MADRASAHDIGITAL.CO., Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku “Membaca Politik Dari Titik Nol“
PIDATO di panggung begitu semangat “Mari bela Pancasila, NKRI harga mati!”. Di forum lain, berpidato begini, “Lawan kaum radikal dan kaum intoleran!”. Bahkan di mimbar bernyawa agama pun paling aktif menebar diksi yang provokatif. Pokoknya seakan-akan paling berhak dan punya otoritas dalam segala hal. Padahal, ini cuma di panggung pidato dan mimbar ini itu. Lain di mulut, lain di hati. Tindakan sendiri pun menjadi saksi paling jujur betapa pidato itu malah menikam diri sendiri dan kolega.
Belakangan malah kena OTT penegak hukum di sebuah tempat transaksi duit haram. Awal-awalnya tak disangka, sebab konon ada oknum penegak hukum yang sudah dibayar juga biar bisa garong bersama. Sebuah fakta yang sangat naif. Naifnya lagi, suami dan istri kena. Kolega yang sehari-hari bekerjasama juga kena. Benar-benar komplotan garong profesional. Ternyata pidato sekadar manipulasi. Toh faktanya begitu radikal dan intoleran dalam menggarong duit negara.
Bayangkan saja, anak masih kecil-kecil. Mereka terlantar karena orangtua mereka menggarong uang negara. Selama ini mereka tak tahu kalau mobil hadiah ulang tahun ternyata dari duit haram. Keluarga menanggung malu, enggan keluar rumah. Setiap hari di sekitaran rumah tinggal mendapat cemoohan warga. Warga maya di seluruh penjuru pun turut mencemooh. Bahwa ternyata berbagai mobil mewah yang kerap dipamer selama ini bukan hasil dari usaha yang halal, tapi dari aksi brutal: suap menyuap, menggarong dan sebagainya.
Bila saja penegak hukum lebih telaten dan giat menelusuri duit yang digarong, bisa jadi mereka yang kini memilih diam dan seakan-akan tidak pernah nyetor proposal kegiatan ini itu pun bakal kena juga. Apalah lagi bila nominalnya fantastis. Dan, biasanya nyetor proposal setiap kali ada kegiatan beragam nama yang dampak sosialnya nihil, sebab duitnya hanya diembat oleh panitia. Bahkan, ada manipulasi data dan kegiatan hanya demi mendapatkan duit sekian digit. Sembari itu, tebar pujian sepuas-puasnya, agar si garong lunak dan segera berbagi duit.
Adapun masa yang hadir, sebetulnya engga paham apa gerangan isi dan substansi acaranya. Mereka cuma hadir karena pidato garong yang menggelegar dan tentu menyentuh sisi emosional masa. Masa yang hadir cuma difoto, dikasih air seharga Rp 500, dan dipuji ini itu biar tak banyak kritik. Bos masa dikasih duit agak gede. Dan, merekalah yang menikmati duit itu. Masa ya tetap menjadi masa. Masa bodoh. Mungkin juga bodoh amat.
Pada beberapa kesempatan masa bayaran berdemo di depan gedung tempat penegak hukum bekerja dan menahan para garong. “Si anu orang baik. Dia suka berbagi duit ke masyarakat, dia suka cairin setiap proposal kegiatan ini itu, dan dia suka bela rakyat. Tolong bebaskan dia sekarang juga. Bila tidak, jutaan orang bakal turun ke jalan untuk melawan. Kezoliman nyata telah terjadi pada tokoh, panutan dan bos kami!”
Orasi masa bayaran semacam ini kerap hadir seketika bila para garong ditahan atau kena OTT penegak hukum. Bahkan dulunya memuji penegak hukum, kini tetiba benci penegak hukum. Bila yang kena OTT dari kelompok yang berbeda maka mereka begitu giat mendukung penegak hukum. Tapi bila yang terkena OTT adalah si anu dan anu yang kerap mereka agungkan, maka seketika lembaga penegak hukum mereka caci maki, hina dan lecehkan.
Seorang warga kerap mengingatkan dengan maksud dan tujuan baik. “Jangan terlalu bangga dengan pujian, termasuk dari para penjilat. Sebab itu jebakan berbahaya. Jangan alergi sama kritik. Walau pahit, terima saja!” Peringatan ini sederhana tapi berisi. Intinya, jangan sampai pas kena OTT aparat penegak hukum baru sadar betapa kritik dari warga biasa itu penting juga didengar. Tapi ya itu, terlanjur menyesal. Menyesal memang selalu datang di akhir, tidak datang di awal.
Sebab tangan sudah diikat, tidur di tahanan, atau malah sudah kena vonis dan kini hidup di penjara, bahkan keluarga dan kolega sudah menanggung malu. Mungkin para selingkuhan juga menangis sedih karena sudah tidak mendapatkan duit jajan lagi. Para penjilat pun melarikan diri dan acuh tak berkutik. Mereka yang selama ini nyetor proposal mengemis duit pun angkat bahkan cuci tangan. Padahal kalau penegak hukum cek ke mana saja aliran dananya, ya bakal kena semua tuh. Begitulah kelakuan bejat kaum radikal dan intoleran!
Pesannya jelas dan tegas, kalau mau berpidato ya sewajarnya saja. Cek dulu, apakah setiap isi pidato berdampak baik atau malah menikam diri sendiri. Bila saja penegak hukum yang sedang menelisik kasus hukum turut hadir di panggung atau forum itu, mungkin mereka tertawa berbahak-bahak lalu berkomentar singkat, “Ah dasar garong munafik. Pidato ini itu, tapi kelakukan tetap saja busuk. Memang duit suap-menyuap untuk proyek anu dan anu sudah habis dan dilupakan?” Intinya, berpidato lah sepantasnya, jangan bohongi diri sendiri dan masa yang kerap sekaligus suka ditipu! (*)