MADRASAHDIGITAL.CO-Oleh: Syaiful Bato
Kekerasan Dalam Lembaga Pendidikan di Indonesia sudah tak asing di telinga kita. Padahal salah satu fungsi pendidikan adalah memanusiakan manusia. Asumsi tersebut berdampak pada proses pendidikan yang dimanfaatkan untuk memberdayakan potensi manusia secara maksimal. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, pendidikan berfungsi sebagai alat untuk mengembangkan dan membangun generasi penerus bangsa. Hal ini merupakan usaha mengisi kemerdekaan, mengangkat derajat bangsa serta melaksanakan tujuan negara. Sehingga, pendidikan harus mampu menunjang sisi kemanusiaan tersebut. Bagaimana ia sebagai individu yang bebas dan merdeka, serta secara sadar menghargai hak dan kebebasan manusia lainnya.
Kenyataan di lapangan menunjukan, visi pendidikan yang memanusiakan belum sepenuhnya tercapai, bahkan jauh sama sekali. Hal itu bisa dilihat dari berbagai macam pemberitaan di media massa yang melaporkan adanya praktek kekerasan di lembaga pendidikan. Sebelum lebih jauh, penulis akan mengajak pembaca terlebih dahulu untuk memahami apa itu kekerasan dalam pendidikan?. Apa saja bentuk – bentuknya lalu bagaimana dampaknya?.
Kekerasan dalam Pendidikan
Secara umum, kekerasan berarti suatu tindakan tidak menyenangkan atau merugikan orang lain baik dalam bentuk fisik atau non fisik. Dalam konteks pendidikan, kekerasan sering dikenal dengan istilah bullying. Bullying biasanya dilakukan oleh orang yang merasa dirinya lebih kuat terhadap orang yang lebih lemah darinya. Artinya, pelakunya bukan hanya guru ke siswa, namun juga siswa ke siswa bahkan siswa ke guru.
Bentuk-Bentuk Bullying
Pertama, bullying verbal. Yaitu kekerasan terhadap perasaan dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas seperti menghina, mengancam, atau memfitnah. Dampak dari bullying verbal bisa menyebabkan korban mengalami depresi, hilang kepercayaan diri, bahkan paling buruknya bisa menyebabkan korban bunuh diri. Hal ini tentu korban karena sering mengalami tekanan psikis yang cukup dalam pada diri korban.
Kedua, physical bullying. Yaitu tindakan yang menggunakan gerakan fisik untuk menyakiti tubuh atau merusak harta benda orang lain. Contohnya seperti menampar, memukul, menendang, mendorong dan lain – lain. Akibatnya, bisa menyebabkan korban mengalami cedera atau dalam beberapa kasus menyebabkan korban sampai kehilangan nyawa.
Faktor Kekerasan Pada Lembaga Pendidikan
Abdurrahman Assegaf, dalam bukunya Pendidikan Tanpa Kekerasan (Tipologi Kondisi, Kasus, dan Konsep), menyatakan setidaknya ada 5 faktor yang melatarbelakangi terjadi tindak kekerasan pada lembaga pendidikan.
Pertama, karena adanya bentuk hukuman atau sanksi yang berlebihan yang telah melewati batas aturan yang telah disepakati. Kedua, adanya kesenjangan antara pemerintah dan lembaga pendidikan dalam memajukan pendidikan. Dimana di satu sisi pemerintah ingin memajukan pendidikan namun disisi lain, kondisi riil di lapangan tidak memungkinkan.
Ketiga, kurangnya kepekaan dan pengawasan dari lingkungan sekitar. Keempat, pengaruh tayangan media massa yang mempertontonkan adegan kekerasan sehingga membuat anak mencontohi. Kelima, faktor sosial budaya yang mengalami pergeseran sehingga menyebabkan adanya pergaulan bebas dan kurangnya komunikasi antar masyarakat.
Realitas Indonesia
Di indonesia sendiri, isu kekerasan pada lembaga pendidikan perlu mendapatkan perhatian serius. Data yang dirilis dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan bersama Komnas Perempuan menunjukan sejak 2015 sampai 2021 ada total 456 laporan kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan pendidikan.
Selain itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengungkapkan sepanjang tahun 2021 terjadi 18 laporan kasus kekerasan seksual pada lembaga pendidikan dengan korban sebanyak 207 anak-anak, terdiri dari 126 perempuan dan dan 71 laki-laki dengan rentang usia korban di antara 3 sampai 17 tahun. Pada 2022, terhitung sejak Januari sampai Juli, KPAI kembali mencatat terjadi 12 kasus pelanggaran seksual di lembaga pendidikan. Kondisi yang sangat miris bukan. Lingkungan pendidikan khususnya sekolah yang seharusnya menjadi tempat menempa kemanusiaan malah menjelma sebagai sarang bagi predator-predator seksual.
Catatan diatas belum lagi terhitung dengan jenis-jenis pelanggaran lain seperti kekerasan verbal atau kekerasan fisik lain, seperti memukul, menampar baik yang dilakukan oleh guru ke siswa, siswa ke siswa, siswa ke guru, atau orang tua siswa ke guru.
Seperti yang dikatakan oleh Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, bahwa fenomena kekerasan pada lembaga pendidikan seperti fenomena gunung es. Artinya masih banyak sekali kasus yang belum muncul ke permukaan, karena kasus tersebut jarang terungkap atau tidak diadukan, tidak dilaporkan. Seringkali ditutup-tutupi dengan berbagai macam alasan, serta kurangnya keterbukaan dari korban.
Kekerasan Dalam Lembaga Pendidikan, Salah Siapa?
Dalam hal ini, korban tidak bisa disalahkan karena tentu dia pasti mendapatkan intimidasi dari pelaku atau lembaga terkait. Biasanya alasan lembaga pendidikan menolak untuk mengusut kasus tertentu karena takut mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap lembaganya. Kenyataan pahit yang terpaksa ditelan oleh siapapun yang menaruh perhatian pada pendidikan, dimana lembaga pendidikan lebih memilih melindungi pelaku daripada melindungi peserta didiknya.
Penulis curiga, tentu ada alasan ekonomis dibalik itu semua. Karena ketika masyarakat hilang kepercayaan, maka sangat sedikit dari mereka yang memilih menyekolahkan anaknya di lembaga tersebut. Jika jumlah peserta didik sedikit, maka keuntungan yang diperoleh sedikit juga. Sedangkan tiap-tiap lembaga pendidikan tentu butuh biaya operasional yang wajib terpenuhi.
Sebagai sebuah fenomena, masalah kekerasan pada lembaga pendidikan tentu bukanlah sesuatu hal yang baru. Sedari dulu memang selalu ada. Bahkan beberapa kalangan dari generasi tertentu tetap menganggap bahwa kekerasan adalah cara paling efektif dalam mendidik anak.
Tapi sebagai masyarakat yang hidup dalam era reformasi, yang menjunjung tinggi kebebasan dan Hak Asasi Manusia, cara pandang tersebut keliru. Persoalan kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Perlu dipikirkan bersama apa solusi alternatif untuk mengentaskan persoalan kekerasan dalam dunia pendidikan.
Upaya Mengentaskan Kekerasan Dalam Lembaga Pendidikan
Pada tulisan ini, penulis akan menawarkan beberapa ide yang mungkin bisa menjadi bahan refleksi, sekaligus konsep yang bisa dipraktekkan atau dikembangkan oleh seluruh stakeholder pendidikan.
Pertama untuk guru. Perlu ditanamkan pemahaman terkait makna kekerasan itu sendiri. Karena tidak menutup kemungkinan beberapa guru masih belum bisa membedakan mana yang dimaksud hukuman dan mana yang dimaksud kekerasan. Ketika melihat anak kelewat batas, sang guru biasanya merasa wajar ketika memberikan sanksi seperti memukul, menendang atau menghina sang murid.
Secara tidak sadar ternyata hal itu termasuk kategori kekerasan. Padahal, sang guru bisa saja menerapkan sanksi yang edukatif di sekolah. Misalnya ketika si anak terlambat masuk sekolah, maka sanksinya disuruh untuk belajar mandiri di perpustakaan.
Kedua, untuk orang tua. Mereka harus dilibatkan dalam menyelesaikan masalah anak. Karena kadang, kenakalan siswa hanyalah salah satu bagian dari bentuk ekspresinya sebab kurang kasih sayang orang tua. Khusus dalam mengisi kebutuhan jiwa seorang anak. Jangan sampai orang tua merasa cuek dengan pendidikan anak dan menyerahkan sepenuhnya ke guru dan lembaga pendidikan.
Ketiga, untuk lembaga pendidikan. Dalam penyusunan tata tertib perlu melibatkan siswa, guru, dan orang tua. Hal itu bertujuan supaya dicapainya kesepakatan bersama. Tujuannya agar ketika terjadi pelanggaran bisa dilihat dimana letak kesalahan nya supaya solusi yang dihadirkan tepat sasaran.
Keempat, untuk pemerintah. Diperlukan regulasi yang tegas kepada pelaku kekerasan sehingga menimbulkan efek jera. Selain itu pemerintah perlu mengadakan sosialisasi terkait penanggulangan tindak kekerasan kepada tiap-tiap lembaga pendidikan.
Harapan nya setelah itu guru, siswa, tenaga administrasi, kepala sekolah, atau orang tua lebih mengerti bagaimana strategi pencegahan dan tindak lanjut yang diberikan kepada pelaku maupun korban.
Selanjutnya, pemerintah perlu menyediakan anggaran untuk penambahan fasilitas pendidikan yang berfungsi untuk memantau tempat-tempat rawan kekerasan di sekolah. Contohnya penyediaan CCTV di berbagai sudut sekolah. Hal ini dilakukan agar seluruh unsur di sekolah bisa memonitoring secara langsung keamanan dan keselamatan warga sekolah.
Penutup
Usaha-usaha tersebut dilakukan agar terciptanya lingkungan yang aman, ramah dan humanis. Secara tidak langsung hal itu dapat menunjang tujuan utama pendidikan yakni membebaskan. Dan pendidikan yang membebaskan adalah yang memanusiakan.
Oleh karenanya tindakan yang telah melanggar kemanusiaan tidak bisa ditoleransikan. Sejak dahulu, Ki Hajar Dewantara sudah mengajarkan pendidikan dengan sistem among, yaitu pendidikan yang berjiwa kekeluargaan, dengan dasar kasih sayang. Pola pendidikan yang seharusnya digunakan oleh pendidik berbasis asah, asih dan asuh.
Terakhir, penulis ingin mengingatkan, sekolah, harusnya bukan sekedar menjadi tempat terjadinya transfer of knowledge (transfer pengetahuan), namun lebih dari itu sekolah bisa menjadi tempat terjadinya transfer of value (pembentukan sikap dan tingkah laku) dan transfer of skill (proses melatih keterampilan).