MADRASAHDIGITAL.CO-Oleh: Muh. Akmal Ahsan, Penulis Buku Meretas Batas Pemikiran
Percakapan ihwal lintas peradaban selalu menjadi discourse yang dialektis, perdebatan ihwal jalannya zaman pula tak pernah habis dalam meja dialog publik, zaman bergulir dalam silang argumen yang tiada henti. Semua berjubal dalam tesis, antitesis dan sintetis. Sementara kelompok manusia yang sekadar bersuara sumbang ditakdirkan dilahap oleh zaman itu sendiri. Kondisi ini penulis gambarkan dalam buku Pada Masa Modern (2020):
“Siapakah yang dapat mengira bahwa kita akan terdampar sedemikian jauh, karam, pada sebuah jaman yang serba membingungkan, biarpun ilmu pengatahuan kian berkembang, meski daulat akal kian dipancangkan di buana semesta ini. Jaman apa ini?, sebetulnya aneka macam jawaban atas pertanyaan itu digelar, acap berbentuk perayaan atas hidup yang kian maju, seringpula mengundang dan mengandung amarah, khusus bagi kaum konservatif, jaman modern iini sebetulnya adalah kemunduran, kita tidak melangkah sejengkalpun. Tetapi ada pula yang mengambil jalan tengah, menyusuri peradaban sambil membersihkan sampah di sepanjang jalannya. Dimanakah kita berpihak?”
Dalam percakapan zaman itulah, pertanyaan layak dilayangkan kepada Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, gerakan Mahasiswa yang menempatkan dirinya sebagai kekuatan perubahan sosial. IMM seyogyanya dapat menjermahkan masalah sosial di masyarakat seturut mengkerangkai solusi ditengah krisis peradaban.
Krisis Manusia Modern
Modernitas tidak saja dirayakan sebagai era baru kemerdekaan manusia, dalam perjalanannya era modern menimbulkan kritik dari banyak tokoh dari ragam sudut pandanganya masing-masing. Mereka dalam segala kritiknya “menginterupsi” jalannya peradaban seturut mencari langkah-langkah strategis demi menyikapi modernitas.
Anthony Giddens menyebut modernisme telah menyebabkan berkembangbiaknya petaka ummat manusia. Hal ini bisa dilihat dari: pertama, penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa, kedua, penindasan oleh yang kuat atas yang lemah. Ketiga, ketimpangan sosial yang kian parah. Keempat, kerusakan hidup yang kian mengkhawatirkan (Setiawan & Sudrajat, 2018).
Tak terbilang dampak sosial yang dilahirkan oleh modernitas, usaha untuk keluar dari dehumanisasi justru acap melemparkan manusia kepada jurang dehumanisasi yang lain. Demikianlah modernitas lahir dengan wajah yang ganda, satu sisi memunculkan harapan, segi lain menyiratkan kepedihan.
Intelektual Islam Seyyed Hossein Nasr menggambarkan masalah manusia modern, menurutnya manusia modern telah membakar tangannya dengan api yang justru dinyalakannya sendiri sebab ia telah lupa ihwal siapakah ia seungguhnya. Hal ini terjadi sebab sakralisasi ilmu pengetahuan telah mencerabutnya dari akar keagamaan (Jaipuri Harahap, 2017). Menurutnya, modernisme telah melahirkan krisis multidimensi, khususnya krisis spiritual, krisis lingkungan, kecemasan perang dan lain sebagainya.
Nilai-nilai moral dan spiritual sebagai aras ilmu pengetahuan kini mengalami desakralisasi, dapat ditebak hasilnya, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang demikian pesat namun acap tidak mempertimbangkan aspek moral, spiritual dan kemanusiaan. Kita bisa melihat realitas ini dari berkembangnya teknologi nuklir yang demikian maju, namun sering penggunanannya demi menancapkan perang, konflik global dan masalah lainnya.
Pada ruang yang lain, modernisasi pada perjalanannya telah menimbulkan krisis makna hidup, kehampaan spiritual dan tergerusanya agama dalam kehidupan manusia (Ali Maksum, 2003). Tak ayal, jutaan manusia terlempar dari dirinya sendiri, teralienasi, mereka mengalami kekeringan eksistensial. Erich Fromm menggambarkan kondisi ummat manusia modern seperti manusia robot, yaitu manusia supercerdas yang memiliki kemampuan paripurna, akan tetapi kehilangan cita rasa kemanusiaan dan tanpa kekayaan spiritual. Lebih tragis, dalam keadaaannya yang terasing, manusia berperan sebagai penyebab sekaligus korban yang kemudian menanggung akibatnya (Erichh Fromm, 1995)
Simpulnya modernitas dalam segala kelebihannya pula menyisakan masalah yang lain: pengetahuan yang reduktif, agama yang mengalami pengkerdilan, dan dehumanisasi yang kian merebak.
Peran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Dalam buku Meretas Batas Pemikiran (2020), penulis setidaknya menjelaskan dua tantangan besar IMM dalam usaha mencerahkan peradaban tanpa kehilangan nilai-nilai dasarnya: pertama, mempertahankan orisinalitas dan gagasan filofis keberadaannya. Kedua, tantangan zaman menuntut IMM untuk melahirkan inspirasi alternatif bagi realitas problematika masyarakat.
Proses ini dilalui dengan kerja-kerja intelektual yang aktif, usaha untuk tidak menempatkan nilai dan prinsip IMM sebagai sekadar “gagasan langit” belaka, tetapi mampu diturunkan dalam wujud ilmu (IMMologi/Pengilmuan), kacamata analisis, lalu dalam perjalannya ditransformasikan dalam bentuk tindakan-tindakan perubahan. Kader IMM seyogyanya menempatkan ilmu semata-mata pada kepentingan kemanusiaan universal.
Ditengah krisis spiritual manusia IMM harus mampu memanifestasikan agama Islam sebagai kekuatan pencerah, baik dari sisi individual maupun sosial, kekuatan tersebut seiring dengan kematangan intelektual dan kepekaan terhadap dinamika kemasyarakatan. Demikian merupakan manifestasi dari Tri Kompetensi Dasar dan realisasi pada Trilogi Ikatan.
Refleksi 57 Tahun IMM
Beban zaman menuntut IMM untuk secara konsisten terus melakukan kritik terhadap jalannya sejarah manusia dan masyarakat, demikian itulah perwujudan dari hakikat keberadaannya. Kader IMM harus terus berani “menginterupsi” zaman, mengkritik sekaligus pula melahirkan inspirasi alternatif. Mulanya, kader IMM harus terus berani mengkritik batang tubuhnya sendiri.
Tiap-tiap bertambahnya usia Ikatan seyogyanya menjadi muhasabah kolektif ihwal tapak panjang yang dilalui IMM, Ikatan ini adalah produk sejarah yang selanjutnya diharapkan mampu mempengaruhi jalannya sejarah. Harapan tersebut dapat diraih bilamana IMM mampu terintegrasi dengan zaman tanpa kehilangan nilai dan prinsipnya.