Oleh: Bayujati Prakoso*
“IMMawan dan IMMawati dan intelektual Islam di manapun berada, kita semua tidak boleh berhenti dan memang seharusnya terus belajar untuk menjadi manusia learning to be human. Dengan demikian, fanatisme buta dalam hal apa saja dan dari mana saja yang menjadi sumber masalah serius umat manusia saat ini dan ke depannya bisa dicairkan setetes demi setetes, selangkah demi selangkah. Tidaklah berlebihan, jika kita harus mengatakan konsistensi kita sebagai kader IMM bahwa pada akhirnya kita harus menjadi pasukan terdepan dalam menjaga hak-hak dan martabat kemanusiaan, membelanya, memperjuangkannya dari segala bentuk penodaan dan penyelewengan. Lalu cita-cita kita membangun masyarakat dan peradaban yang sebenar-benarnya optimis untuk segera dicapai dan diwujudkan.” Amirullah – IMM Untuk Kemanusiaan (2016)
Kalimat yang dilontarkan Amirullah tersebut menjadi spirit untuk selalu belajar dan belajar untuk menjadi manusia yang bermanfaat. Paradoks kemanusiaan kini semakin kompleks, ditambah dengan berbagai ideologi besar muncul beserta efeknya yang masuk dan mengganggu sistem keadaban ummat. Maka, tugas sebagai kader IMM, haruslah berjuang dengan ikhlas lillahi ta’ala melawan segala bentuk penyewelengan, dan membangun peradaban yang maju dan damai. Jika dirasa berat, esensi kader IMM menjadi hilang, hangus ditelan bumi.
Hal di atas adalah berbagai persoalan yang mesti direspons oleh kader. IMM adalah organisasi yang mengusahakn terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mewujudkan tujuan Muhammadiyah. Tegas, IMM adalah gerakan ilmu amaliah, amal ilmiah (baca: 6 Penegasan IMM). Dalam artian, IMM memiliki cita-cita yang harus digelorakan ditubuh ikatan. Senada dengan itu, Amirullah pernah mengatakan,
“Begitu juga dalam konteks IMM sebagai sebuah organisasi mahasiswa Islam yang ditakdirkan atau mentakdirkan dirinya sebagai organisasi yang bertujuan melahirkan mahasiswa-mahasiswa Islam yang memiliki nalar ilmu (akademisi) dan berakhlak mulia dalam gerakannya. Yang berarti menempatkan ilmu di maqam tertinggi identitas gerakan ikatan. Makanya, ada semboyan yang mengatakan “ilmu amaliyah amal ilmiah” berilmu sebelum beramal dan beramal berdasarkan ilmu (melakukan kajian akademis-teoritis sebelum melakukan gerakan dan melakukan gerakan berdasarkan kajian akademis-teoritis) merupakan kesadaran batiniah para pendiri IMM.” (Amirullah, 2016: 157-158)
Maka dari itu, kader IMM yang penulis sebut sebagai “sukma intelektualisme progresif”. Sukma intelektualisme yang cocok digunakan oleh IMM—gudangnya intelektualisme—merupakan sebuah perwujudan gerakan cendekiawan IMM dengan memaknai spirit tajdid; purifikasi nilai IMM, dan dinamisasi (kontekstualisasi gerakan) sebagai upaya dalam menyikapi berbagai tantangan zaman. Sehingga, ilmu amaliah, amal ilmiah bukan sebatas narasi melangit tinggi, melainkan turun ke jalan bersama masyarakat. Kepribadian jiwa intelektualisme ini dilandasi dengan nilai religius, sikap tulus, ikhlas, dan penuh dengan ikhtiar kemajuan.
Akademik Kader IMM
Dalam konteks akademik, kader IMM “berjas merah” mesti menjadi kader intelektual yang memiliki kompetensi religus yang baik, berparadigma dan bersikap santun, ramah, berfikir maju/orientasi kedepan. Maka, dengan gelar “IMMawan dan IMMawati”, serta mempunyai motto “Fastabiqul Khairat” itu, harapannya dapat menyeimbangan dan melaraskan kegiatan akademik dengan organisasinya. Jangan sampai ada anggapan seperti, “nanti aja lulusnya, empat tahun tidak cukup untuk berproses di organisasi. Jadi, nikmatilah.” Hal tersebut menyumbang kesalahan secara meluas, kemudian dikonsumsi oleh publik. Ibarat ada penyumbang/penawaran kekeliruan, dan kemudian timbul semacam permintaan oleh publik (baca: kader IMM) dari penawaran tersebut.
Sejalan dengan itu, dengan di buktikan nya sebuah prestasi akademiknya yaitu pada Indeks Prestasi (IP) yang baik, iman dan akhlak yang terpuji, bertanggung jawab dalam menjalankan amanah IMM dengan baik dan maksimal, memiliki kerpribadian yang kreatif-inovatif-solutif, prestatif, serta implementasi dalam realitas sosial kemasyarakatan, yang itu semua menjadi sebuah tanggungjawab kader IMM seutuhnya.
Autokritik IMM
Shareza dalam buku Dalam Suatu Masa: Kumpulan Tulisan Kader IMM UMSU (2016) mengatakan bahwa “… langkah awal yang harus kita terapkan ialah penekanan akan penerapan rasa “MALU” akan gelar IMMawan/IMMawati dengan Moto yang bergaung hingga ke pelosok Nusantara, tridimensi kader dan trilogi kader ikatan sangat realistis namun tidak mampu membuktikannya sebagai seseorang spesial dengan gelar IMMawan/IMMawati yang religius, intelektual, dan humanis.”
Pernyataan tegas yang dilontarkan IMMawan Shareza di atas menjadi sebuah kritik sekaligus memiliki makna konstruktif. Dengan begitu kader ikatan tidak berfantasi ria sebagian (mungkin) dalam dinamikanya, sikap hedonis, apatis, bahkan terjebak dalam kegiatan yang sifatnya seremonial, minim refleksi, jangka pendek. Sebuah catatan besar yang menggugat kader IMM, IMMawan dan IMMawati di manapun berada untuk learning to be progressive intellectualism.
Kader IMM itu adalah kader intelektual yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai murni IMM (nilai-nilai IMM), dalam rangka mewujudkan kepribadian religius-intelektual, santun, berakhlak mulia, dan maju di segala lini kehidupan (sosial, politik, hukum, budaya, pendidikan, kemanusiaan), transformasi sosial, serta di sisi lain berupaya membangun masyarakat ilmu. Wallahu a’lam bishawab.
Billahi fi sabililhaq, fastabiqul khairat
Referensi:
Amirullah. 2016. IMM Untuk Kemanusiaan: Dari Nalar ke Aksi. Jakarta: CV. Mediatama Indonesia.
Qorib, M, Yofiendi Indah, Zailani, et al. 2016. Dalam Suatu Masa: Kumpulan Tulisan Kader IMM UMSU. Jakarta: Global Base Review.
*Pegiat Madrasah Digital DKI Jakarta, Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Jakarta Selatan 2018-2019