Oleh: Dani Yanuar Eka Putra, S.E, A.k*
Permasalahan Kukusan
Sulitnya mencari sumber yang pasti tentang sejarah dan profil kukusan menunjukkan bahwa belum ada sejarawan atau sosiolog yang serius menulis dan meneliti tentang Kukusan. Disebabkan hal tersebut, dengan segala keterbatasan, penulis mencoba memperkenalkan Kukusan. Kukusan adalah nama suatu kampung yang terletak berdampingan dengan kampus Universitas Indonesia (UI) Depok. Beberapa sumber menyebutkan bahwa orang asli Kukusan berasal dari Mataram Islam, lainnya menyebut sebagai imigran dari Banten.
Kukusan adalah kampung yang termasuk bagian dari wilayah Depok. Kukusan lebih dekat dengan ibu kota Jakarta, dibandingkan dengan Bandung sebagai kota Provinsi Jawa Barat. Kukusan berada sebelum Jakarta Selatan jika perjalanan berasal dari Bogor. Kukusan memiliki jumlah penduduk 13.286 jiwa (Kemendagri: 2017). Nampaknya jumlah antara penduduk asli dan pendatang berjumlah sama. Bahkan boleh jadi lebih banyak masyarakat urban.
Penulis yang juga sebagai bocah asli Kukusan merasa bahwa Kukusan mengalami perkembangan dan perubahan yang begitu pesat sejak 10-15 tahun terakhir. Mungkin ini akibat bonus demografi atau daya tarik kapitalisasi pemukiman dan komersialisasi pendidikan.
Menarik mundur 10-15 tahun ke belakang penulis merasa Kukusan adalah kampung beridentitas hijau, nyaman, guyub, teduh, dan nyaman. Ya mungkin kalau ditarik lagi 10-20 tahun ke belakang pasti jauh lebih sejuk dan teduh. Namun saat ini semua berubah. Beton-beton, cakar ayam, rumah bertingkat, kos-kosan, kondominium, apartemen, kluster-kluster, minimarket, dan middle market telah merubah wajah Kukusan. Semua sepertinya dibangun begitu saja tanpa perencanaan yang jelas dalam pembagian wilayah dengan tempat bermain, zona hijau, lahan penyerapan, dan tempat-tempat lain untuk masa depan warga dan lingkungan.
Penulis merasa bahwa saat ini Kukusan mengalami Gentrifikasi. Gentrifikasi merupakan sebuah proses sosial ekonomi di dalam suatu kawasan, dimana masyarakat yang berasal dari golongan dengan latar belakang ekonomi yang lebih tinggi masuk ke kawasan tersebut (Moore: 2015). Hal tersebut terlihat dengan keberadaan properti mewah di Kukusan seperti apartemen, kondominium, perumahan elit, kos-kosan atau kontrakan elit, dan pusat-pusat perbelanjaan. Jika diukur dengan UMR Depok tahun 2021 yaitu 4,3 juta lebih sedikit, sulit rasanya bisa menikmati atau memiliki properti tersebut. Bahkan faktanya banyak warga asli Kukusan yang penghasilannya jauh di bawah UMR.
Selain itu, saat ini Kukusan sudah mulai terlihat ada sosok-sosok atau individu-individu yang dominan dalam memiliki aset melampaui jumlah aset yang dimiliki masyarakat pada umumnya. Seperti memiliki aset fisik tanah dan bangunan dalam jumlah sedemikian luas. Dalam konteks yang sama ada juga yang memiliki kos-kosan sedemikian mewah dan megah, namun pemiliknya tak dikenal dan entah berasal darimana.
Kesejahteraan harus terdistribusi ke semua masyarakat. Tidak boleh ada yang dominan berlebihan. Masyarakat yang relatif sama akan menjadikan hidup harmonis. Suatu wilayah yang baik ditandai dengan rendahnya ketimpangan antara yang miskin dan kaya. Jika ketimpangan bagaikan jurang yang dalam, maka akan melahirkan kecemburuan sosial. Kecemburuan yang tajam jika tak dipandu oleh agama akan melahirkan kriminalitas.
Belum lagi persoalan pendidikan dan kebudayaan. Jika diukur dengan pertanyaan berapakah Jumlah warga asli Kukusan yang mampu menuntaskan pendidikan di perguruan tinggi?berapa yang strata dua?berapa yang strata tiga? Dekatnya kampus terbaik Indonesia Universitas Indonesia (UI), harusnya mampu meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat Kukusan.
Jika terkait persoalan kebudayaan, entah berapa banyak budaya lokal Kukusan yang telah hilang akibat perubahan-perubahan yang terjadi. Kearifan, keakraban, dan solidaritas sebagai basis filosofis budaya mulai terkikis sedikit demi sedikit. Yang mengkhawatirkan sebenarnya tentang apa yang terjadi pada generasi mendatang. Butuh energi yang tidak sedikit untuk kembali membangkitkan budaya-budaya Kukusan.
Kukusan Menyambut Hari Esok
Perubahan Kukusan yang begitu cepat dan drastis di atas menyebabkan perubahan cara pandang, lingkungan, budaya, dan keberagaman. Untuk itu, dibutuhkan langkah-langkah strategis dan terukur untuk merespon dan menanggulangi persoalan-persoalan dari dampak perubahan tersebut. Penulis mencoba merumuskan kerangka solusi atas persoalan tersebut.
Pertama, pembangunan manusia atau human development to be human resources. Pembangunan kapasitas fikiran dalam optimalisasi potensi manusia sebagai makhluk paling sempurna menjadi sangat penting. Dalam konteks agama, pembeda manusia dengan hewan ada pada akalnya. Namun lebih dari itu ada hal yang lebih penting dan lebih tinggi posisinya dari akal menurut Wael. B. Khallaq.
Menurut dia, akhlak memiliki posisi yang lebih tinggi dari akal. Wael menegaskan bahwa manusia disebut manusia karena akhlaknya. Dari sudut pandang agama, makhluk berakal jika tidak berakhlak, derajatnya akan jatuh sama dengan hewan melata atau ternak. Bahkan ada yang derajatnya lebih rendah dari itu. Akhlak secara terminologi berasal dari Islam, dalam terminologi sosiologi disebut moralitas, dan dalam terminologi ilmu filsafat disebut dengan etika.
Semakin tinggi ilmu, maka semakin tinggi peluang untuk suksesi sebagai pemimpin bagi semua makhluk. Suksesi sebagai Khalifah harus didasari pada norma agama dan ilmu pengetahuan. Serakah akan ilmu, dermawan akan materi, dan berjiwa filantropi. Itulah mengapa ayat pertama yang turun adalah perintah Iqra. Rasulullah Saw diutus untuk memperbaiki akhlak.
Dalam konteks Kukusan nampaknya pembangunan manusia berbasis moral agama berwawasan luas keilmuan menjadi darurat. Mungkin Kukusan harus banyak melakukan kegiatan bersinergi dengan UI untuk meningkatkan literasi. Atau malah jangan-jangan UI tutup mata dan telinga dengan apa yang terjadi pada Kukusan. Agama dan ilmu menjadi pemandu dan jawaban dalam setiap bidang dan persoalan kehidupan. Termasuk soal ekonomi, politik, dan sosial.
Kedua, kelestarian lingkungan atau environmental sustainabilitiy. Setelah manusia memiliki pengetahuan yang cukup, maka tugas berikutnya adalah mengoptimalkan seluruh potensi alam untuk terjaganya keberlangsungan hidup manusia dan semesta. Jika merujuk pada moral skriptural (kitab suci), sebenarnya semua makhluk Allah memiliki hak yang sama dan termasuk hamba Allah SWT. Jangan dikira eksploitasi berlebihan berlindung di balik kebutuhan tidak berpengaruh terhadap keseimbangan kesemestaan.
Seluruh makhluk yang ada di bumi dan semesta itu saling terkait dan membutuhkan. Mengutip dari Faisal Basri, saat ini sudah saatnya mengintegrasikan antara profit, people, and planet. Keuntungan yang menyejahterakan manusia dan lingkungan akan berdampak pada keharmonisan hubungan antara seluruh makhluk hidup. Keseimbangan akan kehidupan akan berdampak pada kehidupan yang berkelanjutan.
Perhatikan saja lingkungan Kukusan saat ini. Pasti kita merasakan begitu sulitnya mencari keteduhan, kesejukan, dan kenyamanan lingkungan. Bahkan jumlah kuantitas dan kualitas air yang ada di Kukusan mengalami perubahan. Beberapa tahun yang lalu ketika musim panas, tiba-tiba rezeki tukang sumur bor melimpah.
Hal tersebut boleh jadi disebabkan oleh bangunan-bangunan besar dalam bentuk apartemen, kosan, kontrakan, dan pemukiman yang dibangun tidak berpondasikan kelestarian lingkungan. Nampaknya ketika penulis berusia remaja, Kukusan tak mengalami kekeringan meskipun panas yang terjadi cukup panjang. Belum lagi ditambah dengan persoalan perubahan cuaca, banjir di sebagian lokasi, dan seterusnya.
Penting upaya-upaya radikal berkekuatan kolektif untuk mengubah bangunan-bangunan menjadi tempat atau kawasan terbuka hijau, kebon (istilah kukusan kebun pohon melinjo, durian, dll), dan berbagai kawasan penyangga terjaganya lingkungan lainnya. Tidak cukup jawabannya hanya dengan taman Kukusan yang luasnya tidak sampai 1000 meter.hehehe
Ketiga, pelestarian budaya atau cultural preservation. Budaya itu layaknya bunga yang ada pada setiap pohon yang tumbuh. Pohon tumbuh menghadirkan kesejukan, sedangkan bunga memberikan keindahan. Manusia tanpa budaya akan kaku dan kering. Budaya menjadikan manusia luwes dan berhati lembut. Tentu budaya yang dimaksud adalah budaya yang tak bertentangan dengan nilai-nilai dalam agama.
Budaya dibutuhkan untuk mengetahui basis filosofis terhadap suatu perilaku di masyarakat. Jika dikaitkan dengan Kukusan, ada banyak budaya yang sebenarnya bertujuan untuk merekatkan hubungan, menjaga kerukunan, dan menghargai perbedaan yang ada. Misalkan budaya andil/menyembelih kerbau yang dilaksanakan menjelang Idul Fitri. Hal tersebut bernilai dasar gotong royong, tolong menolong, dan keguyuban menyambut hari besar Islam. Masih banyak lagi budaya lain.
Solusi soal budaya adalah dengan terus menerus memperkenalkan budaya-budaya dan kembali mentradisikan dalam momentum kebudayaan atau tradisi Islam, festival, dan muatan di sekolah-sekolah. Anak-anak muda dan orang-orang tua harus selalu bersinergi untuk mengatasi persoalan-persoalan budaya ini.
Keempat, keberagamaan atau religiosity. Seperti yang disebutkan di awal, warga Kukusan asli ada yang menyebutkan berasal dari Mataram Islam. Jika benar demikian, maka identitas Islam sebagai agama, sumber moral, dan sumber budaya adalah pondasi lahirnya kampung Kukusan. Memisahkan agama dari masyarakat adalah kesalahan besar. Mengutip dari Prof. Haedar, bahwa Indonesia sebelum menjadi negara, masyarakatnya adalah masyarakat yang sudah mengenal Tuhan. Meski masih bersifat animisme dan dinamisme.
Sejak awal bangsa Indonesia sudah memegang fitrah ketuhanan dalam bentuk fitrah Maqbulah. Namun fitrah Maqbulah sebagai potensi harus terus terjaga dengan fitrah Munazzalah yang diturunkan oleh Allah melalui Ruh (nama lain Malaikat Jibri) kepada para Nabi-Nya. Layaknya manusia membuat motor, mobil, atau gadget. Dalam penggunaannya, juga disiapkan buku manual penggunaannya. Menggunakan produk-produk tersebut jika tak sesuai dengan buku penggunaan akan mengakibatkan tidak optimal atau bahkan mengalami kerusakan. Demikian halnya dengan manusia. Jika manusia banyak melanggar hal-hal yang dilarang dalam kitab suci, maka bersiaplah kerusakan yang dialami manusia.
Dalam konteks Kukusan, pentingnya kembali menguatkan identitas Kukusan sebagai kampung yang religius. Hal tersebut dibuktikan dengan gerakan dua ormas besar yaitu Muhammadiyah dan NU. Kedua ormas Islam tersebut memiliki kontribusi besar dalam kemajuan Kukusan. Anak-anak muda, harus mulai disisipkan nilai-nilai agama dalam setiap kegiatan. Pengenalan agama yang lebih luwes sesuai dengan dinamika zaman.
Semoga sumbangan pikiran terbatas ini bisa bermanfaat untuk masa depan Kukusan. Semoga bisa menjadi inspirasi dalam setiap ikhtiar. Ikhtiar yang sungguh-sungguh pasti akan membuahkan hasil. Apalagi jika dilakukan secara berjamaah atau kolektif. Namun, hal yang terpenting juga tak lupa untuk dilakukan. Yaitu terus-menerus bermunajat kepada Allah SWT untuk kesejahteraan dan keamanan Kampung Kukusan. Insya Allah…
*Dani Putra bin Naman bin Dahlan bin Sinda, Bocah Asli Kukusan