MADRASAHDIGITAL.CO – Tokoh inspiratif yang selalu diidolakan seperti sekarang karena kesadarannya akan pentingnya pendidikan. Siapakah dia? Dia adalah Andrea Hirata, seorang penulis yang menciptakan tetralogi Laskar Pelangi.
Novel Laskar Pelangi hanya memakan waktu pengerjaan sekitar 6 bulan. Bukunya itu merujuk pada pengalaman masa kecilnya selama di Belitung Timur. Ia kemudian menggambarkannya sebagai “sebuah ironi tentang kurangnya akses pendidikan bagi anak-anak di salah satu pulau terkaya di dunia”.
Novel Laskar Pelangi merupakan novel pertama dari tetralogi Laskar Pelangi (Sang Pemimipi, Edensor, Maryamah Karpov) yang menjadi buku sastra Indonesia terlaris sepanjang sejarah. Tak heran, buku ini berhasil menggambarkan dengan kocak sekaligus mengharukan oleh Andrea Hirata. Yang jelas, ia dapat membukakan realita pendidikan formal di Indonesia yang nyatanya masih sangat terbatas dan ada perbedaan kelas di dalamnya.
Misalnya tentang biaya sekolah sekarang makin mahal dan menjadi halangan terbesar untuk bisa mengenyam bangku sekolah. Akan tetapi jika semangat untuk belajar tak pernah padam, bukan tidak mungkin jika kita berprestasi lebiuh baik daripada orang-orang yang mendapatkan fasilitas berlimpah. Keterbatasan bukanlah alasan untuk berhenti bermimpi dan berjuang. Inilah pesan yang terkandung dalam novel ini.
Jika memang ada yg belum membaca buku ini pastilah semua orang pernah melihat film pada masa kanak-kanak dulu. Film Laskar Pelangi menjadi film paling laris di Indonesia pada 2008. Film ini tercatat telah ditonton lebih dari 4,6 juta orang semasa tayang di layar perak. Karya Andrea Hirata menjadi inspirasi bagi banyak orang. Berbagai adaptasi turut dibuat seiring kesukesannya. Original soundtrack dengan judul yang sama dibuat oleh Nidji untuk mengiringi filmnya. Sebuah serial televisi dan drama musikal dibuat pada 2011 dengan dasar cerita dari novel Andrea Hirata ini.
Realita ini yang diangkat oleh salah satu karya sastra terlaris karya Andrea Hirata ini mencoba menggambarkan keadaannya yang serba terbatas saat mengenyam bangku Sekolah Dasar dan SMP di kampungnya, Gantong, Belitung. Cerita dalam novel roman ini dimulai ketika seorang anak, sang tokoh utama, bernama Ikal yang berada dalam sebuah sekolah Muhammadiyah yang akan dibubarkan jika muridnya tidak sampai 10 orang.
Si Ikal ini akhirnya dapat masuk ke sekolah ini dan bertemu dengan teman-teman barunya–minimum kuota sekolah 10 orang–yang mempunyai berbagai karakter yang menarik. Teman satu angkatan si Ikal ini adalah Lintang, Mahar, A-Kiong, Syahdan, Kucai, Sahara, Borek, Trapani, dan Harun. Selain itu, mereka juga bertemu dengan sang kepala sekolah yang bijak, Pak Harfan dan juga Ibu Muslimah, guru terbaik mereka yang patut dijadikan contoh bagi guru-guru era sekarang.
Menurutku sangatlah bagus ketika sebuah novel yang mempunyai nilai moral tentang pendidikan laris di pasaran. Sebab, kaum milenial lebih gemar membaca novel dibanding dengan karya ilmiah, buku penelitian, dan lain-lainnya. Dengan kemasan seperti ini dapat memberikan edukasi yang sangat menarik bagi orang-orang yang malas membaca buku buku berat prihal pendidikan. Yang biasanya novel menyajikan kisah kisah cinta masa remaja yang berakhir bahagia dengan adanya laskar pelangi semuanya terasa berbeda. Bahwa kehidupan itu tidak bertitik fokus pada diri kita sendiri. Banyak kawan-kawan atau bahkan adik-adik kita diluar sana yang sedang berjuang untuk mengenyam bangku sekolah, ketika kita sibuk dengan aktivitas hedon yang biasa terjadi di kota.
Jika kita berbicara pendidikan diindonesia novel ini menjadi saksi atas semua yang terjadi. Atas realita yang tidak sebanding dengan janji-janji manis para pemimpin negri. Namun, negeri ini tidak bisa dibandingkan dengan negara yang pendidikan nya sudah maju seperti Finland, tak sebanding ketika kita menyamakan antara kedua negara ini. Dalam ukuran taraf rakyat nya saja sudah sangat jauh, tak bisa dipungkiri memang sangat sulit untuk mengetahui setiap pendidikan anak anak diindonesia dengan jumlah rakyat yang sangat banyak sekali.
Dengan kehadiran cerita seperti ini semoga dapat mengetuk hati para pengamat pendidikan untuk lebih serius dan menyuluruh dalam memberikan askses serta fasilitas yang memadai dalam proses belajar mengajar pun ketika kita berbicara tentang seorang guru. Pastilah para mahasiswa fakultas ilmu pendidikan sudah sangat hafal dengan semua mata kuliah etika dan profesi pendidikan bahkan lebih mendalam dengan adanya kegiatan magang di tiap jenjang semester.
Sudah di luar kepala ketika berbicara prihal guru yang baik adalah lulusan S1 dan sudah mengikuti berbagai pelatihan-pelatihan penunjang lainnya, bahwa itu yang dinamakan guru profesional. Lantas bagaimana ketika dihadapkan dengan realita seperti cerita pada novel Laskar Pelangi? Bahkan beberapa tenaga kependidikan sangat malas ketika ditempatkan ditempat pelosok dan terpencil, mereka sibuk dengan urusan pelatihan-pelatihan yang tiada hentinya lalu mendaptar menjadi seorang PNS agar tiap bulan gaji dari pemerintah selalu mengalir.
Laskar Pelangi menegaskan bahwa pendidikan adalah tindakan memberikan hati kepada anak-anak. Bukan sekadar memberikan instruksi atau komando karena setiap anak memiliki potensi unggul yang akan tumbuh menjadi prestasi cemerlang pada masa depan apabila diberi kesempatan dan keteladanan. Selain itu, Laskar Pelangi membuktikan bahwa kemiskinan tidak selalu memiliki korelasi dengan kebodohan atau kegeniusan. Semua orang berhak mempunyai mimpi tidak terpaku pada apa pun yang melekat pada dirinya. “Sesuatu yang dilakukan oleh hati, akan sampai kehati.”