Oleh: Tulus Setiyo Pamuji
Praktik dakwah yang umumnya berkembang selama ini, pada dasarnya berangkat dari anggapan bahwa dalam proses dakwah masyarakat adalah objek yang harus diubah dan dituntun karena kedhaifan dan potensinya untuk bertindak jahil (bodoh). Maka menjadi tugas para dai, lembaga dakwah, atau komunitas dakwah dalam menjaga agar masyarakat tetap berpijak pada jalan yang lurus.
Secara formal dan kuantitatif, kegiatan dakwah sekarang ini menunjukkan perkembangan yang pesat. Indikatornya secara sederhana dapat terlihat dari meningkatnya jumlah masjid, semaraknya majelis taklim, meriahnya perlombaan-perlombaan MTQ-tahfiz, dan sebagainya. Namun, di balik meriahnya hal-hal formal tersebut, kita tidak bisa menutup mata bahwa arena dakwah selama ini lebih merupakan ajang masyarakat awam menanggap kehebatan idolanya daripada sebagai sarana mengkaji dan bertindak.
Dengan kata lain, konsep dakwah selama ini sesungguhnya cenderung menyerupai bank concept of communication yang mengibaratkan masyarakat sebagai wadah yang kosong, harus diisi dengan keyakinan, nilai-nilai moral, serta praktik-praktik kehidupan agar disimpan dan secara otomatis bisa dikeluarkan pada saat yang dibutuhkan. Konsepsi demikian biasanya diikuti oleh pola komunikasi satu arah, yaitu dai berbicara–hadirin mendengarkan, dai berpikir–hadirin yang dipikirkan, dai mengatur–hadirin manut, dan seterusnya.
Perubahan konsepsi dakwah
Situasi dakwah seperti itu tidak hanya terjadi pada dakwah-dakwah yang bersifat massal, tetapi juga kerap terlihat pada mentoring-mentoring pembinaan agama di kampus-kampus. Dengan situasi demikian, hanya dailah subjek aktif, sedangkan hadirin cenderung menjadi objek pasif. Tak heran jika ada beberapa forum dakwah yang tak mampu mengembangkan minat eksploratif serta kreativitas berpikir kritis; sesuatu yang dibutuhkan dalam membangun tradisi intelektual.
Selain itu, dengan logika dakwah demikian, keberhasilan dan kegagalan dakwah sering kali diukur dengan parameter kuantitas dan formalitas: jumlah peserta, jumlah murid, dan jumlah jamaah. Sedangkan pertanyaan di seputar bagaimana perkembangan masyarakat yang menjadi sasaran dakwah jarang sekali dikupas. Dengan memakai ukuran keberhasilan di atas, bisa dimengerti bahwa proses dakwah yang berkembang lebih banyak menguntungkan para dai daripada khalayak yang diserunya. Betapa banyak dai yang melambung status sosial, ekonomi, dan politiknya setelah laris di berbagai majelis taklim. Namun, tidak demikian halnya masyarakat awam. Tak heran jika kegiatan dakwah sering kali justru melahirkan struktur masyarakat yang sebagian para dainya menjadi elite, sedangkan jamaahnya berada pada struktur bawah (Lihat: Moeslim Abdurrahman dalam Pesantren, 1987).
Dakwah dalam konsepsi yang berkembang sekarang ini seharusnya bukan menghambat kreativitas pengkajian dan sesungguhnya bisa dibilang sebagai proses penumpulan konseptual dan pengembangan proses dehumanisasi. Padahal, dalam tradisi dan keyakinan semula, dakwah justru dimaksudkan sebagai sarana humanisasi. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita mengupayakan konsepsi baru yang menjadikan masyarakat sadar akan kebutuhan informasinya sendiri sebagai subjek perubahan.
Di sini, dakwah mesti diawali dari kesadaran bahwa tidak ada seorang pun yang mengklaim hanya dirinya yang layak sebagai dai. Karena justru masyarakat adalah dai bagi diri mereka sendiri. Maka perlu diperhatikan mestinya proses dakwah adalah proses dialog untuk membangkitkan kesadaran masyarakat dalam menumbuhkan potensi mereka sebagai makhluk kreatif. Pun, kesadaran bahwa sebagai khalifah untuk memaksimalkan diri, merawat, dan mengembangkan potensi lingkungannya. Dengan begitu, esensi dakwah justru tidak mencoba mengubah kearifan lokal masyarakat, tetapi menciptakan suatu “kesempatan atau akses” yang bermanfat bagi khalayak sehingga masyarakat akan sanggup membimbing dan merawat hidupnya sendiri.
Dengan kata lain, kesadaran kritis dalam memahami masalah dan menemukan jawaban alternatif jawabannya adalah justru tugas utama dakwah. Maka dari itu, dai yang kita butuhkan di masa kini dan masa depan adalah dai yang partisipatif, yakni dai yang mampu menciptakan dialog-dialog, yang memberikan kesempatan pada jama’ah atau muridnya untuk menyatakan pandanganya, merencanakan dan mengevaluasi perubahan sosial yang mereka kehendaki, serta bersama-sama menikmati hasil proses dakwah tersebut.
Dalam hal ini, anggapan keliru yang menyatakan bahwa “masyarakat kita masih bodoh dan mereka belum sanggup berpikir sendiri”, mesti dihalau jauh-jauh. Ketahuilah, dibalik keluguan-keluguan mereka yang tampak naif, ada kearifan tradisional yang sudah mendarah daging. Itu adalah energi kreatif yang hanya bisa dibangkitkan dengan perubahan konsepsi dakwah tadi.
Masyarakat berbasis informasi
Jika pada tawaran pertama lebih menekankan pada pola hubungan yang harus diciptakan dalam proses dakwah Islam, tawaran yang kedua ini lebih berorientasi pada cara memberi isi terhadap hubungan-hubungan ideal yang didambakan tadi. Dalam konteks ini, teramat penting untuk mengetahui terlebih dahulu arah dan tren perkembangan peradaban manusia dewasa ini.
Telah banyak dibicarakan orang bahwa abad ini sering disebut sebagai era informasi atau era digital, yang mengisyaratkan munculnya suatu peradaban dan tata sosial baru yang mendasarkan informasi sebagai tulang punggung kehidupan (information-based society). Jika pada masyarakat agrikultural (pertanian) pemilikan tanah menjadi barometer kualitas hidup dan pada masyarakat industri uanglah yang menjadi ukuran kejayaan, maka pada masyarakat informasi, informasi dijadikan sebagai barometer untuk mengukur martabat seseorang dan suatu umat dalam percaturan dunia.
Tingginya terpaan terhadap informasi, besarnya tingkat konsumsi informasi, tingginya kemampuan daya guna informasi serta besarnya akses terhadap pemilikan dan pengusaan sumber-sumber informasi merupakan karakteristik-karakteristik yang menandai kemajuan suatu masyarakat.
Tidak sedikit para ahli komunikasi yang menganggap bahwa abad informasi ini merupakan berkah bagi umat manusia di seluruh penjuru dunia. Agaknya mereka lupa bahwa bagi negara-negara terbelakang seperti negara-negara muslim yang masih belum sanggup memiliki dan menguasai informasi secara self-sufficient, persaingan kekuatan informasi bukan saja semakin melebarkan masalah-masalah domestik, akan tetapi semakin menambah ketergantungan mereka terhadap negara-negara maju. Bila pada era industri kebergantungan mereka lebih bersifat material, maka pada era informasi ketergantungan itu melibatkan kebergantungan mental, filosofi, dan kultural.
Sebab seperti yang pernah diungkapkan oleh Ziauddin Sadar, informasi bukanlah sekadar sekumpulan fakta objektif yang bebas nilai, melainkan selalu mempunyai muatan ideologis, filosofis, dan pandangan-dunia tertentu. Dengan kata lain, jika kebergantungan industri hanyalah kebergantungan apa yang kita miliki (what we have) maka kebergantungan informasi berarti kebergantungan jati diri kita (what we are).
Untuk menghadapi persoalan-persoalan itu semua, fungsi dakwah di masa depan harus lebih berorientasi pada upaya-upaya untuk membangun masyarakat Islam yang berbasis informasi; yakni masyarakat yang sadar informasi serta sanggup memproduksi dan mengolah informasi untuk kebutuhannya sendiri. Dalam rangka menghadapi tantangan ini, yang harus kita lakukan pertama kali bukanlah mengdopsi berbagai perangkat teknologi (informasi) modern yang serbacanggih dan mahal, justru akan makin menmbah kebergantungan dan kesenjangan sosial, tetapi mesti dimulai dengan mendirikan infrastruktur-infrastruktur kognitif yang paling sederhana, tetapi amat vital peranannya sebagai pemicu ke arah eksplorasi-eksplorsi lanjutan.
Di sini penulis menawarkan langkah konkret yang pernah diterapkan di lingkungan rumah, wadah jaringan perpustakaan sebagai soko gurunya. Ada beberapa alasan untuk menerapkan alternatif ini. Pertama, perpustakaan merupakan warisan tradisional infrastruktur informasi pengetahuan bagi umat manusia. Kedua, membangun masyarakat yang sadar tradisi kepustakaan, yang berintikan kebiasaan membaca dan menulis. Ketiga, perpustakaan juga relatif mudah dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. Karena itu, gagasan tentang perlunya didirikan perpustakaan-perpustakaan masjid, sungguh merupakan gagasan strategis dan sederhana yang sangat jelas bermanfaat.
Menjadikan perpustakaan sebagai garba informasi untuk umat Islam berarti menuntut adanya perluasan medan dakwah: dari tradisi lisan menuju ke tradisi tulisan, dari tradisi ceramah satu arah ke tradisi menganalisis dan mengarang, dan dari tradisi mendengar ke tradisi membaca. Dan, ini tentunya tidak mudah, apabila dengan kita yang sudah terbiasa hanya terawat pada pola asuhan lisan. Namun, bagaimanapun sulitnya, kebiasaan membaca dan menulis mesti terus-menerus digalakkan untuk membangun masyarakat sadar informasi.
Sebab, selain bisa dipelajari berulang kali, tulisan juga bisa dibawa ke mana-mana, sehingga bisa merangsang kreativitas berpikir. Bukulah yang bisa memberikan kedalaman serta mampu menawarkan informasi yang lengkap dan akurat. Sehingga tanpa terbinanya tradisi ini, amat sulit bagi kita untuk membebaskan diri dari belenggu-belenggu pemikiran picik dan asing, yang sering kali tidak begitu relevan dengan kebutuhannya sendiri, jika tidak malah melumpuhkan dirinya sendiri.
Get real time update about this post categories directly on your device, subscribe now.