MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh: A.R. Bahry Al Farizi (Peserta Sekolah AntiKorupsi)
Korupsi mencangkup seluruh penyelewengan keuangan dan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Terpusatnya kekayaan di level pemerintahan pusat atau oleh beberapa kalangan elit memperbesar peluang langgengnya korupsi. Sebab alur perputaran uang yang tidak transparan sekaligus dilindungi oleh otoritas kekuasaan yang dimilikinya.
Kemudian di level menengah, korupsi dilakukan untuk memperbesar kekayaan serta mempertahankan jabatan. Sedangkan di level akar rumput, jenis perbuatan korupsi banyak sekali kita jumpai, baik itu di kelurahan atau kabupaten. Biasanya, korupsi ini dilakukan bukan untuk memperbesar kekayaan melainkan bertujuan untuk bertahan hidup. Bentuknya berupa mempersulit administrasi sehingga munculnya uang pelicin untuk memperlancar urusan administrasi seperti pembuatan SIM atau KTP.
Korupsi sejak dahulu telah menjadi permasalahan akut di berbagai negara. Krisis ekonomi berkepanjangan di Sri Lanka yang memunculkan konflik antara masyarakat dan pemerintah disebabkan oleh korupsi yang begitu luar biasa. Angka ekonomi yang menurun drastis yang diakibatkan oleh korupsi membuat masyarakatnya kesulitan mendapatkan akses kebutuhan sehari-hari. Akhirnya, masyarakat memaksa jajaran pejabat pemerintahan untuk turun dari kursi kekuasaannya.
Terdapat sebuah organisasi non-pemerintah yang berbasis di Jerman bernama Transparency International. Mereka merilis sebuah data pada Januari 2022 mengenai peringkat negara terkorup berdasarkan Corruption Perceptions Index (CPI) dari berbagai belahan dunia. Peringkat pertama diisi oleh Sudan Selatan. Secara otomatis, negara yang saat ini dipimpin oleh Presiden Salva Kiir Mayardit menyandang predikat sebagai negara terkorup di dunia.Disusul oleh Suriah, Somalia, Venezuela dan Yaman.
Melihat data tersebut, empat diantaranya merupakan negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Artinya, perang terhadap korupsi selama ini masih kurang dianggap sebagai bagian dalam ajaran Islam. Ditambah lagi penafsiran terhadap ajaran Islam yang masih terbatas pada kerangka normatif. Hal ini tentu tidak bisa membuahkan solusi di tengah krisis kemanusiaan akibat korupsi. Boleh jadi pemerintahan sudah mengakomodasi ulama untuk bersama-sama mempertahankan kekuasaannya dan perundangan yang belum bisa mengontrol tindakan korupsi.
Reinterpretasi Islam Perspektif Kuntowijoyo
Paradigma Islam Kuntowijoyo dipakai sebagai alat analisis untuk menafsirkan kembali ajaran Islam mengenai konsep normatif, amtsal dan kisah dalam Islam. Dalam konteks korupsi, bagaimana kita bisa memandangnya melalui paradigma Islam?. Sehingga, diperlukan penafsiran kembali terhadap ajaran Islam yang bisa mengobjektifikasi pandangan Islam mengenai korupsi.
Gus Dur pernah menggugat MUI yang hanya sibuk berfatwa mengenai hal yang tidak substantif semisal hukum mengucapkan selamat natal. Dalam perspektif Kuntowijoyo, ini adalah akibat pemahaman agama yang memakai penafsiran pra-industrial yang terpaku pada paradigma fiqhiyyah alias hukum formal. Maksudnya, pemahaman terhadap agama dibangun dengan konteks sosial yang lampau dan dipaksakan untuk menjawab persoalan masa kini. Akhirnya, fatwa tersebut hanya memunculkan konflik, bukan solusi.
Gus Dur sendiri menyarankan mengapa MUI tidak fokus untuk merumuskan bagaimana pandangan agama untuk menumpaskan kemiskinan?. Sementara Kuntowijoyo mengambil kesimpulan bahwa paradigma fiqhiyyah pra-industrial belum (bahkan tidak) memandang kemungkaran pada level yang komprehensif akibat perubahan zaman. Kemungkaran bukan hanya terjadi di level individu, melainkan juga terjadi di level institusi. Korupsi tidak dianggap sebagai kemungkaran secara hakiki, jika yang melakukannya adalah seorang yang memiliki personal piety tinggi. Ia tetap dianggap beramal saleh dan mengerjakan kebajikan walaupun uang yang diberikan kepada panti asuhan adalah hasil dari tindakan korupsi.
Paradigma Islam Kuntowijoyo
Menurut Kuntowijoyo, paradigma Islam mempunyai dua tujuan. Pertama, sebagai transformasi psikologis untuk mengembangkan perspektif etik dan moral di level individu. Artinya, Islam berfungsi menciptakan syakhsiyyah islamiyyah atau kepribadian muslim yang paripurna. Korupsi seharusnya dicegah sejak dalam pikiran, sebab Islam sendiri memperhitungkan niat seseorang dalam beraktivitas. Sebagaimana hadits “sesungguhnya semua perbuatan itu tergantung amal”.
Korupsi berawal dari pandangan pribadi yang menganggap bahwa tindakan korupsi tidaklah merugikan karena tidak berefek secara langsung kepada masyarakat. Padahal berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi negara yang memang tidak bisa dilihat secara kasat mata. Dalam Al-Qur’an, dijelaskan bahwa zalim adalah perbuatan korupsi. Maksudnya, penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasaan yang tidak seharusnya dilakukan dan berpotensi merusak hakikat kemanusiaan yang terdapat dalam diri manusia.
Korupsi menjadi fasad ketika ia dilakukan secara masif dan sistematis di level institusi dan menimbulkan potensi kerusakan yang cukup besar. Penyelewengan dan penyalahgunaan adalah bagian dari mungkar, sebab si pelaku mengetahui dampak buruk jika tindakan korupsi tetap dilakukan. Dengan kesadaran seperti ini, maka korupsi seharusnya dicegah di lingkungan manapun kita berada. Transformasi psikologis menuntut kesadaran hakiki akan kerusakan yang diakibatkan oleh tindakan korupsi.
Kedua, sebagai transformasi sosial. Tidak seperti agama lain yang menekankan aspek moralitas individu, Islam mempunyai cita-cita sosial yang menekankan transformasi untuk menciptakan masyarakat madani. Korupsi sebagai kejahatan yang terstruktur harus dianggap sebagai penghambat cita-cita sosial yang diinginkan Islam. Sebab, korupsi dalam Islam merupakan perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan pribadi semata dengan mengorbankan kepentingan atau kemaslahatan umum.
Interpretasi Untuk Aksi
Hak-hak masyarakat pada akhirnya tidak dipenuhi sebab negara mengalami kerugian besar akibat korupsi yang dilakukan di berbagai level pimpinan. Islam memandang bahwa struktur yang mungkar perlu dilawan, sebab kita mengenal adanya perintah nahi mungkar yang terdapat dalam Al-Qur’an. Archetype atau role model pemerintahan korup paling purba telah digambarkan dalam Al-Qur’an melalui kisah Firaun.
Firaun melanggengkan kekuasaan dengan memonopoli kekayaan untuk kepentingan kelompoknya saja. Di samping itu, Ia juga merangkul teknokrat andal tetapi nir-moral, haman, dan seorang borjuis-kapitalis, Qarun, untuk memperkaya dirinya sendiri. Konsep oligarki pada hakikatnya adalah perputaran kekayaan di beberapa orang menunjukkan bahwa korupsi merupakan sebab awal jatuhnya sebuah negara. Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa jangan sampai kekayaan itu hanya berputar pada orang-orang tertentu saja. Objektifikasi Al-Qur’an bahwa sistem oligarki yang berlandaskan perilaku korup merupakan kemungkaran yang nyata di hadapan kita.
Kira-kira begitulah paradigma Islam perspektif Kuntowijoyo dalam memandang korupsi. Dari segi individu, perlunya kesadaran utuh mengenai kejahatan kemanusiaan yang luar biasa yang diakibatkan oleh korupsi. Sedangkan dari segi institusional, korupsi menjadi sebab awal runtuhnya sebuah negara layaknya perumpamaan kisah yang telah tergambar dalam Al Qur’an. Peradaban yang sangat cemerlang runtuh begitu saja akibat korupsi. Jangan sampai hal itu terjadi di Indonesia yang notabene belum sampai pada tingkatan membangun peradaban.
Red: Saipul Haq