MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh : Rendy Nanda Saputra (Anggota Bidang Immawati PK IMM FAI UMY)
Isu kepemimpinan perempuan di sektor publik rasanya tidak habis dan selalu menjadi sorotan yang tak berujung. Dalam lingkup perpolitikan isu-isu kepemimpinan perempuan dikaitkan dengan doktrin-doktrin agama menjadi salah satu hal yang muncul di ranah sosial. Misalnya, al-Qur’ān mengisahkan Ratu Balqis yang memimpin sebuah kerajaan besar di negeri Sabā’. Peran yang dimainkan oleh Eleanor Roosevelt, seorang pendamping presiden Franklin D. Roosevelt, presiden Amerika pada tahun 1933 dan mengambil peran dalam ruang yang disediakan oleh suaminya sebagai presiden.
Dalam realitas lain, seperti Rolle disajikan oleh Hillary Clinton menggunakan tatanan Demokrasi dalam kebebasan ruang publik dan kebebasan tanpa ada diskriminasi dalam peran publik. Usahanya membuahkan hasil ia menduduki posisi senator di New York dan kemudian mencalonkan diri ke Gedung Putih dan menjadi Sekretaris Negara kepada pemerintah AS.
Keadaan serupa juga terjadi di Indonesia, dimana Megawati Soekarnoputri mencalonkan diri sebagai presiden Republik Indonesia pada sidang umum MPR tahun 2000, ternyata respon yang muncul adalah sebagian menganggap sah megawati sebagai pemimpin politik dan pemerintahan. Namun sebagian mereka juga menolak karena argumen-argumen agama, bahwa yang boleh menjadi pemimpin publik hanyalah kaum laki-laki karena Al-Qur’an hanya mengesahkan laki-laki saja.
Jika kita melihat dalam Al-Qur’ān, banyak ayat-ayat yang menginformasikan bahwa posisi laki-laki dan perempuan di hadapan Allah adalah sama. Akan tetapi pada tatanan realitas, ternyata ide-ide egalitarian dalam al-Qur’ān seringkali dibenturkan dengan respon masyarakat yang cenderung bias, seolah melihat wanita adalah kelas kedua setelah laki-laki yang cenderung berpotensi dalam ranah publik tetapi tidak dengan ranah domestik.
Kajian yang membahas tentang kepemimpinan perempuan dalam Al-Qur’an sudah banyak dilakukan oleh para peneliti. Setidaknya terdapat tiga kecenderungan terkait dengan kepemimpinan perempuan dalam Al-Qur’an. Pertama, kepemimpinan perempuan perspektif islam dan gender, kajian ini lebih menganalisis tentang perempuan yang menduduki jabatan kepala dalam perspektif Islam dan gender(Hasanah, 2019). Kedua, kepemimpinan perempuan dalam Islam: penafsiran Q.S An-nisa ayat 34, kajian inilebih memfokuskan secara global seputar penafsiran teks keagamaan yang mengarah kepada diskriminasi dan subordinasi peran perempuan, terutama yang terkait dengan relasi gender dalam wilayah domestik maupun publik(Fitria, 2017). Ketiga, konsep muhammad ‘abduh tentang Al-Qawwamah dan implikasinya terhadap kedudukan dalam umat islam.
Dewasa ini pandangan mengenai kepemimpinan perempuan dalam islam masih menjadi perdebatan yang sangat panjang dan rumit, masing-masing berpegang teguh pada pandangan mereka seakan tidak mau kalah dengan pandangan yang lain. Tulisan ini akan membahas persoalan kepemimpinan dalam perspektif tekstual dan kontekstual, bagaimana pandangan-pandangan mereka dalam menyikapi diskursus yang belum juga ditemukan muaranya.
Problematika Qiwamah (kepemimpinan) perempuan
Mengutip dari perkataan Abdullah Saeed bahwa sejumlah feminis Muslim baru-baru ini berpendapat bahwa penting bagi umat Islam untuk membaca Al-Qur’ān. Mereka mengkritik teks yang terkesan ‘berorientasi laki-laki’ dalam pembacaan penafsir awal dan modern menjadi bias terhadap perempuan dan sebagai ketidakadilan historis terhadap perempuan. Mereka berpendapat, bahwa masyarakat Muslim adalah untuk membawa satu setengah dari umat Islam kepada tingkat kesetaraan terhormat, aturan Al-Qur’ān dan nilai-nilai tentang perempuan harus dipahami dan diinterpretasikan dalam ruang konteks sosio-historis dari waktu wahyu.
Dari berbagai macam corak penafsiran pendekatan yang sering muncul di permukaan adalah pendekatan tekstualis dan kontekstualis. Saat ini pendekatan tekstualis banyak diadopsi oleh para penafsir muslim adalah pendekatan tekstualis terlebih kaum sunni yang cenderung sering menggunakan pendekatan itu.
Metodologi tekstualitas didominasi oleh tafsir pada periode pra-modern. Ulama tekstualis mengandalkan teori referensial makna untuk menafsirkan al-Qur’ān, menginterpretasikan terutama pada sisi linguistik daripada analisis sosial atau sejarah.
Pendekatan kontekstualis kurang dikenal dan tentunya jauh lebih sedikit dipahami dibandingkan dengan pendekatan yang lebih tradisional untuk penafsiran. Karakteristik umum dari kaum kontekstualis adalah mereka berpendapat bahwa arti dari sebuah ayat al-Qur’ān tertentu (atau Muslim) adalah untuk tingkat besar, tidak tentu.
Artinya, dalam pengertian ini, dikatakan berkembang dari waktu ke waktu, dan tergantung pada konteks sosio-historis, budaya, dan bahasa dari teks. Pendekatan ini untuk penafsiran memungkinkan seorang penafsir untuk memertimbangkan setiap kata yang diberikan dalam terang konteksnya, dan untuk sampai pada pemahaman yang diyakini lebih relevan dengan keadaan penafsiran.
Bermacam persoalan terdapat pada fiqih klasik, Salah satunya adalah isu terhadap perempuan yang dianggap sangat diskriminatif. Abdullah Saeed mengatakan sejumlah feminis Muslim baru-baru ini berpendapat bahwa penting bagi umat Islam untuk membaca al-Qur’ān. Mereka mengkritik teks yang terkesan ‘berorientasi laki-laki’ dalam pembacaan penafsir awal dan modern menjadi bias terhadap perempuan dan sebagai ketidakadilan historis terhadap perempuan.
Dalam peran perempuan di ranah publik/politik, secara khusus bisa dimasukkan ke dalam kategori menjadi kepala negara atau kepala pemerintahan. Perdebatan yang kontroversial tentang kepemimpinan perempuan seringkali menjadi bahasan para intelektual Muslim klasik maupun kontemporer dipandang dari berbagai paradigma.
Maka dari banyak persoalan tersebut tentu menjadi tugas rumah tersendiri bagi pegiat,aktivis,pengamat, juga para ahli dalam diskursus tersebut. Sebagaimana bisa menyelesaikan persoalan yang cukup rumit dan tak kunjung usai. Ditengah berbagai pemikiran hal yang menjadi perlu digaris bawahi adalah pemikiran kaum moderat dalam memposisikan diri sebagai pengambil sikap yang bijaksana menurut hemat penulis.
Melihat Kepemimpinan Perempuan menurut Teksualis
Berangkat dari Sebab-sebab turun (asbāb al-Nuzūl) ayat al-Nisā’/4: 34, adalah diceritakan ada seorang laki-laki dari kaum Anṣār, Sa‘d bin al-Rabī‘ yang menampar istrinya Ḥabībah, kemudian istrinya datang kepada Rasulullah, dan beliau mengizinkan wanita itu untuk memukulnya sebagai hukuman baginya. Allah kemudian menurunkan ayat ini. Rasulullah kemudian memanggil sang suami dan membacakan ayat itu kepadanya. Lalu beliau bersabda, “Aku menghendaki sesuatu, namun Allah menghendaki yang lain”.
Ibn Katsir dalam karya tafsirnya Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm mengemukakan bahwa kutipan-kutipan riwayat Ḥadīts Nabi dan perkataan sahabat (qawl al-Ṣaḥābah) atau berpandangan bahwa kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Dalam artian laki-laki mempunyai otoritas dalam mengurus wanita dan menegurnya apabila ia mempunyai kesalahan. Dengan asumsi bahwa laki-laki mempunyai kelebihan dan lebih afdol dalam memimpin kaum perempuan.
Juga dalam hadis yang Diriwayatkan oleh al-Bukhārī dari Abī Bakrah, Rasulullah menyatakan: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusan mereka dipegang oleh seorang wanita”. Hadis ini menjadi dasar argumen yang kuat bagi kaum tekstualis yang berpaham bahwa wanita tidak layak dalam memimpin. Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī memberikan penjelasan terhadap Ḥadīts ini, bahwa Ḥadīts ini melengkapi kisah Kisrā yang telah merobek-robek surat Nabi. Pada suatu saat ia dibunuh oleh anak laki-lakinya, yang kemudian anak ini membunuh saudara-saudaranya. Ketika ia mati diracun, kekuasaan kerajaan akhirnya berada di tangan anak perempuannya, Bauran bint Syirūyah bin Kisrā. Tak lama setelah kejadian semua itu, kekuasaannya hancur lebur berantakan.
Dewasa ini pandangan mengenai kepemimpinan perempuan terbantahkan sendirinya oleh fakta yang ada, Realitas sosial dan zaman yang semakin berkembang semakin menunjukkan eksistensi sosok perempuan dalam memimpin. Menurut saya kepemimpinan dalam perempuan sah-sah saja dengan asumsi bahwa tuntutan al-Qur’ān adalah kemaslahatan dan keadilan. Kemaslahatan dan keadilan adalah apabila kita mampu memposisikan sesuatu secara proporsional dan kontekstual.
Melihat Kepemimpinan Perempuan menurut Kontekstualis
Ulama kontemporer Jawād Mughniyyah dalam tafsirnya alKāsyif mengatakan yang dimaksud dengan QS. al-Nisā’/4: 34 bukanlah menciptakan perbedaan yang menganggap perempuan itu lebih rendah dibandingkan dengan pihak laki-laki, tetapi kedua mereka adalah sama.
Ayat tersebut hanyalah ditujukan kepada laki-laki sebagai suami dengan perempuan sebagai istri. Mereka adalah kehidupan, tidak satu pun bisa hidup tanpa yang lain, mereka saling melengkapi. Ayat ini hanya ditujukan untuk kepemimpinan suami dalam rumah tangga, yang memimpin istrinya, bukan untuk menjadi penguasa maupun diktator.
Kyai Husein Muhammad, dikatakan Kiai Feminis Indonesia, tak pernah lelah membela perempuan. Dia berjuang untuk memperkuat pemahaman yang mapan tentang hubungan gender yang telah diatur. Pendapatnya sangat berbeda dari sudut pandang pada umumnya, terutama dalam hal Fiqih Perempuan, perlakuan terhadap ayat ini berbeda dengan wacana fiqih dan kemudian dari ayat tersebut harus dipahami secara sosiologis dan kontekstual.
Posisi perempuan berada di bawah laki-laki sebenarnya lahir dari bangunan masyarakat atau peradaban yang didominasi manusia. Dalam masyarakat seperti ini tidak diberikan kepada wanita untuk berperan bagi perempuan di posisi yang menjanjikan.
Kisah perempuan di ruang kuasa terus dicatat sebagai mozaik sejarah dan peradaban manusia. Zaman Victoria jadi bab penting untuk menggali tafsir relasi perempuan, seksualitas, dan kuasa. Perempuan sebagai subyek memberi standar norma untuk diperagakan manusia. Ratu Victoria membersihkan ruang publik dari wacana seksualitas. Politik menganggap isu seksual dan poligami sebagai persoalan tabu. Orang tabu untuk membicarakan seksualitas, karena masalah seks dan hubungan badan hanya pantas dibicarakan di tempat tidur, bukan di tempat umum.
Maka dari itu, Rifat Hasan memberikan kesimpulan mengenai telaah konsep kesetaraan perempuan dalam al-Qur’ān, bahwasannya Tuhan itu betul-betul Maha Adil, tidak mendiskreditkan perempuan dan laki-laki. Semua sama dalam pandangan Allah, yang membedakan hanyalah ketaqwaan.
Bahkan menurutnya, Tuhan tampaknya lebih peduli kepada perempuan, karena Tuhan lebih memberikan perhatian kepada mereka yang terpinggir, seperti para janda, anak-anak yatim, kaum budak daripada mereka yang kaya dan berkuasa. Hal yang paling menarik dari pendapatnya adalah, dalam al-Qur’ān terdapat QS. al-Nisā’ (perempuan), tetapi tidak ada QS. al-Rijāl (laki-laki).
Red: Saipul Haq