Muh. Akmal Ahsan*
Kehidupan kita dibeberapa warsa terakhir sering berhadap-hadapan dengan paradoks pemikiran. Wacana dan atau opini yang bertebaran di segudang media hari ini tak lantas menerang-benderangkan ketidaktahuan kita tentang sesuatu. Kali ini, dunia tidak saja tentang kejelasan hitam atau putih, benar atau salah. Ada abu-abu ditengahnya; yakni ketidakjelasan antara hitam atau putih, benar atau salah. Di hari-hari datang, masa depan menawarkan gelombang informasi dan pengetahuan yang menakjubkan sekaligus keresahan. Arogansi informasi dan daulat media perlahan membawa manusia tunduk pada opini massa. Kita sedang merayakan puncang informasi dan pengetahuan manusia, tetapi juga sekaligus menyambut “kiamat” besar kemanusiaan, dan mungkin, pembodohan.
Kuasa Media
Media menjalankan perannya lebih licik. Di jaman ini, siapa pula yang percaya bahwa media itu independen dan objektif?. Sebaliknya, keberadaanya sering adalah ranting dari akar tendensi ekonomi dan politik. Mereka acapkali adalah kaki tangan dari penguasa dan pebisnis. Jadilah kemudian media terjebak dalam oligarki digital; didalamnya adalah persekongkolan para penipu, penyilap, pengecoh.
Siapa yang mengatakan media adalah pilar demokrasi?, bukankah tabiat dari sebagian media sekarang adalah sebagai komentator para pembesar dan juragan belaka. Tak percaya?, silah berwisata di laman-lama media nasional kita, didalamnya yang terlihat adalah iklan, jika bukan siaran program pemerintah, yang menyembul adalah iklan produk para pebisnis. Sementara pikiran dan resah masyarakat tetap terus mengendap di dalam jiwanya, kemelaratannya tak terjamah televisi atau akun selebriti.
Sekali lagi, media kini adalah manifestasi dari kuasa ekonom dan politikus yang langgeng, adalah perselingkungan nista antara negara dan pemodal, pula didukung para intelektual yang tidak berintegritas. Akibatnya, opini publik kini mudah dijinakkan. Discourse dari pejabat publik hingga emak-emak di lorong kota acap dikendalikan oleh kuasa media.
Bagaimana dengan Media Sosial
Sebagian intelektual berpikir bahwa media sosial lebih aman dari cengkeraman negara dan pemodal, sebab didalamnya kita berhak membentuk narasi sendiri. Argumentasi itu layak untuk diragukan. Selalu ada konflik kepentingan di media sosial kita kini. Selebgram dan artis yang menjadi primadona di masyarakat arus bawah, selalu diperalat pejabat dan pebisnis untuk mempromosikan kebijakan dan jualannya. Dan akun media yang punya pengikut nihil, selalu akan kalah
Laku tindakan yang culas pada sebagian ummat manusia selalu dapat dibentuk sedemikian kreatif untuk kemudian mempengaruhi opini massa, melalui media. Maka didalamnya, iklan ditelurkan demi tujuan membentuk ketergantungan dalam pikiran massa, ketergantungan pada sebuah produk, misal.
Lagi pula, media sosial kini belum menampakkan kemenangannya jika dibandingkan dengan media mainstream, semacam televisi. Memang telah tampak hasratnya untuk memukul media televisi. Tetapi, sebetulnya yang terlihat adalah opini yang tayang di media sosial kita acap bersumber dari televisi. Artinya selalu ada pengaruh dari media mainstream kepada media sosial.
Dalam soal politik, di media sosial, tendensi negara dan pejabat tak berhenti melakoni perannya, mereka pula acap bekerja sama dengan konglomerat digital demi melanggengkan oligarki. Kini melalui buzzer beserta fasilitas pendanaan yang berjibun, ia disewa untuk menjinakkan pikiran publik, dan berpihak sepenuh-penuhnya pada negara. Kacaunya, kondisi ini berjalan seirama dengan kondisi masyarakat yang selalu percaya pada berita yang berasal dari individu dengan derajat selebritas dan popularitas yang tinggi. Lebih dari itu, pikiran sebagian masyarakat kita lebih tergoda kepada informasi dan berita yang estetis, ketimbang informasi dan berita yang logis dan etis.
Sekarang ini, yang tampak adalah upaya untuk terus membesarkan “industri humas” pemerintah, yang didalamnya menyelinap upaya negara untuk menjinakkan pikiran masyarakat yang melawan, dan berontak pada kebijakan pejabat. Maka, acapkali yang terjadi adalah pembalikan opini bahwa setiap yang melawan adalah makar, persepsi demikian disambut para buzzer ternakan pejabat, dihamparkan ke publik, lalu masyarakat tetiba terjebak dalam arus opini pemerintah, sehingga masyarakat selalu kalah oleh opini pemerintah.
Nasib Kita
Kita masyarakat, adalah golongan yang terlempar sebagai elemen sosial yang selalu kalah, penindasan dan relasi kuasa tak pernah benar-benar layu. Kita akan selalu menjadi objek dari pertentangan pemodal dan pejabat di pucuk atas. Lebih sering kita menjadi korban “penipuan” opini mereka. Maka pertimbangkan ulang, argumentasi bahwa di jaman ini kita memiliki hak untuk membangun narasi masing-masing.
Ditengah kepungan media yang begini ribut, dalam jiwa masyarakat mereka selalu adalah elemen yang ditinggalkan, kebisingan hanya pemilik pemerintah dan pejabat yang berkuasa atas media, kebisingan yang sebetulnya seringkali lebih banyak mengganggu telinga masyarakat di akar rumput.
Mempertimbangakan Media Alternatif
Kita bersyukur, bahwa dibeberapa tahun terakhir media alternatif mulai menampakkan wajahnya dengan baik. Anak muda yang berasal dari kelompok-kelompok sosial semacam Muhammadiyah dan NU telah dengan baik mengorganisiri dirinya di dunia digital. Pun demikian dengan para aktivis Mahasiswa yang terus berupaya mengubah pola gerakan mereka dengan turut terlibat dalam perang wacana di media sosial.
Media alternatif selalu dibutuhkan demi membentuk counter narasi dari deras penggiringan opini oleh penguasa dan pengusaha. Ini pula demi meretas penyeragaman informasi di tengah percakapan publik digital.
Dalam dari itu, para pegiat media alternatif ini mesti terus menjaga integritasnya untuk menjadi pilar demokrasi yang sebenar-benarnya, objektif dan berpihak pada segala pikiran, secara adil. Suatu ketika, bila godaan dari korporasi dan pemerintah tiba, berdirilah tegap dan tegak, tak mudah digoyah.
Ditengah kompetisi hebat media sekarang ini, mereka sering kali raib ingatannya pada fungsi to educate. Berkebalikan dengan itu, media alternatif kini mesti kuat fundamen ideologisnya, pula terampil kreativitasnya demi mempertahankan idealisme media. Media alternatif adalah alat untuk menjaga spirit literasi digital. Lebih dari itu, didalamnya ada tujuan ideologi, yakni membebsakan masyarakat dari pembodohan hoax, pula memastikan bahwa kemanusiaan tetap terjaga, betapapaun terseok-seok oleh dehumanisasi akibat media.
*Kepala Madrasah Digital Yogyakarta