Saat ini, tidak dapat dimungkiri bahwa gerakan mahasiswa tengah berada di persimpangan jalan. Banyak pihak beropini bahwa terjadi kemunduran “kualitas” gerakan mahasiswa, bila dibandingkan angkatan gerakan mahasiswa yang sekarang menjadi pejabat negeri ini. Dalam hal ini tentunya secara umum tidak terkecuali menimpa Ikatan, namun dengan beberapa kekhususan akar masalah.
Kalau kita rujuk sejumlah dokumen yang dihasilkan IMM dari muktamar ke muktamar, banyak keputusan-keputusan yang cukup strategi. Namun, bagaimana melaksanakan keputusan-keputusan yang dimaksud tentu tidak mudah. Untuk merealisasikan keputusan-keputusan organisasi tersebut masih diperlukan upaya pencarian strategi-strategi baru yang aplikabel, masih diperlukan upaya pembaruan strategi yang dinilai usang agar menjadi segar, efektif, canggih, tajam, mendasar, dan penuh dengan nuansa-nuansa kemajuan yang mampu memenuhi harapan-harapan umat masa kini dan masa mendatang.
Manakala pola-pola strategis gagal diupayakan, tidak perlu ditangisi jika pada kurun waktu mendatang IMM tidak saja makin loyo dan lamban bergerak. Namun, lebih dari itu IMM akan ditinggalkan anggotanya atau para kadernya, ditinggalkan umat dan mata rantai sejarahpun akan menjauh, berpaling dari keberadaan IMM.
Untuk menghindari tragedi yang tidak mustahil akan terjadi itu, perlu adanya strategi, yaitu pertama, IMM harus mampu menampilkan paradigma yang tepat tentang dirinya serta mampu memahami paradigma tersebut secara tepat. Kemudian diterjemahkan secara proporsional dalam realitas objektif di tengah-tengah komunitas sosialnya. Kedua, IMM harus mampu menerobos sekat-sekat eksklusivisme yang telah makin kokoh menjeratnya.
Tinjauan paradigma tentang eksistensi IMM secara literal sudah terkonsepsikan dalam identitasnya yang terdiri dalam enam poin, yakni: 1) sebagai kader yang di dukung kualitas; 2) memadukan akidah dan intektualitas; 3) tertib ibadah; 4) tekun belajar; 5) ilmu amaliah dan amal ilmiah; dan 6) untuk kepentingan masyarakat.
Paradigma intelektual
Pada dasarnya dapat dikemukakan bahwa IMM adalah organisasi mahasiswa yang mendasarkan diri pada tiga ranah penting, kemahasiswaan (basis intelektualitas), kemasyarakatan (basis humanitas), dan keagamaan (basis religiositas), yang ketiganya memiliki keterkaitan yang satu dengan yang lainnya dalam menciptakan paradigma gerakan intelektual ikatan. Ketika paradigma ini kurang mampu untuk dipahami secara proporsional, maka akan memberikan peluang bagi kegagalan untuk menerjemahkannya di pentas sejarah. dan IMM akan terus merangkak tertatih-tatih.
Bersangkutan dengan tiga ranah gerakan IMM, Mohammad Djazman Al-Kindi, ketua DPP IMM pertama kali, merumuskan bahwa Identitas IMM paling tidak ada enam pokok yang perlu dijadikan prinsip dan dikembangkan untuk gerakan IMM masa ke masa, yaitu; 1). Sebagai kader harus didukung oleh kualitas; 2). Memadukan akidah dan intelektualitas; 3). Tertib dalam ibadah; 4). Tekun belajar; 5). Ilmu amaliah, amal ilmiah; dan 6). Untuk kepentingan masyarakat.
Pada poin keempat disebutkan memperdalam nalar intektualitas. Menurut Robert Nisbet, seorang intelektual memiliki kelebihan bila dibandingkan filsuf dan sarjana. Seorang filsuf memiliki pikiran-pikiran yang mendalam (profundity), seorang sarjana memiliki pikiran-pikiran yang tajam dan total (depth and trhougness), sedangkan seorang intelektual memiliki pikiran-pikiran yang berbakat (briliaance). Seorang intelektual yang dapat menggunakan dan memanfaatkan daya bakatnya (brilliance) dengan baik maka dia dapat memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh sarjana ataupun filsuf.
Untuk memperdalam nalar intelektual ini, IMM dapat memperluas dan menyediakan ruang-ruang pengembangan basis nalar intelektual. Ruang baca di buka lebar, ruang pikiran di semarakkan, dan ruang tulis dibudayakan sebagai bentuk aktualisasi nalar keilmuan tersebut. Tidak ada yang tidak mungkin untuk dilakukan, sebab bila ada kemauan yang tinggi untuk membangun IMM, dengan daya bakat yang dimilkinya, ruang-ruang pengembangan basis tersebut dapat dilakukan dengan baik. Pengembangan ruang basis nalar intelektual tersebut, menjadi sangat penting. Ruang baca membuat kader IMM peka terhadap realitas dunia, ruang pikir mempertajam nalar intelektual, sedangkan tulis meneguhkan gerakan intelektual.
Kuntowijoyo dalam tesis monumentalnya, mengurai teori Tiga Tahap Augus Comte dalam tahapan kesadaran keagamaan umat Islam, yaitu mitos, ideologi, dan ilmu. Elaborasi gagasan ini sangat tepat dalam menggambarkan terhadap model perubahan masyarakat Islam, terutama dalam konteks masyarakat Indonesia. Gagasan ini hendaknya merefleksi umat Islam dalam menangkap pesan sejarah perubahan, sehingga kita tidak hanya mampu mengisi sejarah, namun mampu memainkan dan membuat sejarah dengan penuh kesadaran. Fase ini, merupakan kunci utama dalam tahapan konstruksi peradaban Islam, yang menurut Kontowijoyo sebagai Peradaban Profetik, dimana agama telah menyatu dalam kehidupan manusia.
Dalam gagasan perubahan ini, yang menjadi kunci utama adalah lahirnya aktor, sebagai agen perubahan. Salah satu aktor penting dalam sejarah perubahan adalah generasi muda sebagai tulang punggung perubahan. Mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda tersebut, hendaknya tidak kehilangan spirit perubahan dalam memandang sejarah yang dialektis-historis.
Melahirkan kader progresif
IMM sebagai organisasi mahasiswa Islam, memiliki tanggung jawab sosial yang besar dalam memainkan arah rekayasa perubahan, menuju bangunan peradaban progresif. Di usianya yang ke-55 tahun, IMM memiliki tanggung jawab sejarah yang besar dalam melahirkan aktor-aktor kritis-progresif di tengah keterpurukan bangsa Indonesia yang mengalami krisis multidimensional.
Lahirnya kader-kader progresif tersebut merupakan keniscayaan dalam membangun peradaban baru bagi bangsa Indoneisa, sebab bukan hanya akan menghadapai tantangan dari luar, berupa neoliberalisme yang merupakan bagian dari neoimperialisme, tetapi juga para penguasa yang zalim, yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Michael Porter (ekonom AS) mengatakan, bangkitnya suatu bangsa membutuhkan modal sosial, berupa kesadaran masyarakat dalam membangun bangsanya.
Ketika kita menempatkan intelektual hanya sebatas pengetahuan semata, maka yang ada adalah kekeliruan yang akan menjerumuskan seseorang untuk berpihak kepada apa yang kuat dan bukan kepada apa yang benar atau disebut oleh Boni Hargens sebagai intelektual tukang yang setiap analisisnya ditentukan kepentingan kekuasaan dan ditakar dengan uang dengan kata lain mereka bekerja untuk kepentingan politik-kekuasaan. Intelektual yang benar-benar intelektual sejati adalah mereka yang bekerja untuk kepentingan ilmu pengetahun, kebenaran, kebaikan bersama (bonum commune) atas landasan ilmu dan moralitas.
Senada dengan itu, menurut Sarumpaet, keberadaan dan perananan kaum intelektual menjadi penting lantaran langkahnya punya dasar berpijak yang di dalamnya menyimpan gagasan untuk perbaikan menghadapi masa depan. Maka, di manapun di dunia ini, kaum intelektual kerap bertindak sebagai pioner, perintis, dan pemberi pencerahan atas kehidupan manusia.
Ketika intelektualitas telah menjadi gerakan itu sendiri maka itulah saat yang tepat di mana gerakan IMM hadir sebagai gerakan yang mencerahkan peradaban dan seluruh penghuni bumi, termasuk di dalamnya aktivis IMM dan Muhammadiyah sebagai payung pencerahan itu sendiri. Generasi IMM masa awal telah memulai. Mari kita generasi IMM hari ini untuk secara bersama-sama mengambil peran untuk mencerahkan diri dan masyarakat untuk lahirnya peradaban yang membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia yang di atas muka bumi.
Lebih dari itu, yang mestinya dilakukan oleh kalangan intelektual khususnya kader-kader IMM adalah membangun suatu diskursus yang mampu mendorong terbangunnya historical bloc (kekuatan perlawanan bersama) dan gerakan sosial baru (new social movement) bagi tiap-tiap warga negara Indonesia, khususnya dalam kampus sebaga basis gerakan intelektual.