Oleh: Muhammad Fakhruddin*
Ketika berkunjung ke Jhon Q Adams School di New Orleans, Amerika Serikat tiga tahun lalu, saya berkesempatan menyaksikan proses kegiatan belajar-mengajar di salah satu kelas tingkat sekolah dasar. Hari itu, para siswa diminta untuk mempresentasikan tugas kelompok di depan kelas. Melihat siswa sekolah dasar presentasi di depan kelas mungkin adalah hal biasa, yang tidak biasa adalah tugas kelompok yang dipresentasikan itu harus disajikan dalam bentuk blog atau website yang mereka buat sendiri yang dipandu oleh gurunya. Melalui website itu, salah satu kelompok yang tampil ke depan menyusun materi presentasi tentang sejarah perbudakan di New Orleans berikut dengan gambar-gambarnya.
Sedini mungkin mereka sudah diperkenalkan dengan teknologi informasi. Melalui project itu, para siswa tidak hanya mendapatkan pengetahuan dari materi yang mereka kumpulkan tapi juga keterampilan menggunakan teknologi informasi dalam menyajikan materi yang ingin mereka sampaikan. Presentasi tugas kelompok menggunakan power point di sekolah Indonesia memang sudah biasa, tapi menyajikan tugas kelompok dalam bentuk blog atau website saya rasa masih jarang terjadi, apalagi pada tingkat sekolah dasar. Kecuali di bangku kuliah pada jurusan tertentu, keterampilan membuat konten digital dalam bentuk tulisan, foto, dan video belum banyak diajarkan. Sehingga, keterampilan tersebut seringkali hanya didapat secara otodidak atau melalui kegiatan ekstrakurikuler.
Kondisi ini saya temui ketika menjadi salah satu narasumber pelatihan membuat konten positif di Yogyakarta, Banten, dan Riau. Para peserta yang mayoritas pelajar dan mahasiswa belum memanfaatkan medium di era digital secara maksimal kendati mereka familiar dengan sosial media. Kebanyakan mereka baru sebatas menjadi konsumen dan belum menjadi produsen konten. Hanya sedikit dari mereka yang memilik blog pribadi, apalagi memiliki project website sendiri. Saya memaklumi hal ini karena pemanfaatan medium internet belum banyak diterapkan di ruang-ruang kelas di sekolah.
Saya sadar, ternyata untuk mengajak anak milenial menjadi konten kreator tidaklah mudah dan bukan pekerjaan sehari dua hari, tapi harus dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan. Karena itu, usai pelatihan mereka diundang dalam satu grup Whatsapp yang bernama Madrasah Digital. Teman-teman saya yang mahir dalam menulis dan membuat konten video dan foto juga saya ajak bergabung dalam grup tersebut, agar terjadi interaksi di dalamnya. Namun sayang, berapa langsung left grup dan sebagian besar hanya menjadi anggota pasif. Beruntung beberapa anggota grup sempat memamerkan karyanya dengan memberikan link ke alamat blog atau website yang memuat tulisan mereka dan ada juga yang sudah memiliki channel Youtube yang menampilkan video hasil rekaman mereka. Hal ini yang membuat saya optimistis komunitas Madrasah Digital ini dapat terus bertahan.
Untuk memantik diskusi maka dibuatlah website sederhana bernama madrasahdigital.co sebagai medium untuk mempublikasikan hasil karya mereka. Nama madrasah yang artinya sekolah digunakan untuk mengesankan bahwa madrasah tidak hanya tempat belajar agama saja tapi juga tempat untuk belajar teknologi dan informasi di era digital ini. Seperti pelajar sekolah dasar di Jhon Q Adams School, mereka harus terbiasa memanfaatkan medium di internet. Setelah terbiasa dengan mediumnya, diharapkan mereka terpacu dari sisi pembuatan kontennya. Karya mereka yang sudah dipublikasikan lalu dibagikan ke sosial media Madrasah Digital maupun di grup-grup Whatsapp komunitas Madrasah Digital.
Sedikitnya sudah ada tiga grup Whatsapp Madrasah Digital yang puluhan anggotanya adalah alumni peserta Seminar dan Workshop Peace Stories for Islamic Peace Society bertema “Generating Positive Islamic Content Through Millenial to Eradicate Terrorism Content”. Tiga grup itu, yakni Madrasah Digital Yogyakarta, Madrasah Digital Banten, dan Madrasah Digital Riau. Di tahun ini, rencananya akan dibentuk tiga grup lagi yakni Madrasah Digital Jabar, Madrasah Digital Lombok, dan Madrasah Digital Makassar. Grup-grup ini diharapkan menjadi komunitas yang menjadi tempat bersemainya konten kreator Muslim, mengingat masih minimnya konten Islami dibandingkan konten hiburan yang kurang mendidik. Masing-masing komunitas terus membuat pelatihan dan pengkaderan di bawahnya sehingga menyokong terbentuknya digital society in Muslim community, karena yang tidak kalah penting dari medium dan konten tadi adalah network atau jaringannya.
*Founder Madrasah Digital