MADRASAHDIGITAL.CO – Geger soal kebocoran data kembali mencuat ke media. Sebenarya, kasus kebocoran data bukan kali pertama terjadi, tercatat sejak tahun 2020, sudah terjadi 8 kasus kebocoran data secara masif. Dari 8 kasus yang terjadi, 3 diantaranya datang dari instansi pemerintahan. Hal ini jelas mengindikasikan bahwa kasus kebocoran data belum sepenuhnya bisa diatasi. Harapannya, pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi yang masih terus digodok bisa menjadi pemersempit ruang gerak tindak peretasan.
Kasus persebaran data pribadi yang kian marak, sejatinya menuntut pemerintah untuk bergerak cepat dalam pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi. Pengusulan yang sudah dilakukan sejak Januari 2020 lalu, seharusnya sudah bisa dimatangkan secara cepat di tahun 2021. Mengingat data dari lokadata pada bulan Mei 2020 menunjukkan ada penjualan 91 juta data dari pengguna toko daring. Kemudian ada penjualan sebanyak 2,1 juta pengguna e-commerce. Dan ada juga 179 kasus pencurian data dan identitas pribadi.
Jika RUU Perlindungan Data Pribadi berhasil disahkan, nantinya masyarakat bisa melakukan tuntutan terhadap instansi terkait atas kasus kebocoran data. Sebaliknya, pihak instansi juga akan meningkatkan keamanannya terkait data dari pelanggan. Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate mengatakan jika terdapat 3 poin utama dalam RUU Perlindungan Data Pribadi. Pertama, kedaulatan data, yang mengacu pada pengelolaan data yang diolah secara mandiri oleh negara. Kedua, pengetatan kepemilikan data dan hal spesifik lainnya. Ketiga, soal lalu lintas data yang akan dikelola dalam bisnis dan investasi.
RUU Perlindungan Data Pribadi mengatur sanksi atas pelanggaran penggunaan data pribadi orang lain dengan hukuman kurungan penjara selama 7 tahun atau denda sebanyak 70 milliar. Selain itu, pelaku juga bisa dikenai hukuman tambahan berupa perampasan pendapatan dan kekayaan harta yang diperolehnya dari aksi pencurian data. Maka menjadi perkara yang penting untuk secepatnya mengesahkan peraturan yang memuat perlindungan data milik warga.
Akan tetapi yang perlu diperhatikan, jangan sampai pengesahan peraturan hanya menjadi sekedar formalitas belaka. Seperti halnya, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 pasal 14 ayat 5 yang menjelaskan tentang etika pihak instansi kepada konsumen saat terjadi pencurian data pribadi. Disana tertulis jika terjadi kegagalan pada perlindungan data pribadi, pihak instansi wajib memberitahukan secara tertulis kepada pemilik data atas kebocoran yang terjadi. Namun yang sering terjadi, masyarakat terlebih dahulu menemui penjualan data dirinya sebelum pihak instansi memberikan pernyataan akan adanya peretasan.
Praktik seperti ini terus menerus terjadi dan belum mendapatkan tindak tegas. Oleh karenanya, urgensitas dari RUU Perlindungan Data Pribadi bukan hanya berasal dari isi yang terkandung didalamnya, melainkan juga cara implementasinya. Karena dengan begitu, tujuan dari sebuah undang-undang akan tercipta. Melindungi masyarakat dan menyudutkan pihak-pihak yang memiliki niat kejahatan.
Pada dasarnya, faktor kebocoran data, datang dari dua pihak yang belum bersinergi secara sempurna. Pertama pihak pemerintah yang belum mempunyai ikatan peraturan secara formal. Peraturan yang bisa mengatur dan mempersempit ruang gerak kejahatan. Kemudian pihak kedua datang dari masyarakat yang belum mempunyai cukup kesadaran akan pentingnya data pribadi.
Masyarakat semestinya perlu memberlakukan keamanan berlapis pada data dirinya. Misalnya tidak memberikan data dengan penukaran kupon makanan, diskon, ataupun hal lain yang hanya bersifat sementara. Praktik seperti itu sejatinya bisa mempermudah proses peretasan dilakukan. Pun dengan cara seperti itu, penjualan data di media maya tidak akan pernah terhentikan.
Pengamanan secara digital bisa dilakukan dengan membaca terms dan condition saat melakukan pengunduhan aplikasi. Lalu melakukan penyaringan dengan tidak memberikan sembarangan data pribadi atau informasi yang bersifat sensitif di media sosial.
Apabila terpaksa membagikan, sebaiknya terlebih dahulu mengajukan beberapa titik kritis pada diri sendiri tentang manfaat dari membagikan data tersebut, dimana data itu akan disimpan, dan bagaimana dampak atas pembagian data yang dilakukan. Tindakan kritis seperti itu akan memunculkan antisipasi jika nantinya ada kebocoran data karena pembagian informasi pribadi. Semua itu akan menjadi kekuatan untuk belajar dan semakin menyadari akan pentingya data pribadi.
Pencegahan dari penyalahgunaan data sangat penting, mengingat segala sesuatunya kini memakai sistem digital untuk bekerja. Data seseorang bisa saja disalahgunakan untuk sesuatu yang tidak benar. Salah satu kasus yang paling marak tentang penyalahgunaan data adalah sistem pinjaman online. Biasanya pelaku akan menggunakan sejumlah data dari para korban untuk melakukan transaksi pinjaman, yang pembayarannya diserahkan pada korban.
Korban yang tidak paham dengan sistem seperti itu, biasanya baru menyadari ketika ada pihak penagih dari pihak pinjaman online. Korban yang merasa tidak melakukan peminjaman, biasanya akan mengelak, dan terjadi percekcokan di antara keduanya.
Peristiwa seperti ini tidak akan terjadi tentunya, apabila data pribadi dalam keamanan tinggi. Penyalahgunaan data tidak akan bisa bekerja, karena semua data yang ada telah diamankan. Oleh karena itu, diperlukan sistem yang kuat dari pemerintah maupun pihak masyarakat sendiri untuk bersama-sama menjaga data pribadi. Tidak mudah memberikan data pribadi secara mudah dan benar-benar mewaspadai segala bentuk penipuan yang ada. Dan langkah terakhir adalah pengoptimalan sistem hukuman terhadap pelaku penyalahgunaan data.