MADRASAHDIGITAL.CO – Oleh: Asyifa Suryani, Mahasiswi IBN Tegal.
DPR ketuk palu, sahkan RKUHP menjadi Undang-undang. Pada awalnya, upaya revisi KUHP berangkat dari semangat dekolonisasi. Alasannya, KUHP lama bersumber dari hukum kolonial Belanda. UU No.1 tahun 1946 merubah nama yang dikenal dengan KUHP. Upaya perubahan juga dimulai tahun 1958 oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Perjalanan KUHP melewati 7 Kepemimpinan Presiden RI dan 14 Periode DPR-RI. Seiring berjalnnya waktu, RKUHP resmi disahkan pada Selasa, 6 Desember 2022 pada rapat paripurna DPR RI. Meskipun UU ini akan mengalami transisi dari masa ke masa dan akan diberlakukan pada tahun 2025 namun disahkannya UU ini menuai banyak kontroversi dari berbagai elemen masyarakat. Bahkan penolakan dalam bentuk aksi atau demonstrasi juga sudah banyak dilakukan.
Mungkin kita tidak asing dengan tagar yang akhirnya bisa dilihat dan didengar dimana saja, entah itu lisan maupun tulisan. Dengan bunyinya, #semuabisakena, #tibatibadipenjara, dsb. Sebab, dalam pasal-pasal yang sudah disahkan tersebut jika dianalisa di kemudian hari kita sebagai rakyat Indonesia bisa saja terkena pasal tersebut, dan bisa saja kita tiba-tiba dipenjara.
Banyak pasal yang menjadikan kontroversi bagi masyarakat. Misal saja pada pasal 240 ayat (1) yang berbunyi :
“Setiap orang yang di muka umum dengan lisan maupun tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”
Pasal ini dinilai dapat membuat lembaga negara menjadi anti-kritik dan berpotensi mengabaikan suara masyarakat atau masukan publik terkait kinerjanya tersebut. Hal ini dikarenakan munculnya multitafsir dari frasa maupun diksi yang digunakan. Jelas tidak ada spesifikasi terkait hal apa yang difokuskan sehingga menuai pro dan kontra dari masyarakat. Dalam ayat tersebut, tidak pula dijelaskan bentuk penghinaan yang seperti apakah sehingga pelaku tersebut bisa dipidanakan.
Selain pasal 240 ayat (1) tersebut, terdapat pasal lain juga menuai kontroversi. Misalnya pada pasal 218 ayat (1) yang berbunyi : “Setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat dari Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.
Pasal ini berpotensi untuk meredam berbagai bentuk kritik publik yang akhirnya dianggap menjadi sebuah penghinaan. Sehingga, pasal ini menjadi delik aduan pun tidak akan menghilangkan resiko kriminalitas. Sebagian pihak menganggap bahwa selama ini sudah banyak bentuk kritik publik terhadap pemerintah, baik Presiden maupun wakilnya, maka untuk menghegemoni hal tersebut parlementer RI mengesahkan Undang-undang beserta resiko pidananya.
Bisa ditelisik lagi dalam pasal 188 ayat (1) tentang larangan menyebarkan paham komunis (Paham selain pancasila). Dalam ayat tersebut dianalisa berpotensi multitafsir dan dapat digunakan sebagai alat untuk membungkam suara kritis pihak-pihak yang dinilai bertentangan dengan pemerintah. Jika ditelaah, sejarah Indonesia juga lahir karena ajaran komunis, idealis maupun sosialis. Hal tersebut yang akhirnya menjadi problematika masyarakat dalam menanggapi bunyi ayat demi ayat dalam undang-undang, tentu menghadirkan pihak yang pro dan kontra. Namun, dalam pendidikan kritis yang mana saat ini juga sedang digencarkan berpotensi memberi pengaruh yang sangat besar. Masyarakat atau generasi bangsa akhirnya takut dan khawatir untuk mengkritisi hal-hal yang tidak sesuai dengan pemerintahan. Sebab, dalam pasalnya, setiap warga berkemungkinan bisa kena pidana.
Paulo Freire sebagai tokoh pendidikan kritis. Dengan berbagai karyanya tentang pendidikan kritis, menjadikan kita semakin tidak ragu bahwa Freire benar-benar sebagai tokoh pendidikan kritis. Paulo Freire dikatakan sebagai tokoh pendidikan kritis karena pemikirannya yang menolak pendidikan sebagai media pengukuhan sistem ideologi, politik, dan ekonomi yang dominan dengan teori perlawanannya bahwa pendidikan yang ada adalah pendidikan model bank, dimana pendidikan hanya sebuah transfer ilmu pengetahuan. Bagi Freire pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu menciptakan tatanan hidup yang baru, dinamis dan mensejahterakan semua lapisan masyarakat. Berangkat dari konsep tentang manusia, Freire mengemukakan bahwa filsafat pendidikan bertumpu pada keyakinan bahwa manusia secara fithrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya. Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya adalah mengantarkan pendidikan menjadi subjek. Untuk mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan ganda: meningkatkan kesadaran kritis dan sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan penindasan itu berlangsung.
Pendidikan kritis sangat diperlukan bagi generasi sekarang. Paulo Freire sendiri merupakan tokoh pendidikan kritis yang berasal dari luar namun para pelaku pendidikan di Indosnesia banyak yang menganut pahamya. Kemudian jika pasal-pasal tersebut diterapkan bisa membungkam aspirasi masyarakat, juga menghilangkan pembelajaran tentang pemikiran krtis dan kebebasan dalam berbangsa dan bernegara. (*)
Red: Ranov