkali tidak akan menduga kemajuan ilmu, teknologi, dan peradaban telah mengubah wajah manusia untuk selamanya. Manusia abad – 21 dapat saja melakukan klaim tentang kemegahan peradaban dimasa kini, terang perkembangan global mencapai intensionalitas yang begitu tinggi, yang kita biasa sebut dengan era disruptif. Singkatnya, perkembangan memang selalu menuai kemajuan, tidak ada ruang bagi masa lampau kecuali sebagai suatu cerita monolog.
Buku teks sejarah selalu menceritakan, tanpa ada Jalan Raya Anyer – Panarukan, mustahil kita atau Daendels mengetahui Pulau Jawa Sepenuhnya dengan pengorbanan para tenaga kerja rodi. Tidak akan ada Candi – Candi besar tanpa pengorbanan tenaga dan nyawa yang ditimbul dari para rakyat jelata demi kemegahan istana serta warisannya. Dibalik kemegahan tersebut, ada nyawa dan kekerasan yang menjadi tuas utama dalam membentuk realitas tersebut. Peristiwa sejarah demikian, menancapkan budaya tersebut yang hingga sampai saat ini kental terpelihara oleh sesama anak bangsa.
Kita mengagumi, menyembah dan mengagungkan peradaban dan kemajuan, sambil memelihara dengan baik pertikaian, dengki, iri serta khianat demi melanggengkan kenikmatan yang tiada tara sebagai penikmat panggung politik. Egoisme – feodalistik menjadi jalan singkat memelihara kemapanan. Mempertahankan suatu ideologi, tak ubahnya sama dengan menyatakan perang untuk menjaga originalitas konsepsi tersebut. Tinggal kita pilih, mau atas nama pribadi, agama, ras atau libido politik ?. tidak berlebihan beranggapan, bahwa larinya manusia modern dari idealitas moral serta nilai – nilai luhur, adalah gambaran peradaban modern yang memojokkan kemanusiaan ke sudut panggung teatrikal peradaban hari ini.
Uniknya, rasa hambar kemanusiaan tersebut bukan tidak kita rasakan dalam kehidupan kita, entah sebagai seorang pekerja bangunan, pembaca berita, pemimpin perusahaan atau orang biasa. Kata – kata moral itu malang melintang disetiap ucapan, seakan itu adalah upacara wajib bagi setiap insan. Tetapi, rasa – rasanya kata adalah tetap suatu kata, bila tanpa perwujudan, ataupun komitmen. Itu barangkali bingkai klise peradaban modern yang coba digambarkan Horkheimer atau Adorno, bahwa kenyataan dunia modern yang begitu berbanding terbalik dengan para manusia – manusia didalamnya yang berbuat sebaliknya.
Merasakan kemunduran peradaban memang bukan perkara semudah merasakan adanya pengakuan kesalahan ataupun seperti sesulit membuat rumus kimia. Kesimpulan itu, hanya dapat ditarik dengan melacak serta menganalisis budaya yang hidup tumbuh subur pada manusia modern. Yuval Noah Harari pernah berujar ketika berbicara empat mata dengan CEO dari Facebook Mark Zuckerberg, menggambarkan suatu situasi dengan ungkapan : are the modern civilization were connecting people or harmonizing people ? Whether it’s connecting them or fragmenting society (Apakah peradaban modern, menghubungkan setiap manusia atau mengharmoniskan setiap manusia? Entah itu menghubungkan mereka atau memecah belah masyarakat).
Ada perbedaan besar di dalam 2 hal tersebut jika diasumsikan sebagai tujuan peradaban modern, menghubungkan artinya kita terbuka dan terhubung dalam setiap gaya komunikasi, yang mana dunia modern hari ini menggambarkan apa itu connecting the world didalam piranti teknologi, informasi serta aksesibilitas global. Berbeda dengan mengharmoniskan, didalamnya komitmen untuk hidup bersama, berhubungan serta cinta – kasih sayang menjadi dasar didalam apapun, sharing is caring bisa saja jadi ungkapannya.
Menjadi suatu refleksi terhadap diri sendiri atau pembaca, apakah ini cita – cita peradaban masa depan yang serba dystopia ?. jika memang benar demikian, maka masa depan tidaklah lebih daripada neraka mangsa – memangsa manusia untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Maka kemudian, dalam konteks tersebut, kiamat sebagaimana diceritakan banyak agama – agama samawi sebagai hukuman terhadap dosa manusia di muka bumi bukan suatu isapan jempol. Akhir dari garis kehidupan telah ditentukan bukan karena dunia yang akan berakhir, tetapi ulah tangan manusia itu sendiri.
Kembali ke Autentisitas Kehidupan
Jika kita berfikir dalam kerangka Start – Finish, maka Finish dari kehidupan adalah kematian. Tidak ada jalan lain, tidak ada pilihan lain. Maka dalam kerangka berfikir demikian, seseorang dikenang melalui tindakan dan perbuatan, waktu akan mencatat sebagai sejarah. Maka, ajakan untuk hidup sederhana, kurang dan lebihnya adalah pilihan yang bijak. Sering kali kita bertanya kenapa kapitalisme selalu dijadikan momok mengerikan bagi umat manusia terhadap umat manusia yang tertindas, tetapi kita tak pernah memikirkan darimana kapitalisme itu datang sebagai ideologi bila tidak lahir dari keserakahan manusia.
Kekerasan sangatlah erat terhadap tindakan maupun sifat alamiah manusia, hewan pun mungkin saja bertindak sama ketika diancam sesamanya. Tetapi hal tersebut, hanyalah mungkin terjadi ketika adanya rasa berlebihan untuk menguasai atau dikuasai. Jika kita berani merehatkan fikiran kita dan mengevaluasi secara singkat, pilihan hidup sederhana bukanlah berlebihan.
Kita dapat hidup rukun, bahagia serta berkecukupan bilamana mau hidup sederhana. Kematian adalah lonceng akhir dari kehidupan, tentu kita ingin dikenang dengan baik, tidak heran manusia sangat erat dengan harta, tahta serta kuasa. Tetapi berani hidup yang sederhana namun menuai manfaat, itu kehidupan yang mahal dan jarang dilirik manusia modern, di tengah – tengah himpitan kultur kebudayaan serba konsumtif.