MADRASAHDIGITAL.CO, Oleh: Muhammad Bukhari Muslim, Ketua Forum Mahasiswa Tafsir Muhammadiyah
Satu bulan yang lalu saya dan bersama kawan-kawan FMTM (Forum Mahasiswa Tafsir Muhammadiyah) mengadakan diskusi tentang jilbab. Diskusi itu kami adakan sebagai respon atas pengwajiban jilbab terhadap siswi non-Muslim di Padang. Dalam diskusi tersebut, kami mengundang beberapa pemateri, di antaranya Dr. Abdul Mu’id Nawawi (akademisi tafsir dari PTIQ Jakarta), Kusen, Ph.D (budayawan Muhammadiyah), dan Yulianti Muthmainnah S.H.I, M.Sos. (aktivis gender Muhammadiyah).
Diskui ini berjalan menarik. Sebab, hampir seluruh pematerinya menyajikan pandangan yang segar tentang jilbab. Baik dari yang berspektif Al-Quran, budaya, gender, ataupun hukum di Indonesia. Hanya saja, ternyata selain dianggap menarik, diskusi itu oleh beberapa kalangan juga dianggap berbahaya.
Salah seorang teman mengabari saya bahwa ada salah seorang tokoh Muhammadiyah yang menegur diskusi kami itu. Ia memperingatkan, sebaiknya dalam mengadakan diskusi kami harus selektif dalam memilih pembicara. Jangan sembarangan. Jangan sampai mengundang pembicara yang tidak jelas pemikirannya. Karena akan berbahaya bagi akidah umat Islam.
Sedikit-Sedikit Liberal
Jumlah tokoh yang seperti itu di Muhammadiyah sebenarnya tidak satu. Lumayan banyak yang bertingkah dan memiliki pikiran seperti itu. Mereka tidak biasa menerima dan mendengar pemikiran yang baru dan berbeda. Sedikit saja mereka mendengar, mereka akan tersinggung. Segera setelah itu segala sumpah serapah akan keluar.
Kata-kata yang biasa keluar dari lisan dari mereka, “Ini sesat!”, “Ini liberal. Berbahaya bagi akidah umat Islam”, dan masih banyak lagi yang lain. Mereka dengan mudah menuduh suatu pemikiran sebagai barang yang sesat dan berbahaya. Alih-alih menelaah sebuah pemikiran, mereka langsung melempar tuduhan. Tidak peduli apakah tuduhan yang dilemparnya benar atau tidak.
Fenomena seperti itu mengingatkan saya akan satu istilah yang pernah dibuat oleh Muhammad Abid Al-Jabiri, pemikir Islam kontemporer asal Maroko. Ia menyebut orang-orang seperti itu sebagai orang dengan “akal yang malas” (al-‘aql al-mustaqil atau resigned reason). Mereka memiliki akal, tapi tidak pernah sama sekali menggunakannya.
Padahal sebagai salah satu nikmat yang diberikan Allah pada manusia, akal harusnya digunakan. Karena itu adalah salah bentuk syukur kita. Mengabaikannya, tidak menggunakannya, mencurigainya, atau menuduhnya macam-macam, kata Ulil Abshar, adalah bentuk pengingkaran dan sikap kufur kita terhadap nikmat Allah.
Dalam QS Ibrahim ayat 7 kita diberitahukan bahwa apabila kita bersyukur atas nikmat Allah, maka nikmat itu akan ditambah. Sebaliknya, jika kita malah bersikap kufur, maka Allah akan menurunkan azabnya. Dalam kasus tidak mensyukuri nikmat akal, maka azab yang paling dekat dan nyata ialah azab berupa “kebodohan”.
Dialog adalah Ciri Islam Berkemajuan
Suatu waktu ketika berkunjung ke rumah salah seorang dosen yang juga senior di Muhammadiyah, saya menceritakan fenomena itu. Ia mengatakan, orang-orang seperti itu sebenarnya tidak boleh ada di Muhammadiyah. Sebab, ciri dari kader Muhammadiyah adalah meereka menganut paham Islam Berkemajuan.
Kader yang sedikit-sedikit bilang suatu pemikiran “liberal”, “sesat”, atau “berbahaya”, sesungguhnya bukanlah seorang kader Muhammadiyah. Kader Muhammadiyah tidak seperti itu. Mereka memiliki cara pandang yang berkemajuan. Sehingga, tidak mudah bagi mereka untuk melempar tuduhan-tuduhan seperti di atas.
Kader Muhammadiyah, sebagai seorang muslim yang berkemajuan, ketika mereka tidak setuju dengan suatu pandangan atau pemikiran, maka mereka akan mengambil jalan dialog. Mereka siap untuk beradu pikiran. Berdebat secara argumentatif, bukan sentimental. Dibandingkan menggunakan emosi, mereka akan lebih menggunakan pikiran.
Inilah salah satu ciri Islam Berkemajuan. Mereka siap berdialog dengan siapa saja dan dengan pemikiran apa saja. Mereka siap untuk membuktikan kebenaran gagasannya dengan debat. Bagi mereka, langsung melempar tuduhan adalah bentuk ketidakpercayaan terhadap kemampuan diri. Tidak percaya bahwa ia dapat membuktikan gagasannya benar secara argumentatif.
Tindakan yang demikian itu selaras dengan perintah Al-Quran melalui surah an-Nahl ayat 125: “Ajaklah mereka kepada Tuhanmu dengan jalan hikmah dan menggunakan nasihat yang baik. Serta apabila memang ingin berdebat, debatlah mereka dengan cara yang baik.”
Lihatlah pada ayat itu. Allah sama sekali tidak pernah mengajarkan umat Islam untuk melempar sumpah serapah ketika tidak setuju dengan pandangan seseorang. Yang ada ialah Allah justru meminta kepada umat Islam agar menyikapi perbedaan pandangan dengan elegan dan bijaksana, salah satunya adalah melalui jalan debat. Bukan debat kusir, tapi debat yang sehat.
Perbedaan Sebagai Niscaya
Femonena penyesatan dan menuduh orang lain sebagai liberal, sebagaimana yang marak terjadi hari ini, kalau kita menelaahnya lebih dalam, berawal dari absennya kesadaran umat Islam tentang perbedaan pemikiran di antara para ulama atau cendekiawan Muslim sebagai niscaya atau sunnatullah.
Perbedaan itu Allah sendiri yang sendiri membuatnya dan menghendakinya. Karenanya mereka yang menentang perbedaan atau keragaman pikiran, sesungguhnya telah menolak ketetapan Allah. Mereka yang menuduh orang lain sesat atau liberal, sebenarnya adalah orang-orang yang masuk dalam kategori ini. Di balik tuduhan sesat atau liberal yang mereka layangkan, sebenarnya mereka menginginkan agar orang lain juga ikut berpikir sama seperti dirinya. (Fahruddin Faiz: 2015).
Oleh karena itu, selain dialog, salah satu cara untuk mencegah adanya penyesatan dan menuduh orang lain liberal ialah memahami bahwa pikiran manusia itu berbeda. Sebab, manusia bukanlah robot atau mesin yang telah diatur secara mekanis. Ia adalah mahluk yang merdeka yang dibekali kebebasan dan berbagai kemampuan oleh Allah. Sehingga wajar saja jika ia memiliki pemikiran yang berbeda.
Adapun jika ada yang bertanya sejauh mana sebuah perbedaan dalam agama itu bisa ditoleransi? Maka, jawabannya adalah selain masalah akidah dan ibadah. Di luar dari keduanya, perbedaan adalah absah dan sah-sah saja.