MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Mohammad Haidar Albana, Kader IMM FSBK UAD Yogyakarta
Pandemi menjadikan pergantian estafet kepepimpinan IMM di tataran komisariat sedikit terlambat tidak seperi biasanya yang biasa diadakan pada akhir tahun. Awal januari ini hampir seluruh Komisariat IMM di banyak Universitas menyelenggarakan Musyawarah tertinggi dilingkup Komisariat atau yang biasa disebut sebagai Musykom (Musywarah Komisariat). Agenda tahunan yang berisikan tentang pembahasan kinerja Pimpinan Komisariat (PK) selama satu tahun, proses kaderisasi dan yang utama adalah pergantian kepemimpinan dalam memilih nahkoda untuk memimpin IMM satu tahun kedepan.
Fenomena pascamusykom yang selalu terlihat adalah perasaan gembira dan rasa senang dalam diri PK setelah menjadi demisioner, entah itu karena laporan pertanggungjawaban (LPJ) dirasa aman karena merasa sudah amanah dan para peserta musykom tidak ada yang mengkritisnya atau karena merasa tanggungan menjadi PK telah usai dan penderitaan menjadi pimpinan sudah tidak menjadi beban.
Bagi saya yang sudah hidup di lingkungan ortom dan kaderisasi Muhammadiyah sangat kecewa bahkan heran karena melihat fenomena diatas seakan akan IMM hanya dijadikan sebagai jabatan politik yang ketika sudah selesai merasa aman lalu meninggalkan begitu saja semua tanggung jawabnya, terkhusunya perihal kaderisasi. Padahal, kenyataannya dalam proses kepemimpinan PK banyak ketidakamanahan yang seharusnya menjadi koreksi kita bersama.
Walaupun fenomena tersebut tidak bisa digeneralisasi seluruh PK yang senang menjadi demisioner, beberapa diantaranya ada yang melanjutkan perjuangan di ranah cabang. Tapi keheranan ini ditujukan kepada mereka mereka yang benar benar menanggalkan amanah structural kepemimpinan IMM padahal masih aktif menjadi mahasiswa.
Belajar dari tokoh-tokoh Muhammadiyah
Sepertinya literasi pada pada level Pimpinan Komisariat memang benar benar tergerus dan bisa dikatan layamutu wala yahya (tidak hidup tidak mati), bagaimana tidak, dengan fenomena gembira dan senang menjadi demisioner menandakaan bahwa mreka tidak pernah membaca literatur tentang bagaimana tokoh tokoh Muhammadiyah dalam menjalankan peran di Muhammadiyah.
Sebut saja Pak AR Fachrudin yang pernah menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam Periode yang paling panjang, yakni kisaran 23 tahun, tetapi setelah jabatan itu ditanggalkan beliau tetap berkhidmat di Muhammadiyah dengan tetap menjadi anggota PP Muhammadiyah. Hal yang serupa juga dilakukan oleh Ketua umum Pimpinan Pusat Periode 2005-2015 yaitu. Prof. Dr. Din Syamsuddin, MA yang sekarang menjadi Ketua PRM (Pimpinan Ranting Muhammadiyah) Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan.
Fenomena ini juga ditanggapi Abdul Mu’ti selaku sekretatis PP Muhammadiyah yang dilansir ipm.or.id, “Salut. Mas Din telah melakukan hal baru. Bahwa beliau sebagai mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, kemudian mau turun langsung membina Umat di Pimpinan Ranting. Mas Din benar-benar membuktikan bahwa berkhidmat di Muhammadiyah itu bukan sekadar karena mencari kedudukan, tetapi yang dia lakukan adalah untuk memajukan Muhammadiyah dan bangsa di tingkat akar rumput.”
Pak AR Fachrudin dan Pak Din Syamsudin yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah dengan segala kesibukanya tetap bisa berkhidmat dan aktif sebagai pimpinan Muhammadiyah setelah demisioner. Lantas kenapa PK yang hari ini merasa senang dan bangga setelah demisioner dengan wajah tak berdosanya menanggalkan perjuangan structural hanya semisal karena alasan focus skripsi atau alasan tetek bengek lainnya?
Harap Menjadi PK Kembali
Penulis berharap tulisan ini dibaca oleh para kader yang tadinya merasa senang setelah demisioner dan memilih tidak melanjutkan kepemimpinan nya dalam Ber-IMM dengan alasan fokus skripsi atau alasan tetek bengek lainnya untuk bertaubat dan kembali menjadi pimpinan secara sturktural, santai, masih ada waktu untuk mendaftar walaupun kemarin tidak menjadi formatur, jangan pernah gengsi dalam bermuhammadiyah walau sekalipun pada periode kemaren menjabat sebagai Ketua Umum atau Kabid. Lalu nantinya akan menjadi bawahan juniornya/kadernya tidak perlu malu. Karena jabatan di komisariat tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan jabatan yang pernah diemban oleh Pak AR Fachrudin dan Pak Din Syamsudin. Jangan pernah merasa elitis di Muhammadiyah!
Dengan menjadi PK kembali juga sebagai alternative konkret dalam menebus dosa dosa atas adanyan ketidakamanahan periode lalu dengan bisa diperbaiki pada periode ini. Seperti perihal kaderisasi yang kurang optimal dan tidak memenuhi target kuantitas dan kualitas atau karena program kerjanya belum terlaksana alangkah sepatutnya harap ditebus bukan malah sekadar retorika saat musykom dengan divonis sebagai demiosioner bersyarat, yaitu tetap peduli pada IMM yang ini bisa menjadi celah kebohongan sebagaimana para pendahulunya saat divonis menjadi demisioner bersyarat.
Bermuhammadiyah adalah Pengabdian Fi Sabillilah
Pada hakikatnya menjadi kader Muhammadiyah adalah pengabdian fi sablillah dengan jalan amar ma’ruf nahi mungkar yang sejalan dengan dakwah Muhammadiyah untuk melakukan transformasi sosial secara kolektif atau bersama sama agar tercapainya masyarakat islam yang sebenar benarnya, sebagaimana yang sudah termaktub pada surat Ali Imran ayat 110 yaitu bahwa kita adalah umat Islam sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia dengan mengajak kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah yang hal ini juga diteoritiskan Kuntowijoyo yang dikenal dengan paradigma gerakan transformasi profetik (kenabian).
Maka untuk kader muhammadiyah terkhusunya IMM jangan pernah merasa lelah karena setiap embusan napas perjuangan dalam ber-IMM adalah ladang pahala bagi kita semua.
Editor: Muh Akmal Ahsan & Ahmad Soleh