MADRASAHDIGITAL.CO-Muh Akmal Ahsan, Kepala Madrasah Digital Yogyakarta
Senin (28/29/2020) acara Kesatuan Aksi menyelematkan Indonesia, KAMI dibubarkan oleh pihak kepolisian. Acara ini dihadiri oleh deklarator KAMI, Gatot Nurmantyo. Kabar yang beredar, pembubaran adalah akibat dari penolakan sejumlah kelompok. Sementara dalih, dari kepolisian pembubaran kegiatan ini ialah atas pertimbangan kesehatan pada masa pandemi Covid-19. Warta yang berjibun di media sosial kemudian menjadi wacana konfliktual. Sebagian publik melihat kejadian ini sebagai pelanggaran demokrasi.
Bagaimana kita melihat keadaan ini berpulang kepada cara kita memahami kembali demokrasi dan seperti apa proses perjalanannya selama pandemi berlangsung. Kita memang sedang berada dalam ambiguitas demokrasi saat pandemi, pada satu sisi kehendak untuk menegakkan kebebesan selalu digelar, tetapi disisi lain sering negara berkewajiban untuk menertibkan kebebasan. Ambiguitas itu memang selalu melekat dalam negara yang menganut sistem demokrasi; paradoks kebebasan dan ketertiban.
Salah Kaprah Demokrasi
Pandemi covid-19 telah membuyarkan mata objektif kita dalam menjalankan demokrasi secara subtansial. Dalam soal itu saya mencoba menerawang situasi kita dalam perspektif yang lebih adil: pertama, negara dalam hal ini gagal untuk menerapkan demokrasi subtansial di masa pandemi. Kegagalan ini berpangkal dari salah kaprah pemahaman dan penerapan demokrasi. Penyelenggaraan Pilkada serentak pada Desembar kelak, misal, adalah fakta dari kesalahan negara dalam mendudukan demokrasi bersama kepentingan untuk menertibkan dan menjaga keselamatan masyarakat.
Kedua, pada sisi lain, betapapun mendaku menyelamatkan Indonesia, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kelompok sosial semisal KAMI adalah pula buah dari pemahaman demokrasi yang meleset, salah kaprah, lebih pula salah penerapannya. Para pendukung KAMI boleh berteriak “ini adalah kebebasan berpendapat dan konsitusional”, tetapi argumentasi itu patut dikaji kembali. Kebebasan harus tetap mempertimbangkan keselamatan jiwa. Dalam hal ini, tidak berlebihan jika saya katakan bahwa aktivitas-aktivitas kelompok ini berpotensi mengganggu kesehatan dan keselamatan jiwa para pendukungnya.
Maka tidak sulit untuk memberikan kesimpulan, bahwa kita belum memahami, pula menerapakan demokrasi subtansial secara lebih baik.
Penurunan Demokrasi
Pada 23 Agustus silam, Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan ada 67% responden yang puas terhadap demokrasi di tengah pandemi COVID-19. Poin ini sebetulnya menunjukkan bahwa ada penurunan kepuasan rakyat terhadap demokrasi yang sedang berlanjut.
Penururunan trust publik ini patut diterima adanya. Negara sering bertindak keliru dan tertutup dalam melaksanakan mekanisme demokrasi, khusus dalam masa pandemi. Informasi tentang data korban pandemi, tes yang belum mencapai target, resapan anggaran kementerian kesehatan. Penjelasan atas hal itu, belum juga benderang hingga saat ini, padahal salah satu perwujudan dari demokrasi adalah keterbukaan.
Lebih aneh lagi, bahwa penyelenggaraan negara dalam menghadapi pandemi justru seiring dengan menguatnya posisi militer dan kepolisian. Mereka seolah ditempatkan sebagai yang paling ahli dalam penanganan korban covid, serupa tukang obat yang memberi penawar pada korban. Paling tidak, pola kebijakan seperti ini memberi garis terang bahwa demokrasi sedang dijalankan secara salah kaprah. Itulah mengapa telah menjadi kewajaran bahwa indeks kepuasan demokrasi justru menurun.
Belum lagi Rancangan UU Omnibus Lawa yang tetap dibahas pada masa peningkatan kasus covid, kriminalisasi di Papua, Pilkada serentak. Menurut saya, kesemua itu telah berdampak kepada penurunan demokrasi subtansial.
Demokrasi Masa Pandemi
Bagaimana praktik demokrasi era pandemi?. Negara dalam hal ini harus memberi teladan yang baik dalam penyelenggaraan proses demokrasi. RUU Omnibus Law, penyelenggaraan Pilkada, kian menguatnya posisi militer dan kepolisian adalah indikasi kesalahan penyelenggaraan demokrasi. Ini adalah evaluasi untuk negara.
Tugas utama bersama adalah memberikan kebebasan pada masyarakat tetapi pula memberi garis ketertiban, agar demokrasi berjalan seiring kepastian tentang keselamatan jiwa. Negara dan pemerintah harus tetap memberikan kebebasan untuk menyatakan pendapat pada kelompok-kelompok sosial di masyarakat. Jangan sampai ada pembubaran, kriminalisasi, dan atau upaya untuk menutup kritik.
Sementara itu negara mesti tetap menjalankan prinsip keterbukaan dalam demokrasi. Ini misal tentang transparansi data kasus Covid, realisasi anggaran pemerintah, bantuan sosial dan wujud keterbukaan lainnya.
Sementara kelompok-kelompok sosial yang lahir di masyarakat mestinya dewasa untuk menjalankan fungsi kritik kepada pemerintah, terlebih para tokoh masyarakat yang memiliki kefiguran dan basis massa yang kuat. Mekanisme check and balance harus diselenggarakan lebih matang, hasrat untuk mengkritik pemerintah jangan sampai mengalahkan keinginan sosial untuk menjaga keselamatan jiwa masyarakat. Daripada sibuk mengumpulkan massa yang berjibun, lebih baik kelompok-kelompok sosial hadir memberikan kritik atas penyelenggaraan pemerintah dalam menghadapi pandemi dalam wujud srategi yang lain, dalam aktivitas yang tidak memungkinkan dihadiri oleh massa yang banyak.
Pendidikan demokrasi, dalam arti yang seluas-luasnya hanya bisa diselenggarakan dengan praktik demokrasi di wilayah publik. Negara dan tokoh masyarakat jangan sampai kemudian justru menunjukkan sikap-sikap yang tidak demokratis, atau menjalankan demokrasi secara keliru. Jika demikian adanya, demokrasi selalu hanya berhenti sebagai retorika belaka, atau bisa mungkin terjebak pada prosedural saja, tidak menjadi penghayatan subtansial dalam kehidupan publik.
Akhirnya, betapapun kita dalam kondisi terseok-seok, tergopoh-gopoh seperti ini, demokrasi harus tetap menjadi dasar dan orientasi bersama. Tidak mudah memang, tetapi menyerah pada keadaan justru adalah pembatalan untuk merealisasikan Indonesia yang merdeka, demokratis, Indonesia yang pancasilais. Pada masa pandemi, demokrasi harus memiliki paradigma yang lebih modern, pun strategi yang lebih canggih, agar potensi konflik sosial akibat krisis multideminsional dalam masyarakat dapat dihadapi lebih dewasa, dan demikian adalah upaya mencapai demokrasi yang sebetul-betulnya.